tirto.id - Hakim telah menjatuhkan vonis Mario Dandy dengan hukuman pidana penjara selama 12 tahun dan restitusi Rp25 miliar. Hukuman tersebut jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni membayar restitusi sebesar Rp120 miliar.
Restitusi sebesar Rp120 miliar merupakan rekomendasi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dihitung berdasarkan kerugian materiel yang ditimbulkan dari penganiayaan berat terhadap David Ozora tersebut. Selain mempertimbangkan biaya perawatan dan pengobatan, LPSK dan JPU melihat peristiwa tersebut menimbulkan kerugian bagi masa depan David.
Menanggapi hal tersebut, ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai putusan hakim sudah cukup adil. Hakim telah mempertimbangkan tuntutan JPU serta pembelaan terdakwa dan penasihat hukum terdakwa.
"Yang penting hakim memutuskan berdasarkan pada fakta-fakta yang terjadi di persidangan," jelas Abdul Fickar kepada Tirto melalui pesan singkat, Jumat (8/9/2023).
Dirinya mengatakan vonis hukuman penjara yang harus ditanggung oleh Mario Dandy sepenuhnya menjadi otoritas hakim. "Selama itu tidak melanggar batas maksimal hukuman yang ditentukan pasal UU yang [ada] di dakwaan saya rasa itu sudah sesuai," terangnya.
Sementara besaran denda yang harus dibayarkan oleh Mario Dandy, kata Abdul, LPSK memang memiliki kewenangan untuk perhitungan besaran dendanya. Namun, ketika sudah masuk ke persidangan, hakim mempertimbangkan fakta persidangan.
"Itu harus menjadi fakta di persidangan juga. Nanti berdasarkan penghitungan tersebut, hakim akan mengkaji perhitungan yang logis," ucapnya.
"Yang harus menjadi catatan bahwa hakim atau persidangan hanya berwenang memutuskan restitusi atas kerugian langsung atau faktual. Soal kerugian bukan kewenangan hakim memutuskan," jelasnya. Kerugian ikutan merupakan kewenangan peradilan perdata yang harus digugat tersendiri.
Abdul Fickar mengatakan perbedaan jumlah restitusi adalah hal yang harus disikapi dengan bijak dan kepala dingin. “Adanya perbedaan jumlah restitusi itu, LPSK boleh menghitungnya, tetapi ketika menjadi putusan, maka sepenuhnya menjadi otoritas hakim untuk menghitung jumlahnya yang logis,” tukasnya.
Penulis: Iftinavia Pradinantia
Editor: Maya Saputri