Menuju konten utama

Ada Uang Korupsi e-KTP Mengalir di Kongres Demokrat

Ada uang korupsi e-KTP yang mengalir ke Kongres Demokrat untuk memenangkan Anas Urbaningrum.

Ada Uang Korupsi e-KTP Mengalir di Kongres Demokrat
Terpidana korupsi yang juga mantan Anggota DPR M Nazaruddin memasuki Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Selasa (27/9). Nazaruddin diperiksa sebagai saksi terkait kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) yang menjerat Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto sebagai tersangka. ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc/16.

tirto.id - Mantan sekretaris pribadi Muhammad Nazaruddin di Partai Demokrat, Eva Ompita Soraya mengaku ada keterkaitan kasus korupsi Kartu Elektronik Elektronik (e-KTP) dalam sejumlah program kerja di Partai Demokrat. Salah satunya adalah penggelontoran anggaran senilai Rp20 miliar demi memenangkan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pada kongres ke-2 di Bandung, 20-23 Mei 2010 lalu.

"Jadi uang tersebut totalnya Rp20 miliar, saya gunakan untuk menyewa Hotel Sultan untuk mempersiapkan kongres Partai Demokrat untuk memenangkan Anas Urbaningrum, Yang Mulia," kata Eva Ompita Soraya yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang e-KTP di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Senin (3/4/2017).

Menanggapi jawaban Eva Ompita, Ketua Majelis Hakim Jhon Halasan mencecarnya kembali. "Ada berapa uang yang anda terima?," tanya Jhon Halasan Butar-Butar kepada Eva.

Eva menjawab uang senilai Rp20 miliar itu diberikan secara berkala yakni sejumlah Rp2-3 miliar kepada pihak hotel sebagai tanda jadi penyewaan hotel. Dia juga mengaku uang senilai Rp20 miliar untuk penyewaan ratusan kamar.

Namun uang ini belum termasuk dengan penyewaan ballroom, jasa penyelenggara acara dan pembayaran anggota Kongres Partai Demokrat, atas dasar inilah Eva menuturkan besaran uang dari e-KTP yang mengalir di Kongres Demokrat bisa lebih dari 20 miliar.

Mendengar jawaban Eva, anggota majelis Fraky Tumbuan menanyakan mengenai keterlibatan lain dalam

pemegang anggaran proyek kongres Partai Demokrat.

Eva menjawab jika selain dirinya ada nama Yulianis sebagai panitia bendahara acara kongres. "Jadi yang mulia semua uang bermuara ke Ibu Yulianis. Termasuk di Bandung dan di Hotel Sultan," kata Eva.

Kepada Eva, Franky menanyakan berapa uang yang kiranya dipegang oleh Yulianis. Eva menjelaskan bahwa dia tak bisa perkirakan berapa jumlahnya. "Totalnya saya enggak tahu yang mulia tapi kira-kira ada uangnya senilai Rp36 miliar untuk cashnya tapi itu hanya perkiraan saya saja yang mulia," jelas Eva.

Terkait hal ini, Muhammad Nazaruddin membenarkan bila ada juga uang berjumlah besar yang dibagikan sebagai pada kongres Demokrat. "Jadi untuk proyek ini yang mulia kita buka kamar sebanyak 700 kamar. Setiap mau pulang pasti kita berikan Rp10 sampai Rp40 juta," kata Muhammad Nazaruddin yang juga hadir sebagai saksi.

Nazar menjelaskan dana Rp20 miliar didapat dari tersangka Andi Narogong untuk membantu Anas merebut kursi Ketua Umum Partai Demokrat. "Dapat, Yang Mulia. Waktu itu mas Anas untuk maju jadi Ketum, Andi bantu," ujar Nazar.

Hakim pun langsung mencecar tentang keberadaan aliran dana Rp20 miliar dari Andi Narogong. Hakim menanyakan asal-muasal mantan Bendahara Fraksi Partai Demokrat 2009-2014 tahu penyerahan uang tersebut. Nazar mengaku mengetahui kehadiran dana tersebut karena uang tersebut diserahkan kepada bendahara fraksi Partai Demokrat.

"Tahu dari mana?," tanya majelis hakim.

"Diserahkan kepada bendahara lalu disalurkan untuk pelaksanaan kongres," jawab Nazaruddin.

Nazar menambahkan, uang tersebut ditaruh di Ruang Bendahara Fraksi Partai Demokrat. Uang tersebut baru digunakan jelang hari pelaksanaan kongres Partai Demokrat. Anas mengatakan, uang tersebut digunakan untuk menyewa hotel, kebutuhan kampanye hingga dibagi-bagikan untuk pemenangan Anas.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya

tirto.id - Hukum
Reporter: Dimeitry Marilyn & Andrian Pratama Taher
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan