Menuju konten utama

Akun Media Sosial Polisi Melawan Arus Massa Penolak Pilkada 2020

Berbeda dengan kehendak masyarakat, akun-akun Twitter yang berafiliasi dengan polisi memainkan narasi lanjutkan pilkada--dengan protokol.

Akun Media Sosial Polisi Melawan Arus Massa Penolak Pilkada 2020
twitter. tirto/danna c

tirto.id - Media Kernels Indonesia, lembaga 'text mining' yang bekerja dengan memanfaatkan artificial intelligent (machine learning) dan natural language processing (NLP), menemukan fakta menarik soal percakapan tentang Pilkada 2020 di Twitter. Mereka mendapati narasi ‘lanjutkan pilkada dengan menerapkan protokol kesehatan’ digaungkan akun-akun yang terafiliasi dengan kepolisian.

“Rata-rata berasosiasi dengan institusi kepolisian,” ujar Tomi Satryatomo, analis dari Media Kernels Indonesia, dalam diskusi daring bertajuk ‘Pilkada Langsung di Tengah Pandemi: Ancaman, Peluang, dan Tantangan’ yang diselenggarakan oleh LP3ES, Rabu (30/9/2020).

Akun yang disebut adalah @1trenggalek, @sampanghumas, @ditsamaptapmj, @GroboganPolres, HumasPolres_BJN, @DamaiLamongan, @humasres_blikot, @humas_res_bkt, @HumasPoldaAceh, @Res_Dharmasraya, @poldajateng, @MalangHumas, @humaas_restuban, @PolisiSukoharjo, @humasresikkota.

Pemantauan dilakukan pada periode 25 Agustus-25 September 2020 menggunakan kata kunci ‘pilkada’. Fokus pemantauan ialah aktor, narasi, dan pola percakapan. Pada periode itu tahapan pilkada adalah pemberian rekomendasi calon kepala daerah oleh parpol dan pendaftaran ke KPUD.

“Dalam satu bulan, narasi ‘lanjutkan pilkada’ itu mendominasi percakapan maupun pemberitaan,” katanya. Sebanyak 55 persen percakapan mendukung lanjutkan pilkada, yang menyatakan sebaliknya hanya 32 persen.

Ini bukan berarti kehendak masyarakat umum adalah mendukung pilkada. Tomi bilang percakapan dukung pilkada lebih besar karena “adanya intervensi dari akun-akun influencer yang berasosiasi dengan kepolisian.”

Selain itu, pendukung pilkada didominasi oleh akun non-organik alias ‘bodong’. Sebaliknya, akun-akun organik (true human account) yang mendukung pilkada lebih sedikit dibanding yang menunda.

Kalangan menengah ke atas dan berpendidikan merupakan golongan yang paling ingin pilkada ditunda karena alasan kesehatan, temuan Media Kernels Indonesia. Desakan penundaan juga banyak berasal dari elemen masyarakat sipil. Dua di antaranya adalah organisasi Islam

terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).

Di luar media sosial, desakan menunda pilkada juga datang dari para epidemiolog. Potensi penularan Corona saat pilkada tak hanya terjadi saat ada kerumunan, tapi juga ketika distribusi peralatan pemilihan. Bahkan beberapa pihak yang terkait langsung dengan pemilihan, seperti kandidat dan penyelenggara pilkada terinfeksi virus bahkan meninggal.

Oleh karena berbeda dengan kehendak masyarakat dan mengingat pula peran polisi dalam konteks politik praktis, Tomi bertanya: “Kenapa akun-akun yang terasosiasi dengan polisi secara terbuka menyatakan dukungan atas lanjutkan pilkada? Apakah mengamankan perintah Kapolri atau ada indikasi mereka mengambil sikap politik dari institusi yang harusnya netral?”

Ismail Fahmi, pendiri Media Kernels Indonesia, menjelaskan lebih detail tagar apa yang dipakai akun yang terafiliasi dengan polisi. Salah satunya adalah #TaatProkesSaatPilkada. Dalam tagar ini “banyak berisi infogratis dan meme sebagai media penyampai pesan.”

Hashtags terpopuler: #TaatProkesSaatPilkada dan #MaklumatKapolriTaatProkes oleh jaringan humas Polri, #PilkadaLanjutProtokolKetat dari pendukung pilkada lanjut,” kata Fahmi di Twitter. Sementara “hashtags publik belum banyak dipakai: #PilkadaAtauPembunuhan, #TundaPilkadaSerentak2020, dst.”

“Polri Mendukung Pemerintah”

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan “kami menyayangkan adanya penggalangan opini oleh kepolisian,” kepada reporter Tirto, Kamis (1/10/2020). Abdul Mu’ti meminta Kompolnas memastikan apakah dukungan itu merupakan inisiatif personal ataukah institusional. Jika itu merupakan kegiatan institusional, maka Kompolnas sebaiknya menegur Kapolri.

Bagi Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, mengingat dampaknya yang masif dan isinya cenderung seragam, sulit menyimpulkan narasi ini dibuat oleh masing-masing polisi di tiap tingkat tanpa ada arahan. Lagipula tak mungkin anak buah bergerak sendiri tanpa instruksi di institusi hierarkis semacam Polri.

Toh bukan kali ini saja polisi mendukung kebijakan ‘politik’ pemerintah. Akun-akun yang terafiliasi dengan kepolisian juga mendukung pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja--yang lagi-lagi berbeda dengan kehendak masyarakat, terutama kalangan pekerja.

“Sekarang tindakan politik paling efektif dan banyak digunakan melalui digital,” kata Asfin, Kamis (1/10/2020).

Tapi Asfin menggaris bawahi wajar belaka polisi mendukung program pemerintah. Jika derajatnya masih sebatas memengaruhi opini publik, belum ada hukum yang dilanggar.

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono tak menjawab apakah memengaruhi opini publik memang strategi mereka. Ia hanya mengatakan “Polri mendukung kebijakan pemerintah,” ketika dikonfirmasi reporter Tirto, Rabu.

Ia juga memastikan polisi akan tetap netral. “Mengenai netralitas sudah dituangkan dalam telegram,” tambahnya. Bagi anggota Polri yang melanggar netralitas akan dikenakan sanksi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri dan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2020 atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino