tirto.id - Bank Indonesia (BI) akhirnya meluncurkan QR Code Indonesian Standart (QRIS) setelah berbulan-bulan digodok. Standardisasi yang tertuang dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21 Tahun 2019 itu bakal jadi pedoman bagi perbankan serta fintech penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) yang hendak menggunakan sistem pembayaran QR Code.
Salah satu yang diatur dalam beleid tersebut, kata Gubernur BI Perry Warjiyo, adalah tarif sebesar 0,7 persen untuk tiap transaksi menggunakan QR Code, baik pembayaran jenis reguler dengan satu jaringan (on-us), maupun alat pembayaran multijaringan (off-us).
Biaya itu nantinya bakal dibebankan oleh perbankan dan fintech kepada penjual--dalam hal ini disebut Merchant Discount Rate (MDR).
Menurut Perry, tarif 0,7 persen itu cukup murah dan bisa menguntungkan pedagang ritel, terutama karena dapat mempercepat transaksi.
Sebab, kata Perry, QRIS akan membuat seluruh alat pembayaran berbasis kode QR berada dalam satu ekosistem, sehingga satu kode QR yang terdapat di merchant penjual dapat digunakan untuk semua aplikasi.
“Pedagang-pedagang kecil seperti di food court bisa untung karena dengan QRIS ini bisa langsung membayar. Itu mampu mempercepat transaksi dan biayanya kami pastikan murah, jadi untung,” kata Perry.
Sebaliknya, Ketua Asosiasi UMKM Indonesia, Ikhsan Ingratubun menilai, bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), penerapan tarif itu justru tak menguntungkan lantaran tarifnya dapat membuat pendapatan tergerus. Mau tak mau, penjual menaikkan harga dan imbasnya, konsumen bisa memilih tempat lain yang lebih murah.
Bahkan, dibandingkan kartu debet, transaksi on-us atau satu jaringan menggunakan QR Code masih lebih mahal. Pasalnya, tarif on-us untuk MDR dengan mesin perekam data elektronik (Electornic Data Capture/EDC), hanya sebesar 0,15 per-transaksi.
Misalnya, jika si penjual bertransaksi menggunakan Mesin ECD milik bank 'X', dan pembeli menggunakan kartu debet bank 'X', maka tarif yang harus disetorkan pedagang ke bank pemilik mesin tersebut hanya 0,15 persen. Sebaliknya, tarif transaksi menggunakan Kode QR justru mencapai 0,7 persen.
“Orang saat ini pengguna sistem pembayaran QR Code seperti GoPay mengharapkan adanya discount. Namun saat ini yang saya ketahui, sudah enggak ada, sementara mereka dikenakan biaya per-transaksi sebesar 0,7 persen," ucapnya saat dihubungi reporter Tirto.
Sementara itu, Direktur Konsumer BRI Hani Handayani menyampaikan, pukul rata tarif yang dilakukan BI sebesar 0,7 persen tak bisa memuaskan semua pihak. Terutama untuk perusahaan mikro kecil dan menengah, serta transportasi yang harusnya mendapatkan tarif lebih murah.
Angka tersebut juga lebih rendah dari usulan yang disampaikan perbankan serta fintech yang tergabung dalam Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia. Karena itu, kata dia, pemerintah perlu menerapkan tarif yang lebih variatif untuk pembayaran QR Code.
“Tapi tahap awal distandarkan dulu, kan, lebih mudah sosialisasinya. Nantinya ada perlakuan khusus misalnya mikro lebih rendah, transportasi lebih rendah, jadi ada perbedaannya,” kata Hani saat ditemui di Atrium Plaza Senayan, Jakarta, Minggu (18/8/2019).
Sejauh ini, selain pembayaran jenis reguler, BI memang baru menetapkan tarif lebih rendah untuk bidang pendidikan dan transaksi di SPBU masing-masing 0,6 persen dan 0,4 persen. Sementara pembayaran bantuan sosial dan aspek lainnya yang menyangkut kegiatan sosial, gratis biaya MDR atau tarif nol persen.
Meski demikian, menurut Hani, secara umum pembayaran dengan QR Code memang lebih murah jika dibandingkan transaksi antarjaringan (off-us) menggunakan kartu debit. Pasalnya, tarif off-us untuk MDR dengan mesin EDC rata-rata sebesar satu persen per-transaksi.
"Kenapa MDR-nya lebih murah? Saya pikir ya supaya bisa mengenalkan ini lebih jauh ke masyarakat, dan pedagang berpindah ke QR code juga,” kata Hani menambahkan.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz