tirto.id - Jepang dikenal sebagai negara dengan budaya bersih dan estetikanya yang tinggi, yang terlihat pada taman, gedung, rumah, dan juga lanskap pedesaan secara keseluruhan.
Bertolak belakang dengan fakta tersebut, fenomena akiya yang jumlahnya meningkat, memperlihatkan rumah-rumah kosong tak berpenghuni, yang kadang sudah hampir roboh karena lama tidak ditinggali.
Akiya dalam bahasa Jepang berarti rumah kosong. Akiya adalah rumah-rumah yang telah ditinggalkan atau tidak ditempati.
Akiya memang lebih banyak terdapat di daerah pedesaan, atau mungkin di area liburan di Jepang. Namun kini, akiya menjadi lumrah ditemui di kota besar di Jepang.
Di kota besar sepertiOsaka, misalnya kini ada 874 rumah akiya yang hampir runtuh pada September 2022. Jumlah ini meningkat lebih dari dua kali lipat selama lima tahun terakhir.
Rumah dibiarkan membusuk karena berbagai alasan, terkadang karena perselisihan warisan, dan terkadang karena pemiliknya tidak memiliki atau bersedia mengeluarkan uang untuk menghancurkan rumah lama tersebut.
Secara keseluruhan, survei 2018 Perumahan dan Tanah Jepang yang dilakukan setiap lima tahun mencatat, ada 8,49 juta rumah yang tidak ditinggali di Jepang (gabungan jumlah akiya dan rumah kosong yang masih dirawat pemliknya).
Meningkatnya jumlah akiya, menjadi problematika tersendiri bagi Jepang. Sehingga, ada upaya dari pemerintah Jepang untuk menarik warganya manjadi penghuni akiya.
Belum lama ini, pemerintah Jepang baru saja menawarkan program yaitu pemberian uang kepada keluarga yang bersedia pindah dari ibu kota Tokyo sebesar satu juta yen ($7.590) per anak. Uang tunai dibayarkan kepada keluarga yang memiliki anak di bawah usia 18 atau 18 tahun asalkan mereka masih duduk di bangku SMA.
Walau tidak ada keterkaitan, namun perpindahan orang dari Tokyo yang padat ke area yang lebih jarang penduduknya, bisa jadi menambah pemakaian akiya yang tersebar di area lain.
Tidak hanya dibandrol dengan harga miring, pemerintah Jepang bahkan menawarkan insentif, keringanan pajak dan terkadang gratis untuk menarik orang-orang yang mau tinggal di akiya. Gratis yang dimaksud, tidak berarti pembeli tidak mengeluarkan uang sama sekali. Biaya administrasi, komisi agen, dan pajak-pajak lain tetap ditanggung oleh pembeli. Belum lagi, biaya renovasi yang harus dikeluarkan.
Namun, membeli akiya tetap jauh lebih murah dibandingkan rumah baru yang dijual di Jepang.
Untuk mempermudah akses para calon pencari maupun pembeli akiya, pemerintah Jepang bahkan membuat akiya banks, sebuah website yang digunakan sebagai layanan informasi properti yang dijalankan pemerintah daerah. Hal ini mempermudah kebutuhan informasi bagi orang tertarik membeli rumah kosong dan pindah ke daerah pedesaan yang telah dipilih.
Sebagai gambaran saja, satu rumah seharga 80.000 yen ($729) di kota Nagano adalah rumah bergaya tradisional Jepang yang luas dengan delapan kamar, kamar mandi yang baru saja direnovasi, dan pemandangan balkon pegunungan Nagano yang indah.
Sementara itu rumah seharga 50.000 yen ($455) memiliki spesifikasi tujuh kamar dengan taman yang luas. Rumah ini terletak di dekat sawah, yang pemandangannya bisa dinikmati dari kamar-kamarnya yang memiliki kamar mandi bergaya Jepang yang luas.
Awal Mula Akiya
Sebagian besar rumah-rumah ini kosong setelah pemiliknya meninggal atau pindah. Trend migrasi--perpindahan dari desa ke kota, turut menyumbang jumlah akiya di Jepang.
Tsutsui Kazunobu, profesor studi regional di Universitas Tottori Jepang menyebutkan, di 1960 rata-rata ada 39 rumah tangga per komunitas pedesaan di Jepang. Sementara pada 2015, jumlah itu menurun menjadi hanya 15 rumah tangga.
Di Okutama, daerah yang berjarak dua jam perjalanan kereta api ke arah barat dari pusat prefektur Tokyo, populasinya terdiri dari lebih 13.000 orang pada tahun 1960 - peride saat ada perdagangan kayu yang menguntungkan.
Namun setelah liberalisasi impor dan turunnya permintaan kayu pada tahun 1990-an, sebagian besar anak muda pergi ke kota. Kini, Okutama hanya memiliki 5.200 penduduk.
Tetapi fenomena akiya ini juga tak bisa dilepaskan dari permasalahan demografi penduduk Jepang.
Angka kelahiran di Jepang cenderung menurun sejak tahun 1970-an dan sensus resmi pemerintah lima tahunan pada tahun 2018 menunjukkan dari 47 prefektur di Jepang, 37 di antaranya mencatatkan populasi yang lebih kecil dibandingkan dengan sensus yang dilakukan pada tahun 1995.
National Institute of Population and Social Security bahkan memperkirakan populasi Jepang diperkirakan akan menurun dari 127 juta menjadi 88 juta pada tahun 2065. Ini artinya akan makin sedikit orang yang membutuhkan rumah.
Laporan tahun 2014 yang berjudul 'Local Extinctions' yang diterbitkan oleh Hiroya Masuda juga menyoroti bagaimana kemungkinan pada tahun 2040 nanti ada hampir 900 kota dan desa di seluruh Jepang akan mengalami risiko kepunahan, dan benar-benar menjadi kota mati.
Tak heran Jepang menjadi negara yang memiliki tingkat vacancy rate (kekosongan properti) tertinggi dari 37 negara yang disurvei oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Secara nasional, Jepang memiliki tingkat kekosongan 14 persen.
Kaum Muda dan Akiya
Menjual rumah kosong di pedesaan memang menjadi salah satu solusi di negara-negara dengan populasi yang menua.
Tetapi di sisi lain Chris McMorran profesor di departemen studi Jepang di National University of Singapore (NUS) mengatakan, kaum muda ragu untuk pindah ke pedesaan karena kesempatan yang terbatas.
Selain itu juga akiya sendiri disebutnya sebagai permasalahan kaum muda yang tidak ingin tinggal di antara rumah kosong.
"Ada begitu banyak rumah kosong yang merusak lanskap yang semakin menghalangi peminat. Orang tak ingin tinggal di desa yang dikelilingi oleh 'rumah hantu' " kata McMorran.
Hal senada diiungkapkan pula oleh Anthony Rausch dari Hirosaki University yang menyebut kebanyakan akiya berada di pinggiran kota atau daerah pedesaan harus membuat seseorang benar-benar siap untuk melakukan perjalanan jauh menuju tempat bekerja. Atau pilihannya adalah anak muda ini harus memiliki rencana untuk menghasilkan pendapatan dari tempat tersebut.
Jika memang bersedia untuk menempati akiya, pemohon pun juga harus berkomitmen untuk menetap di tempat tersebut secara permanen dan berinvestasi untuk memperbaiki bangunan yang mereka tinggali.
McMorran juga menambahkan ada hambatan lain bagi kaum muda untuk kembali ke kehidupan pedesaan. Misalnya, kurangnya akses ke fasilitas dasar seperti rumah sakit dan toko serba ada yang akhirnya membuat orang pikir-pikir untuk tinggal di akiya.
Selain itu menurut salah satu ekonom Jepang di Institut Riset Nomura Jepang (NRI) Richard Koo, ada masalah cara pikir di masyarakat, bahwa membeli rumah bekas itu tidak menarik. Mereka lebih menyukai rumah sendiri yang baru dibangun.
Faktor keamanan rupanya juga juga turut berperan. Akiya dianggap rapuh secara struktural karena dibangun sebelum amandemen undang-undang Standar Bangunan tahun 1981. Dalam amandemen undang-undang tersebut disebutkan, bangunan (setelah UU disahkan) setidaknya harus lima kali lebih kuat, sehingga tahan terhadap kerusakan akibat gempa bumi.
Menyelamatkan Akiya
Tapi masih ada harapan di balik suramnya permasalahan akiya di Jepang. Beberapa orang muda pun terpanggil untuk menempati akiya - dengan berbagai alasan.
Tokai Chizuru menginginkan gaya hidup yang lebih sederhana setelah tinggal di Osaka bersama suaminya selama tiga tahun. Ia memutuskan pindah ke sebuah akiya di pedesaan Wakayama. Butuh waktu delapan bulan untuk membersihkan rumah dan 1,5 juta yen ($12.500) untuk membuat properti layak huni.
Sebagian besar pekerjaan berpusat pada pekerjaan mengubah sawah terbengkelai di sekitar rumah, menjadi lahan subur untuk bercocok tanam sendiri.
"Di musim semi, kami membuat teh dan memetiknya dari kebun. Terkadang kami membuat produk olahan dari plum dan yuzu yang kami tanam. Kami juga mulai beternak ayam. Saya sangat menikmati kedamaian, ketenangan, dan tradisi daerah ini," katanya.
Hayashi Noriaki, pengusaha berusia 30-an, mengubah akiya-nya di Wakayama menjadi bioskop sekaligus toko buku. Untuk membuat itu semua, ia menginvestasikan enam juta yen ($72.800) dan empat tahun untuk menyelesaikan pembangunannya.
Sementara itu Maigo Mika seorang penulis dalam blognya membagikan pengalamannya tinggal di akiya saat ia memutuskan pindah ke prefektur Kochi.
Sejauh ini, ia telah menghabiskan delapan bulan pertama untuk membuat rumah menjadi lebih nyaman huni. Rumah yang ia tempati sekarang telah kosong selama tujuh tahun sehingga meninggalkan rumput liar dan tanaman merambat yang menutupi halaman dan dinding batu.
Debu serta kotoran berserakan termasuk menjumpai banyak tokek, menjadi kesan pertamanya. Namun itu ternyata tak menyurutkan niatnya untuk melanjutkan renovasi dan berbagi dengan pembacanya mengenai kehidupan di pedesaan Jepang.
Fenomena pandemi Covid-19 kini membawa perubahan pada cara orang memandang interaksi antara pekerjaan dan kehidupan. Kerja remote bisa menjadi pilihan dan memiliki bisnis menjadi hal yang lumrah, sehingga di mana pun seseorang tinggal tak selalu jadi halangan.
Cara kerja ini secara tidak langsung dan perlahan dapat menghidupkan kembali desa-desa yang hampir mati di Jepang, dan membuat akiya mendapatkan penghuninya kembali.
Penulis: MN Yunita
Editor: Lilin Rosa Santi