tirto.id - Kedatangan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke acara pernikahan anak Ketua DPR Bambang Soesatyo pada 10 September lalu berbuntut panjang. Pimpinan lembaga antirasuah itu dianggap tak berpegang atau menegakkan nilai etik karena bersedia mendatangi "orang partai."
Respons yang sama muncul ketika Deputi Penindakan KPK Irjen Firli bermain tenis dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi saat berkunjung ke Lombok.
Pimpinan KPK diduga melanggar Pasal 36 huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK karena Bamsoet—sapaan Bambang Soesatyo—merupakan salah satu pihak terkait dengan perkara yang sedang ditangani KPK. Bamsoet diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Irvanto dan Made Oka dalam perkara korupsi KTP-elektronik.
Pun dengan TGB. Meski belum naik ke penyidikan, TBG adalah salah satu terperiksa KPK dalam penyelidikan kasus divestasi Newmont.
Salah satu pihak yang mengkritik sikap tersebut adalah Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo.
"Semestinya mereka malu," tegas Adnan kepada reporter Tirto, Kamis (20/9/2018).
Dasar pendapatnya adalah pasal yang disebutkan di atas. Pada pasal tersebut disebutkan dengan benderang kalau pimpinan KPK dilarang "mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun." Pasal ini juga berlaku untuk tim penasihat dan pegawai KPK.
UU ini kemudian diturunkan ke dalam Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2013 tentang Nilai Dasar, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku KPK. Larangan itu tercantum pada huruf B soal Integritas poin 12.
Di sana dijelaskan kalau mereka yang bekerja untuk KPK dilarang mengadakan hubungan langsung dengan tersangka/terdakwa/terpidana atau pihak lain yang ada relasi dengan perkara. Namun pada aturan ini ditambah poin "kecuali dalam rangka melaksanakan tugas dan sepengetahuan pimpinan/atasan langsung."
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan kedatangan KPK semestinya direspons biasa saja. Tidak ada yang dilanggar baik UU KPK ataupun Kode Etik.
Kedatangan itu pun tak bermaksud buruk. "Hubungan antarlembaga harus kami jaga. Enggak masalah," ujar Alexander di Gedung KPK, Kuningan, Kamis (20/8/2018).
Sementara untuk kasus Firli, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan kalau pertemuan antara bawahannya dengan TGB tak mungkin bicara soal kasus meski keduanya sudah saling kenal. Sebelum menjabat Deputi Penindakan KPK, Firli adalah Kapolda NTB. Seorang kapolda tak mungkin tak kenal gubernur di tempatnya bertugas.
Lagipula sebelum berangkat bertemu TGB, kata Agus, Firli sudah meminta izin terlebih dulu.
Adnan Topan menilai, dalih kalau kedua politikus tersebut bukan—atau belum jadi—tersangka tak bisa dijadikan pembenaran sikap tersebut.
"Kalau dari sisi soal manusia ada undangan seperti itu kemudian datang, mengucap selamat, mungkin tidak ada masalah. Tapi jangan ada sensasi, misalnya mengisi acara, nyanyi-nyanyi segala macam. Itu kan yang kemudian [timbul persepsi] kelihatannya jadi sangat dekat sekali relasinya," kata Adnan.
Meski mengkritik, ia tak bermaksud mendesak pimpinan KPK mundur. Menurutnya itu bukan sesuatu yang perlu dilakukan di tengah upaya pemberantasan korupsi saat ini. Kritik tersebut, katanya, semata upaya agar KPK bisa memperbaiki diri.
"Ini bagian dari upaya untuk kembali memperbaiki KPK yang prinsipnya telah dianggap luntur."
Pendapat serupa dikemukakan anggota DPR RI Komisi III, Taufiqulhadi. Menurutnya, dalam kasus Bamsoet, pimpinan KPK datang karena persoalan sopan-santun belaka. "Kecuali," ujar Taufiq, "kalau misalnya sampai sana minta ketemu Pak Bambang empat mata. itu baru jadi masalah."
"Apakah lantas jadi Pimpinan KPK tidak boleh lagi menjadi makhluk sosial?" tambah Taufiqulhadi kepada reporter Tirto, Kamis.
Dengan kata lain, menurut politikus Nasdem itu, menjaga independensi KPK bukan berarti memutus komunikasi sama sekali.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino