Menuju konten utama

Akhir Pertempuran Medan Area dan Dampak yang Ditinggalkan

Pertempuran Medan Area adalah peristiwa sejarah era revolusi fisik atau masa perang mempertahankan kemerdekaan RI di Sumatera Utara. Ini kisah selengkapnya.

Akhir Pertempuran Medan Area dan Dampak yang Ditinggalkan
Ilustrasi perang. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pertempuran Medan Area merupakan peristiwa sejarah pada era revolusi fisik atau masa perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Pertempuran Medan Area terjadi di Medan, Sumatra Utara (dulu masih bernama Sumatra Timur), beberapa bulan setelah proklamasi.

Latar belakang Pertempuran Medan Area adalah kedatangan pasukan Sekutu di Sumatera Utara pada 9 Oktober 1945. Tujuan kehadiran Sekutu selaku pemenang Perang Dunia II ialah untuk mengurus tawanan dan melucuti senjata tentara Jepang di Indonesia.

Rupanya, saat itu Sekutu diboncengi oleh pasukan Belanda yang saat itu memakai nama Netherland Indies Civil Administration (NICA). Belanda ingin kembali menguasai wilayah Indonesia yang dulu beratus-ratus tahun mereka duduki.

Rakyat dan kaum pejuang di Sumatera Utara, khususnya di Medan, tentu tidak tinggal diam melihat gelagat buruk tersebut. Maka, terjadilah konflik bersenjata antara pejuang republik dan Sekutu. Lalu, bagaimana akhir pertempuran Medan Area?

Akhir Pertempuran Medan Area

Kisah akhir Pertempuran Medan Area tidak bisa dilepaskan dari perjuangan laskar republik untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan pada Agustus 1945.

Kronologi Pertempuran Medan Area bisa dilacak sejak Oktober 1945. Titik baliknya adalah ketika Sekutu yang diboncengi NICA mendarat di Sumatra dan berusaha menguasai kembali wilayah Indonesia.

Sebagaimana tercatat dalam bukuSejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Sumatera Utara (1979/1980), perlawanan rakyat selama perang Medan Area cenderung kurang terpusat. Setiap kelompok mengatur pasukannya sendiri. Hal itulah yang membuat NICA dengan mudah mengontrol situasi perang.

Alhasil, pada April 1946, pasukan Sekutu dan NICA berhasil menduduki Kota Medan, memaksa pemerintah Indonesia, termasuk gubernur dan walikotanya, juga Markas Divisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), mundur ke Pematang Siantar.

Sejak itu, Kota Medan kosong. Hanya ada Mr. Mohd Yusuf yang memimpin di sana, sekaligus berperan menjadi kepala perwakilan RI, serta Kapten Asmaruddin sebagai perwira penghubung.

Sejak berhasil menguasai wilayah Kota Medan, Belanda melaksanakan pemerintahannya. Mereka juga meningkatkan operasi militernya di sekitar Medan. Dengan bala bantuan dan kapal-kapal capungnya, Belanda membomi pemusatan pasukan TKR alias Laskar Rakyat.

Namun, pasukan Indonesia tidak tinggal diam. Para pimpinan pasukan, seperti Marzuki Lubis, Xarim M.S., Nathar Zainuddin, mulai mengoordinasi para pejuang guna melawan balik. Mereka kemudian membentuk Resimen Lasykar Rakyat Medan Area (RLMA) pada 10 Agustus 1946.

Guna meredam konfrontasi senjata yang berlarut-larut, pihak Indonesia, Sekutu, dan Belanda, sebenarnya telah melakukan beberapa perundingan. Salah satunya pada 20 September 1946. Perundingan itu akhirnya disepakati pada 14 Oktober tahun yang sama, dengan tujuan akhir gencatan senjata.

Di Medan, kelanjutan kesepakatan gencatan senjata juga dilakukan melalui perundingan yang disebut Local Joint Comittee. Namun, kesepakatan itu bisa dikatakan tidak berjalan baik karena Belanda dan Sekutu terus melakukan pelanggaran berupa penyerangan.

Menurut buku Sejarah Daerah Sumatera Selatan (1978), pada 7-9 Januari 1947, para pimpinan pasukan mengadakan pertempuran. Perundingan tersebut menghasilkan keputusan pembubaran RLMA dan menggantinya dengan Komando Medan Area (KMA) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soecipto. Itu sekaligus merupakan penggabungan beberapa divisi, termasuk divisi Gajah I dari Aceh.

Pada 26 Januari 1947, perundingan antara pihak republik dan Belanda kembali dilakukan. Namun, hasilnya lebih menguntungkan Belanda karena gencatan senjata berlaku saat pejuang Medan Area mulai solid dalam melancarkan serangan balasan.

Memasuki Februari, perjanjian mengenai gencatan senjata masih berlaku. Kedua belah pihak juga menyepakati penghentian peperangan secara menyeluruh di wilayah Indonesia.

Berdasarkan buku Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara (1994) yang ditulis oleh Sabaruddin Ahmad, pengumuman berlakunya gencatan senjata yang berlaku di seluruh Indonesia tersebut disiarkan melalui radio Yogyakarta pada pertengahan Februari 1947. Penyiaran itu sekaligus menandai akhir perlawanan Pertempuran Medan Area.

Dampak Pertempuran Medan Area

Akhir Pertempuran Medan Area meninggalkan dampak mendalam bagi rakyat, khususnya Indonesia. Berikut beberapa dampak Pertempuran Medan Area yang tidak terelakkan.

1. Korban jiwa

Pertempuran ini mengakibatkan korban jiwa di kedua belah pihak, termasuk tujuh pemuda Indonesia dan tujuh anggota NICA tewas, serta 96 anggota NICA lainnya luka-luka.

2. Pendudukan Kota Medan

Sekutu berhasil menduduki Kota Medan pada April 1946, memaksa pusat perjuangan rakyat Medan dipindahkan ke Pematang Siantar.

3. Perpindahan pusat pemerintahan

Akibat pendudukan tersebut, pemerintah Indonesia di Medan, termasuk gubernur dan walikota, terpaksa memindahkan pusat pemerintahan ke Pematang Siantar.

4. Pembentukan Komando Resimen Laskar Rakyat

Untuk melanjutkan perlawanan, pada 10 Agustus 1946, dibentuk Komando Resimen Laskar Rakyat di Tebing Tinggi, yang memperkuat koordinasi dan strategi perjuangan melawan Sekutu dan NICA. Meski begitu, pada Januari 1947, kelompok tersebut dibubarkan dan diganti dengan KMA.

5. Penetapan garis demarkasi

Setelah pertempuran berakhir, Panitia Teknik Gencatan Senjata melakukan perundingan untuk menetapkan garis-garis demarkasi yang definitif untuk Medan Area, sebagai upaya menjaga perdamaian dan mencegah konflik lebih lanjut.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Edusains
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Fadli Nasrudin