tirto.id - Selama era Reformasi, sejak 1999 hingga kini terdapat empat menteri asal Papua. Mereka berada dalam rezim pemerintahan berbeda.
Selama Presiden Abdurrahman Wahid, ada satu menteri asal Papua yakni Freddy Numberi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (1999-2000).
Kemudian, Manuel Kasiepo, Menteri Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (2001-2004) era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Dalam Kabinet Susilo Bambang Yudhouono, ada dua menteri. Lagi-lagi Freddy Numberi jadi Menteri Perhubungan (2009-2011), Menteri Kelautan dan Perikanan (2004-2009). Satu lagi, ada Balthasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup (2011-2014).
Selama pemerintahan Joko Widodo periode I, ada satu menteri Papua yakni Yohana Yembise, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2014-sekarang).
Pelibatan menteri asal Papua di masa Jokowi mengulang sejarah selama era Reformasi. Ia berjanji melanjutkan mandat sejarah ini dalam periode pemerintahan II 2019-2024.
"Saya pastikan ada orang Papua yang masuk kabinet," kata Presiden Jokowi sesaat setelah menerima perwakilan siswa SD Kabupaten Jayapura dan Asmat Provinsi Papua di Istana Merdeka Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Jokowi belum memastikan berapa orang yang akan masuk ke kabinet. Ia hanya memastikan akan ada perwakilan orang Papua. "Berapa orang, nanti kita lihat," katanya.
Mengenai kapan kabinet akan diumumkan, Jokowi mengatakan bisa hari yang sama saat pelantikan bisa juga sehari setelahnya.
Ia menyebutkan saat ini sudah punya susunan kabinet. Dengan pertimbangan tertentu, lanjutnya, menjelang pengumuman bisa saja susunan kabinet berubah.
Representasi Tanpa Substansi
Kepala Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Pegunungan Tengah Papua, Theo Hesegem, mengkritik penempatan warga Papua di pos menteri terkesan hanya formalitas.
Menurut Theo, beberapa kali orang Papua menjadi menteri di berbagai rezim presiden tak selesaikan problem-problem dasar Papua.
"Tapi itu sebenarnya tidak membawa dampak perubahan di Papua. Menurut saya hanya formalitas. Papua itu daerah politik yang sangat tinggi, sehingga untuk meredakan isu Papua sengaja pemerintah Indonesia menerima orang Papua di jajaran pemerintahan, seperti menteri dan duta besar," kata Theo saat dihubungi wartawan Tirto, Sabtu (12/10/2019).
Karena, menurut Theo, para menteri atau pejabat lainnya yang berada di pemerintahan Indonesia yang berada di Jakarta, tak benar-benar merepresentasikan masyarakat asli Papua.
"Itu hanya pribadi dan demi kepentingan bangsa mengamankan situasi Papua. Para menteri dari Papua bisa mengatasnamakan masyarakat Papua jika mendapat rekomendasi dari masyarakat Papua asli. Tapi saya pikir selama ini orang-orang yang jadi menteri bukan atas rekomendasi orang Papua asli," katanya.
Lagi pula, kata Theo, mau ada atau tidaknya perwakilan orang Papua dalam kabinet kementerian, tak bisa menghentikan pengiriman pasukan bersenjata, sebagai bagian solusi.
"Justru kecenderungannya jika ada masalah di Papua hanya dengan mengirim pasukan TNI dan polisi. Itu tidak menyelesaikan masalah. Itu hanya memancing dan menambah masalah," ujar dia.
Selama pemerintahan Jokowi, ada dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Di antaranya Tragedi Paniai pada 8-9 Desember 2014. Empat orang tewas di lokasi, 1 orang tewas saat perawatan di rumah sakit, dan 13 orang lainnya luka-luka.
Komnas HAM telah bentuk Tim Ad Hoc Kasus Paniai lewat surat keputuan Ketua Komnas HAM RI nomor 005/KOMNAS HAM/II/2019.
Kemudian, juga ada kasus penanganan pengungsian di Nduga pascaoperasi TNI dan Polri dan kerusuhan di Wamena, baru-baru ini.
Tawarkan Dialog
Pendeta Benny Giay, Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Indonesia (KINGMI) di Tanah Papua, menguatkan pendapat tersebut.
Ia menganggap ada tidaknya orang Papua dalam kabinet menteri tak penting jika tak memahami permasalahan rakyat asli Papua.
"Yang rakyat Papua hari ini ratapi ialah kondisi bangsa Papua yang dijadikan sebagai kasta paling rendah selama ini, yang tidak sejajar kedudukannya di hadapan hukum dan sosial Indonesia,” ungkap dia saat dihubungi.
“Papua hari ini dimasukkan ke dalam NKRI hanya menjadi korban dari segala kebijakan pmbangunan. Kalau masih dianggap sebagai ‘monyet’ yang tidak berakal sehat dan tidak bermoral, untuk apa diberi jabatan menteri?" imbuhnya.
Yohana dan Freddy yang pernah menjadi menteri pun, kata Benny, dianggap tak paham sejarah penderitaan kalangan bawah masyarakat Papua.
"Dia [Yohana] hanya elite. Enggak ada kontribusi. Wamena dan Nduga pun enggak ada perubahan dia menterinya. Apalagi 61 orang yang datang ke Istana beberapa waktu lalu itu orang elite semua. Enggak paham masalah," katanya.
Ke-61 orang tersebut dari penelusuran Tirto, difasilitasi oleh Badan Intelijen Negara (BIN). Di antara tuntutannya membangun Istana Presiden di Papua, kontradiktif dengan persoalan di Papua.
"Kalau pun ada dialog dengan pemerintah, selama ini dialog dilakukan hanya dengan mendudukkan manusia Papua tidak sejajar dengan manusia luar Papua. Lebih bawah. Ini masalah," lanjutnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Zakki Amali