tirto.id - Magdalena Eda Tukan sudah dua pekan membersamai pengungsi erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki. Perempuan asal Larantuka, Flores Timur, NTT, itu punya tugas belanja kebutuhan logistik untuk para pengungsi. Erupsi Gunung Lewotobi mulai terjadi pada Senin (4/11/2024) dini hari. Erupsi terus terjadi hingga saat ini meskipun intensitasnya berkurang.
Ribuan warga masih bertahan di posko terpadu pengungsian yang terletak di enam desa di Flores Timur. Enam titik pengungsian terpusat di Desa Konga, Desa Bokang Wolomatang, Desa Lewolaga, Desa Eputobi, Desa Kobasoma dan Desa Ile Gerong. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan jumlah pengungsi mencapai 11.533 jiwa. Ini belum termasuk pengungsi di 10 lokasi mandiri yang sedikitnya berjumlah 1.105 orang.
Pengungsi sendiri sudah mendapatkan informasi dari pemerintah bahwa akan ada rencana relokasi bagi warga terdampak. Pekan lalu, Menteri Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, juga berkunjung langsung ke lokasi pengungsian di Kobasoma. Saat kunjungan itu, Ara, sapaan akrabnya, berjanji akan membangun 2.700 unit hunian bagi pengungsi. Ia juga mengeklaim warga-warga yang dikunjungi setuju atas usulan relokasi.
Kendati begitu, langkah pemerintah dinilai terkesan satu arah dan belum melibatkan warga secara bermakna dalam keputusan relokasi. Eda menilai, pendekatan yang diambil bersifat top down sehingga warga hanya terima jadi. Padahal, relokasi bukan keputusan mudah bagi warga. Warga harus meninggalkan tanah dan lahan yang sejak lama menghidupi mereka.
“Hal ini membawa risiko, relokasi itu akan mubazir, masyarakat tidak bakal mendiami rumah yang dibangun,” kata Eda yang berada di lokasi pengungsian saat dihubungi reporter Tirto, Senin (18/11/2024).
Perempuan yang menjabat sebagai Ketua harian SimpaSio Institute –lembaga kajian dan riset budaya Flores Timur– tersebut menilai, era reformasi seharusnya membawa semangat demokratisasi. Sehingga pendekatan top down dalam menyelesaikan persoalan masyarakat seharusnya tidak gunakan lagi. Tapi bukan rahasia lagi, kata Eda, stigma yang dipakai baru namun tetap memelihara paradigma lama.
“Bentuk dan struktur terbilang demokrasi, namun substansi dan kultur tetap otoriter,” kata Eda.
Eda menekankan bahwa hak ulayat masyarakat adat perlu dihormati dan dipertimbangkan baik-baik oleh pemerintah. Upaya relokasi tidak bisa meminggirkan masyarakat adat. Baik bagi para pengungsi yang akan direlokasi, ataupun warga yang ada di lokasi tujuan relokasi.
Kesepakatan masyarakat adat, kata Eda, harus ditampung oleh pemerintah saat melakukan relokasi. Hal ini hanya tercapai bila mengutamakan dialog terbuka dengan masyarakat adat. Menurut Eda, langkah ini dapat disebut sebagai pembangunan yang berbasis budaya. Yakni pembangunan yang dapat merespons realitas sosial budaya dari masyarakat lokal.
Pakar Manajemen Kebencanaan UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, setuju jika proses relokasi harus melibatkan masyarakat adat. Memang, kata Eko, praktik relokasi yang dilakukan pemerintah sudah banyak contoh yang sukses. Namun, Eko menegaskan relokasi yang dilakukan dengan pendekatan top down cenderung menimbulkan masalah.
“Tentu ada masalah yang akan muncul kalau cenderung top down. Terutama aspirasi dan cara merasakan yang berbeda, dibanding yang lebih bottom up,” ujar Eko kepada reporter Tirto, Senin (18/11/2024).
Menurut Eko, jika tidak ada diskusi dengan warga, pemerintah cenderung memakai metode relokasi menyatukan pengungsi di satu tempat yang sama. Misalnya, kata Eko, seperti yang terjadi pada korban erupsi Gunung Sinabung dan Semeru. Metode ini cenderung merugikan warga karena mereka tidak bisa menentukan lokasi yang akan dijadikan hunian baru.
Risiko lainnya, kata Eko, pendekatan seperti itu membuat warga jauh dari sumber-sumber penghidupannya. Jika warga dipisahkan berdasarkan mata pencaharian sehari-hari seperti berkebun, bertani, atau bahkan nelayan, maka akan jauh lebih baik daripada diseragamkan. Maka lokasi yang dipilihkan oleh pemerintah akan menyesuaikan dengan penghidupan warga.
Eko menilai, pemerintah harus melibatkan warga dan masyarakat adat untuk memperjelas lokasi lahan yang akan digunakan sebagai tempat relokasi. Akan ada potensi konflik lahan dan penolakan antarwarga jika relokasi dilakukan secara serampangan. Menurut Eko, justru persoalan ini akan melahirkan masalah baru di masa yang akan datang.
“Konflik lahan pasti saja muncul. Itu juga perlu dipertimbangkan, bukan hanya lahan konteks masyarakat adat tapi perlu adanya kesesuaian dengan tata kelola adat yang lain,” ucap Eko.
Kepala Departemen Kampanye dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benny Wijaya, menyatakan pemerintah cenderung memandang lahan dari sisi legal-formal saja. Akibatnya negara sering kali mengabaikan hak masyarakat adat yang menempati dan mengelola lahan dalam waktu turun-temurun. Benny mengingatkan sikap semacam ini jangan terulang dalam rencana relokasi penyintas erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki.
Keadaan darurat jangan sampai membuat pemerintah mengabaikan potensi konflik agraria. Sikap serampangan dalam rencana relokasi berpotensi mengundang masalah bagi warga. Ia mengingatkan agar pemerintah mengajak warga berunding secara bermakna.
“Kita harus ingat konflik agraria atau penggusuran datang dari pemerintah yang mengeklaim sepihak. Jadi pemerintah tidak melihat di lapangan apakah itu sudah menjadi pemukiman atau lahan masyarakat adat,” kata Benny kepada reporter Tirto.
Sementara itu, BNPB bersama Pemda Flores Timur mulai melakukan sosialisasi rencana relokasi kepada korban terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki pada Minggu (17/11/2024). Kegiatan ini dipimpin langsung oleh Deputi Bidang Rehabilitasi BNPB, Jarwansyah.
Enam desa itu adalah: Desa Klatanlo, Desa Hokeng Jaya, Desa Boru, Desa Nawokote di wilayah Kecamatan Wulanggitang, Desa Nobo di Kecamatan Ile Boleng, dan Desa Dulipali di Kecamatan Ile Bura. Keenam desa ini memiliki jarak dari kawah Lewotobi Laki-laki antara 4-5 kilometer.
Pada kesempatan ini, Jarwansyah menjelaskan kepada warga tentang skema relokasi yang dapat dipilih. Opsi pertama adalah relokasi terpusat di mana lahan dan rumah disiapkan oleh pemerintah. Opsi kedua adalah relokasi mandiri di mana warga dibangunkan rumah oleh pemerintah di lahan miliknya.
Untuk rumah rusak yang terdampak erupsi, pemerintah juga mempersiapkan skema dana stimulan untuk perbaikan. Yakni dana sebesar Rp60 juta untuk rumah rusak berat, Rp30 juta untuk rumah rusak sedang, dan Rp15 juta untuk rusak ringan.
“Uang itu hanya boleh untuk membangun rumah, tidak boleh untuk beli motor, mobil, atau yang lainnya,” kata Jarwansyah dalam keterangan tertulis, Senin (18/11/2024).
Penyakit Membayangi
Musim penghujan juga membawa persoalan baru bagi para pengungsi. Salah satu relawan di Posko Konga, Tarry Kerans, menuturkan, tenda-tenda posko yang langsung beralaskan tanah membuat para pengungsi beristirahat kurang nyaman. Beberapa pengungsi sudah mulai diserang penyakit langganan musim hujan, seperti batuk dan pilek. Untungnya, tim medis selalu siap sedia setiap hari untuk mengecek kondisi kesehatan pengungsi.
“Ini sudah masuk musim hujan, jadi terlihat sangat kacau karena harus berlari dengan hujan, dan kita hanya tidur beralaskan terpal di tanah, yang agak menyusahkan pengungsi di sini,” kata Tarry yang tengah berada di Konga lewat sambungan telepon kepada Tirto, Minggu (17/11/2024).
Di Posko Konga ada sedikitnya 1.700 pengungsi yang tinggal di tenda pengungsian dan sebagian rumah-rumah warga Konga. Tarry menyatakan para pengungsi juga termasuk kelompok rentan, seperti anak-anak, lansia, ibu hamil, dan bahkan ibu menyusui. Pengungsi juga kekurangan tenaga untuk bertugas di dapur umum dan menemani anak-anak.
Tarry mengaku erupsi Gunung Lewotobi sudah terjadi sejak tahun lalu, namun masih dalam skala yang kecil. Akibatnya, tak sedikit para pengungsi di Konga memiliki bawaan penyakit pernapasan. Hal ini perlu menjadi perhatian di tengah musim hujan yang mulai datang.
Peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, memandang pemerintah harus melindungi para pengungsi, terutama kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan ibu hamil, selama musim hujan. Dewi khawatir keadaan ini dapat meningkatkan risiko penyakit di posko pengungsian. Pemerintah harus mengambil langkah terkoordinasi dan berorientasi pada kebutuhan langsung untuk situasi terkini dan jangka panjang.
“Seperti tempat yang aman dan layak, akses air bersih dan sanitasi, pelayanan kesehatan dan kebutuhan dasar, termasuk distribusi logistik bantuan untuk para pengungsi,” ucap Dewi kepada reporter Tirto, Senin.
Dewi menilai sinergi, koordinasi, dan komunikasi pemerintah serta para stakeholder menjadi langkah vital untuk menghadapi situasi ini. Bantuan yang disediakan pun harus dilakukan secara cermat agar bantuan sesuai kebutuhan, tepat sasaran, tepat waktu, transparan dan akuntabel.
“Dengan bermusyawarah dan melibatkan para pihak terkait, pemerintah dapat berperan menjadi fasilitator dialog,” ucap Dewi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz