Menuju konten utama

Alasan LPSK Tak Bisa Lindungi Saksi & Korban HAM Kasus Paniai

LPSK telah berupaya memberikan perlindungan kepada sejumlah saksi dan korban pelanggaran HAM kasus Paniai, namun mereka tak berniat mengajukan permohonan.

Alasan LPSK Tak Bisa Lindungi Saksi & Korban HAM Kasus Paniai
Petugas memperlihatkan nomer telepon layanan aduan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) usai peresmian gedung LPSK di Kantor LPSK Jakarta, Kamis (6/9/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/wsj/18.

tirto.id - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu menjelaskan alasan LPSK belum bisa melindung para saksi dan korban dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai, Papua.

Menurut Edwin hingga saat ini belum ada permohonan perlindungan dari saksi, korban maupun pihak keluarganya. LPSK, kata Edwin tidak bisa melindungi masyarakat tanpa ada permohonan. Hal itu tertera dalam tugas pokok dan fungsi yang diatur dalam undang-undang.

"Kami tidak bisa melindungi warga tanpa ada permohonan perlindungan ke kami," kata Edwin di Bandung pada Jumat (23/9/2022).

Edwin mengatakan LPSK telah berupaya memberikan perlindungan kepada sejumlah saksi dan korban yang ada di Paniai, namun mereka tak berniat mengajukan permohonan.

"Kami sudah langsung datang ke Paniai untuk bertemu korban dan saksi. Namun mereka masih enggan untuk meminta perlindungan kepada kami," ujarnya.

Sidang perdana dugaan tindak pidana HAM berat peristiwa Paniai diselenggarakan di PN Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (21/9/2022). Hanya satu terdakwa yang dibawa ke meja hijau pada perkara yang terjadi pada Desember 2014 lalu di Paniai, Papua, yaitu Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu melanggar hak asasi manusia (HAM) berat.

JPU Erryl Prima Putra Agoes menjelaskan pada Senin, 8 Desember 2014, sekira pukul 11.00 WIT di Lapangan Karel Gobay dan Koramil 1705-02/Enarotali, terdakwa telah melihat dan membiarkan anggotanya mengambil senjata api dan peluru tajam dari gudang senjata dengan tidak mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut.

Saat massa merangsek masuk ke kantor koramil tersebut, salah satu anggota terdakwa melakukan tembakan peringatan dan memohon petunjuk dan meminta sikap terdakwa selaku perwira penghubung saat itu.

"Namun terdakwa tidak memberikan petunjuk bawahannya agar tidak melakukan tindakan untuk mencegah atau menghentikan melakukan penembakan dan kekerasan yang mengakibatkan empat orang warga sipil mati," kata Erryl yang juga Direktur Pelanggaran HAM Berat pada Jampisus Kejagung RI, dilansir dari Antara, Rabu (21/9/2022).

Dari insiden itu, tercatat 14 orang sebagai korban, yang 10 orang di antaranya mengalami luka-luka dan empat orang meninggal dunia, yakni Alpius Youw, (luka tembak pada punggung belakang sebelah kiri), Alpius Gobay (luka tembak tembus masuk perut kiri dan luka pinggang di sebelah kanan), Yulia Yeimo, (luka tembak tembus di perut sebelah dan keluar dari pinggang sebelah kanan), dan Simon Degei (luka tusuk benda tajam pada dada kanan).

Terdakwa diancam pidana dalam dakwaan kesatu Pasal 42 ayat 1 huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selanjutnya, dakwaan kedua Pasal 42 ayat 1 huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Baca juga artikel terkait SIDANG KASUS PANIAI atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Hukum
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Bayu Septianto