Menuju konten utama

Adakah Ladang Cuan bagi Indonesia Bila Tiktok Dilarang di AS?

Pemerintah harusnya bisa merayu TikTok berinvestasi lebih besar di Indonesia usai dibatasi di AS. Setuju?

Adakah Ladang Cuan bagi Indonesia Bila Tiktok Dilarang di AS?
Ilustrasi tiktok. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dua hari sebelum Donald Trump dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat (AS), TikTok berhenti beroperasi di Negeri Paman Sam, tepatnya Sabtu (18/1/2025) malam. Alih-alih video, aplikasi tersebut menampilkan pesan pop-up kepada pengguna yang berisi tentang pemberlakuan undang-undang yang melarang TikTok di AS.

Tak berselang lama, sekitar Minggu (19/1/2025) siang, aplikasi tersebut kembali berfungsi. Lewat akun Truth Social-nya, Trump bilang bahwa ia akan mengeluarkan perintah eksekutif pada Senin, (20/1/2025).

Ia akan memperpanjang periode waktu aplikasi TikTok untuk beroperasi di awal masa jabatannya. Selain itu, Trump juga mengatakan akan membuat kesepakatan untuk melindungi keamanan nasional Amerika Serikat.

Trump menyatakan kalau ia ingin AS punya kepemilikan saham sebesar 50 persen di entitas baru yang melibatkan TikTok, tetapi tidak jelas seperti apa bentuknya.

Huru-hara ini sebenarnya berawal dari Jumat (17/1/2025), di mana Mahkamah Agung AS menegakkan undang-undang yang memaksa pemilik TikTok yang berasal dari Cina, ByteDance, untuk menjual aplikasi itu ke sebuah perusahaan Amerika. Jika tidak, menurut aturan tersebut, TikTok bakal menghadapi larangan di seluruh wilayah AS.

"Sesuai kesepakatan dengan penyedia layanan kami, TikTok sedang dalam proses memulihkan layanan. Kami berterima kasih kepada Presiden Trump karena telah memberikan kejelasan dan jaminan yang diperlukan kepada penyedia layanan kami bahwa mereka tidak akan menghadapi hukuman apa pun dalam menyediakan TikTok," kata perusahaan TikTok dalam sebuah pernyataan, seperti dinukil dari The New York Times.

Pasalnya, undang-undang yang berlaku akan menghukum toko aplikasi (app store), seperti Apple, Google, dan perusahaan internet lainnya, seperti Oracle, lantaran mendistribusikan atau memperbarui konten TikTok.

Pejabat AS memang telah lama khawatir tentang hubungan ByteDance dengan pemerintah Cina. Mereka telah menunjukkan bahwa ByteDance dapat menyerahkan data pengguna AS yang sensitif ke Beijing, seperti informasi lokasi.

Kekhawatiran itu diperparah dengan adanya undang-undang yang memungkinkan pemerintah Cina untuk secara diam-diam meminta data dari perusahaan dan warga negara setempat untuk operasi pengumpulan intelijen.

Di lain sisi, AS juga cemas kalau Cina dapat menggunakan rekomendasi konten TikTok untuk memicu misinformasi, saat kekhawatiran soal itu memang meningkat di AS pasca perang Israel-Hamas memanas dan selama pemilihan presiden.

Namun demikian, TikTok sudah lama menyatakan bahwa pihaknya tidak pernah menyalahgunakan data atau menyebarkan propaganda atas perintah Beijing di AS.

Mereka telah mencoba menjauhkan diri dari ByteDance, yang dianggap sebagai salah satu perusahaan rintisan paling bernilai di dunia, dengan mengatakan bahwa kantor pusat TikTok berada di Singapura dan Los Angeles.

TikTok juga menegaskan bahwa saham ByteDance sebagian besar dimiliki oleh investor global. Meski, masih ada pula karyawan di Cina yang bekerja di TikTok, sekalipun TikTok sendiri tak digunakan di negara itu.

Aturan pelarangan TikTok di AS ini kemungkinan bisa menjadi ladang cuan bagi Indonesia, mengingat banyaknya pengguna aplikasi berbasis video ini di Tanah Air. Merujuk pada data Statista, jumlah pengguna TikTok di Indonesia bahkan tercatat paling banyak di dunia, menyentuh 157,6 juta pengguna, per Juli 2024.

Capaian itu bahkan menyalip AS, yang hanya mencatat 120,5 juta pengguna. Kemudian menyusul di belakangnya Brasil, Meksiko, Vietnam, Pakistan, dan Filipina.

Tingkatkan Posisi Tawar Indonesia

Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi, mengatakan pengguna TikTok Indonesia besar dan akan masih terus melambung, sebab, kini TikTok jadi bagian keseharian semua orang. Dari mulai artis, pejabat, bahkan anggota dewan disebut melakukan live di TikTok.

Dengan demikian, besar potensi Indonesia menjadi pasar utama TikTok. Meski TikTok diberi kelonggaran sampai 75 hari untuk beroperasi di AS, Indonesia tetap bisa menarik TikTok untuk melakukan investasi dan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan di negeri ini.

“Kalau AS melarang TikTok ya Indonesia jadi sasaran untuk dieksploitasi. Sehingga, harusnya ini meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia agar TikTok makin gede investasi di Indonesia,” kata Heru kepada Tirto, Rabu (22/1/2025).

Pernyataan Heru tentu bukan analisis tak berdasar. Seiring dengan melesatnya jumlah pengguna TikTok, Gross Merchandise Value (GMV) atau total nilai transaksi di TikTok Shop juga menunjukkan tren positif.

Menurut laporan Momentum Works 2024, Indonesia menempati urutan kedua dengan penyumbang GMV TikTok Shop terbesar, setelah AS. Angka GMV TikTok Shop di Indonesia sendiri mencapai 6,2 miliar dolar AS atau tumbuh 39 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), sementara di AS menyentuh 9 miliar dolar AS atau melambung sebesar 650 persen yoy.

Heru bilang, secara regulasi Indonesia sangat terbuka untuk pemain asing dan TikTok sudah mendapat tempat di hati masyarakat. Tinggal bagaimana TikTok ditagih kontribusi lebihnya untuk Indonesia.

“Indonesia akan jadi pasar utama. Apalagi kalau TikTok tidak bisa dibeli perusahaan AS. Yang ujung nya ditutup di AS,” ungkap Heru.

Beda Demografi dan Kepentingan

Lain dengan pendapat Heru, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) sekaligus pengamat ekonomi digital, Nailul Huda, menilai kalau tidak ada hubungan langsung pengguna Tiktok di AS dengan kondisi di Indonesia.

Hal itu ditengarai karena keduanya berbeda secara demografis dan kepentingan. Maka, menurut Nailul, diblokir atau tidak diblokirnya TikTok di AS, tidak akan berpengaruh banyak terhadap perilaku konsumen di Indonesia.

“Perilaku konsumen di Indonesia [terkait dengan TikTok Shop], masih akan mencari platform yang menawarkan produk paling murah. Ini memang kelebihan dari TikTok-Tokopedia saat ini yang tengah bakar uang. Mereka akan tetap bersaing dengan Shopee di Indonesia. Di ASEAN juga bersaing dengan platform lainnya,” kata Nailul lewat keterangan tertulis, Kamis (23/1/2025).

Kalaupun Indonesia jadi potensi pasar produk yang dijual di TikTok Shop-Tokopedia, hal yang perlu digaris bawahi adalah mesti bersaing dengan harga. Sebab, kata Nailul, konsumen Indonesia masih berorientasi pada harga dan barang paling murah adalah barang impor.

“Selain itu, media sosial [termasuk TikTok] juga merupakan media penjualan yang efektif bagi pelaku usaha. Mereka memanfaatkan fitur-fitur yang ada di media sosial termasuk melalui fitur video. Itu hal yang lumrah dan memberikan kesempatan penjualan lebih menarik,” kata Nailul.

Namun, menurut Nailul, cara yang sama juga dilakukan oleh Shopee, yang bahkan kini menggandeng Youtube.

Masalah yang diangkat AS pun perihal penggunaan data pribadi di negaranya yang memang sangat ketat. Sementara di Indonesia, ia tak melihat kesadaran pemerintah terhadap kerawanan penggunaan data oleh platform digital.

“Belum ada aturan turunan dari UU Perlindungan Data Pribadi. Jadi memang isu di Indonesia akan lebih banyak ke arah perdagangan daring dengan barang yang dominan adalah barang impor,” jelas Nailul.

Baca juga artikel terkait TIKTOK atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang