tirto.id - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) membentuk tim khusus untuk mengungkap kasus kerusuhan 21-22 Mei 2019 yang menewaskan sembilan warga sipil. Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan tim dipimpin langsung Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Moechgiyarto.
"Ini penting karena unsur internal ini bisa menembus batas-batas dalam institusi sendiri," ujar Tito di kawasan Monas, Kamis (13/6/2019).
Tito tidak sepakat dengan usulan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) independen. Meski begitu, ia mengklaim tim khusus membuka komunikasi dengan Komnas HAM dalam mengungkap kerusuhan 21-22 Mei.
Namun, peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto tidak melihat ada keistimewaan dari tim berlabel khusus itu.
Menurut Bambang, tim itu hanya berisi polisi belaka dan tak ada bedanya dengan tim penyidik lainnya. Ia mengatakan Polri sudah biasa menugaskan pejabat tertentu untuk memimpin penyidikan suatu kasus.
"Ya, tugas mereka [Polri], kan, memang membongkar kasus. Mau tim mana lagi?" kata Bambang kepada reporter Tirto, Jumat (14/6/2019). "Semua kasus juga seperti itu."
Dalam beberapa kasus, Polri kerap nenyebut tim baru ini dengan sebutan satuan tugas (satgas). Ini seperti yang berlaku pada satgas antimafia bola atau satgas pangan. Kedua satgas ini juga dipimpin pejabat Polri yang secara berkala membuka hasil kerja mereka kepada publik.
Sejauh ini, Moechgiyarto selaku ketua tim khusus ini belum pernah bicara ke publik soal penyidikan kasus kerusuhan 21-22 Mei. Usai bertemu dengan Komnas HAM dalam pertemuan tertutup, Moechgiyarto enggan bicara. Hasil pertemuan pun hanya disampaikan Kabag Penum Polri Kombes Asep Adi Saputra.
Hasil pertemuan juga belum signifikan lantaran polisi masih kebingungan mencari lokasi kejadian korban tewas. Mereka pun enggan siapa saja korban dalam kasus tersebut.
Bambang pun beranggapan kondisi semacam ini bisa bikin masyarakat kian kehilangan kepercayaan kepada polisi. Ia lantas berharap Komnas HAM dan koalisi masyarakat sipil bisa mendesak kepolisian lebih transparan dan jangan sampai kasus kematian warga sipil dalam kerusuhan 21-22 Mei tak terungkap.
"Itu risiko, melakukan distrust, lah, membunuh kepercayaan publik," ucap Bambang.
Perlunya TGPF
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai tim khusus bentukan Polri tidak cukup buat mengungkap kasus kematian dalam kerusuhan 21-22 Mei. Ini lantaran, polisi juga diduga menjadi pelaku.
"Kasus ini melibatkan Polri juga," kata Isnur kepada reporter Tirto, Jumat (14/6/2019).
Untuk itu, kata Isnur, harus ada partisipasi dari banyak kalangan untuk menyelidiki kasus ini supaya bisa kepercayaan masyarakat kepada polisi tak lantas hilang.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bahkan mendesak Presiden Joko Widodo untuk turut bertanggungjawab atas peristiwa kerusuhan 21-22 Mei 2019. Wakil Koordinator Kontras Bidang Strategi dan Mobilisasi, Feri Kusuma mengatakan Jokowi perlu membentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) atau Tim Pencari Fakta.
"Jokowi sebagai kepala negara bertangungjawab untuk mengurai peristiwa ini dan memastikan supremasi hukum dan penegakan HAM," kata Feri Kusuma di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Rabu (12/6/2019).
Feri menekankan tim tersebut harus independen dan terdiri dari gabungan penegak hukum dan masyarakat sipil. "Ini peristiwa besar dan harus melibatkan komponen lain di luar kepolisian."
Alih-alih diterima, usulan pembentukan TGPF kerusuhan 21-22 Mei malah ditolak pemerintah. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly malah berkata TGPF tak perlu dibentuk lantaran kepolisian sudah cukup transparan.
"TGPF itu untuk apa?" kata Yasonna di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/6/2019).
Yasonna menambahkan kinerja kepolisian selama ini sudah diawasi Komisi III DPR.
"Kalau polisi tidak benar ini ada Komisi III sebagai mitra kerja untuk awasi, jelaskan, yang wakili parpol untuk menanyakan kepada Kapolri," katanya lagi.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Gilang Ramadhan