tirto.id - Langit masih kebiruan ketika nyala kamera wartawan bergantian menahan laju mobil listrik oranye yang melintas di kompleks Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Jumat 20 September 2019. Di dalam mobil tampak sosok Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan pembalap Formula 2 asal Indonesia, Sean Gelael.
Duduk di kursi sebelah kanan, Sean terpaku pada kemudi sambil sesekali menatap kamera di sekelilingnya. Sedangkan Anies yang menduduki kursi sebelah kiri berusaha mematenkan senyum sambil melambaikan tangan kanannya.
Anies tampak sumringah. Hari itu ia mengumumkan kepada semua orang bahwa Jakarta, atau lebih tepatnya kawasan Monas, bakal jadi lokasi penyelenggaraan salah satu seri Formula E musim 2020/2021.
Formula E merupakan ajang balap mobil bertenaga listrik yang sudah rutin terselenggara sejak 2014. Balapan ini memungkinkan dihelat di mana saja karena hanya mensyaratkan kriteria aspal dengan kemiringan grade 3, lebih ringan ketimbang syarat trek Formula 1 (grade 1). Efek kebisingannya jauh lebih ringan dan pelaksanaannya juga relatif lebih singkat; sekali balapan cuma memakan waktu 45 menit + 1 putaran.
Kontrak Pemprov Jakarta dengan Fédération Internationale de l'Automobile (FIA), federasi otomotif yang menggawangi Formula E dicanangkan berlaku lima tahun, hingga musim 2024/2025.
Seri balapan pertama di Indonesia, kata Anies, sudah pasti dihelat pada 6 Juni 2020, bertepatan hari ulang tahun inisiator Monas sekaligus presiden pertama Indonesia, Soekarno. Anies lantas menjanjikan bakal ada pengumuman detail sesegera mungkin.
"Detail trek belum dituntaskan akan diumumkan kemudian, yang jelas digelar di kawasan Monas ini."
Sayang definisi segera yang dimaksud Mendikbud Kabinet Kerja itu berbeda dengan persepsi umum. Ada jarak hampir lima bulan dari janji Anies hingga rute sirkuit benar-benar diumumkan oleh PT Jakarta Propertindo (JakPro), Jumat (14/2/2020).
Maju Mundur Birokrasi
Ada sejumlah alasan mengapa pengumuman detail rute ini begitu lamban. Penyebab terkuat adalah proses memasukkan izin ke Komisi Pengarah (Komrah) Medan Merdeka–selaku pengelola kawasan Monas–yang juga relatif lambat.
Kendati lokasi balapan sudah digembar-gemborkan Anies sejak bulan September 2019, izin baru diajukan Pemprov DKI tiga bulan kemudian. Hal ini dibenarkan oleh Sekretaris Mensesneg, Setya Utama.
"Kalau tanggal pasti diterimanya, saya harus cek data dulu. Tapi yang jelas, surat [dari Pemprov DKI] baru kami terima sekitar pertengahan Desember 2019," ujar Setya kepada Tirto, Kamis (6/2/2020).
Saat kami konfirmasi alasan pengajuan izin yang lamban ini, Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta, Saefullah membela diri dengan menyebut bahwa "memang sudah semestinya izin itu diajukan bulan Desember." Menurutnya tidak ada yang salah dari perizinan itu, sebab balapan baru akan dihelat bulan Juni 2020.
Saeful boleh berkata demikian, tapi faktanya izin yang baru masuk ini otomatis bikin pembahasan Komrah juga mundur. Komrah, yang turut beranggotakan lima menteri akhirnya baru bisa melakukan rapat terkait perizinan Formula E pada Rabu 5 Februari 2020.
Nahasnya lagi, rapat ini tidak menghasilkan keputusan bulat. Tiga menteri–Mensesneg Pratikno, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, serta Menparekraf Wishnutama–dikabarkan cenderung tidak menyetujui balapan digelar di dalam wilayah Monas. Sementara dua menteri lain yakni Mendikbud Nadiem Makarim dan Menhub Budi Karya tak menunjukkan sikap pasti.
Alhasil pembahasan pada 5 Februari 2020 berujung buntu. Tidak ada surat izin yang keluar.
Izin untuk balapan baru muncul dua hari kemudian, hanya tiga hari sebelum Anies berencana menemui langsung Presiden Joko Widodo untuk membincangkan perizinan balapan. Itu pun dengan empat poin catatan.
Ada empat syarat yang diminta Komrah. Antara lain kewajiban pembangunan Sirkuit Monas sesuai UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, kewajiban menjaga kelestarian dan keasrian Monas, serta menjaga ketertiban dan keamanan sekitar selama masa persiapan hingga balapan.
Kemudian, pada poin keempat sekaligus yang tak kalah penting, Komrah mengimbau agar Pemprov DKI melibatkan seluruh instansi terkait guna menghindari kerusakan kawasan Medan Merdeka, baik di dalam maupun luar Monas. Instansi terkait dalam hal ini adalah Kementerian Lingkungan Hidup atau Dinas Lingkungan Hidup dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Permintaan Komrah ini direspons Anies lewat surat yang dia kirim usai pertemuan dengan Jokowi yang dihelat Senin (10/2/2020). Dalam surat bernomor 61/-1.857.23 tertanggal 11 Februari 2020 itu terlampir desain akhir sirkuit yang mengalami perubahan.
Desain baru Anies, yang diklaim masih dirancang Tilke, tidak lagi mengitari Monas seperti dalam proposal awal JakPro. Rute balapan memang sampai masuk ke Monas, tapi hanya melintas di sebelah barat monumen, kemudian menyusuri sisi selatan (masuk lewat Gerbang Silang Barat Daya dan keluar lewat Gerbang Belakang Stasiun Gambir).
Jumlah tikungan juga berkurang dari 13 jadi 12; delapan ke kanan dan empat ke kiri. Satu-satunya yang tidak mengalami penyesuaian berarti adalah penggunaan area Jalan Medan Merdeka Selatan serta Kantor Gubernur DKI Jakarta (Balai Kota) sebagai titik start sekaligus finis.
Dalam surat yang sama Anies juga berjanji menuruti permintaan Komrah soal syarat tak merusak cagar budaya, dibuktikannya dengan mencatut klaim sudah ada rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) DKI Jakarta.
Belakangan diketahui rekomendasi ini bukan muncul dari TCAB, melainkan dari TSP. Saefullah, mewakili Anies lantas kembali mengajukan pembelaan, menyebut kejadian itu sebagai "salah ketik" dan "manusiawi".
Setya Utama tidak merespons saat kami tanya apakah sudah ada revisi yang ia terima dari Pemprov DKI, juga terkait apakah perubahan desain sirkuit yang diajukan Anies ada kaitannya dengan pertemuan sang gubernur dengan Jokowi sehari sebelumnya. Panggilan telepon kami tidak diangkat lagi dan pesan singkat kami hanya dibaca.
Sedangkan Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (JakPro), Dwi Wahyu Daryoto menolak membahas hal itu. Satu hal yang bisa dia garansi adalah kebenaran bahwa desain baru itu masih merupakan rancangan yang disusun Tilke.
"Sejak awal untuk antisipasi dari sananya [FEO dan Tilke] memang bikin beberapa alternatif rute," ujar Dwi saat kami temui di kantornya, Kamis (20/2/2020).
Masih Yakin Terkejar
Kendati perizinan molor dan desain berubah dari bocoran awal, JakPro selaku pelaksana pembangunan Sirkuit Monas masih tetap manjanjikan trek bisa rampung tepat waktu.
Alasannya, material terpenting yang diperlukan untuk membangun sirkuit, yakni barrier alias pagar pembatas sudah dicicil dan mampu dikerjakan JakPro sebanyak 40-50 butir per hari.
Pengerjaan pembatas itu sudah berjalan sejak awal Februari, dua pekan selepas alat pencetak pembatas (molding) tiba diimpor dari Hongkong pertengahan Januari 2020.
Dengan asumsi sirkuit membutuhkan 1.600-2.000 buah pembatas dan pencetakan tak menemui kendala berarti, pengerjaan pembatas dicanangkan tuntas dalam kurun 40-50 hari.
"Bisa kami buat secepat itu karena perkara jenis semen dan sebagainya enggak perlu mikir, sudah diatur FIA. Campurannya itu rumusnya sudah seragam. Kami tinggal beli molding dan melakukan pencetakan, itu cepat sekali," terang Dwi.
Selain pembatas, dua aspek utama sirkuit yang lain, yakni aspal dan grandstand juga diproyeksikan bisa selesai dalam waktu cepat. Pengaspalan akan dimulai Bulan Maret dan ditargetkan selesai sebelum April. Sedangkan untuk tribun proses pemasangannya cuma butuh dua sampai tiga hari.
"Cepat sekali. Seperti pasang tenda kawinan lah," ujar Dwi sambil bergurau.
Sedangkan soal prasyarat yang diminta Komisi Pengarah, JakPro berkata terus memakai aturan negara sebagai acuan.
"Saya sampai hafal loh Undang-Undangnya [UU Nomor 11 Tahun 2010]. Saking karena setiap hari kami bolak-balik dan pelajari," sambung Dwi.
Dwi mengklaim dirinya telah merinci dan mengklasifikasikan syarat-syarat itu agar tidak tercecer. Khususnya syarat keempat terkait koordinasi dengan sejumlah instansi.
Koordinasi ini, contohnya, jadi bekal JakPro mengambil sikap untuk menimpa batu alam (cobblestone) yang ada di Monas dengan aspal. Penimpaan dengan aspal ini diklaim Dwi punya tujuan baik, yakni juga dalam rangka meningkatkan kelayalan aksesibilitas area Monas bagi pejalan kaki dan difabel.
"Sejauh ini rencananya area itu akan ditimpa, tapi belum pasti. Sudah kami cek di Undang-Undang itu tak masalah, karena yang masuk sebagai cagar budaya dari Monas adalah monumennya, bukan batu alamnya."
Bukan Sepele
Membayangkan penjelasan Dwi sepintas bikin siapa saja yakin bahwa pembangunan Sirkuit Monas adalah perkara ringan. Tapi, perkara mudah ini bisa jadi bumerang apabila tak diatur dengan ketat dan disiplin.
Soal aspal misal, kendati prosesnya bisa diselesaikan dengan cepat, tenggatnya tidak boleh sampai mundur. Demikian pula menurut Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI), Sadikin Aksa.
Sadikin, yang sudah makan asam garam soal pembangunan lintasan karena punya pos penting di perusahaan Semen Bosowa, berkata bahwa diperlukan rentang yang tidak sebentar antara waktu selesai pembangunan aspal hingga waktu balapan.
"Dari aspal jadi itu, untuk dipakai balapan kondisinya harus keras. Artinya harus dibiarkan dulu, dikasih jeda. Misal jarak aspal jadi dengan balapan mepet, istilahnya aspalnya pasti belum 'matang'," ujarnya kepada Tirto, Selasa (18/2/2020).
Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah bongkar pasang infrastruktur serta pemeliharaannya, sebab Sirkuit Monas bersifat sirkuit temporer (tidak permanen). Artinya, setiap tahun JakPro punya tugas berat menjaga konsistensi kualitas trek Monas, apalagi kontrak Jakarta sebagai tuan rumah Formula E masih akan berjalan panjang.
"Pengecekan ulang jika itu sirkuit permanen tidak diperlukan. Namun karena ini sirkuit jalan raya, perlu dilakukan finalisasi pengecekan apakah aman digunakan untuk balapan. Semisal Formula E, berarti pengecekannya setiap tahun menjelang balapan."
Dwi, di sisi lain mengaku sudah memikirkan berbagai tantangan dan konsekuensinya. Itu pula alasan kenapa dia cenderung cocok dengan opsi menumpuk cobblestone di Monas dengan aspal, sebab jika dibongkar pasang bisa jadi justru akan mempengaruhi kematangan aspalnya.
Sedangkan soal memastikan tingkat kekerasan aspal secara keseluruhan, dia menjamin akan ada waktu sekitar satu hingga dua bulan, khususnya sepanjang Mei, bagi sirkuit untuk bisa dilintasi kendaraan publik.
Dengan membiarkan kendaraan melintas selama sebulan, menurut Dwi, aspal akan lebih cepat mengeras. Selain itu keputusan ini juga bakal meminimalisir dampak kemacetan akibat pembangunan sirkuit.
"Kami sudah komitmen sebisa mungkin pembangunan ini juga jangan sampai mengganggu lalu lintas. Makanya saya selalu bilang, koordinasi dengan instansi terkait menjadi penting," tandasnya.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Mawa Kresna