Menuju konten utama

Mengapa KPK Gagal Menjerat Parpol dalam Kasus Korupsi Politikus?

KPK bisa menjerat partai politik yang menerima aliran dana korupsi dengan UU TPPU. Namun, bakal ada dampak politik yang akan menghantam KPK.

Mengapa KPK Gagal Menjerat Parpol dalam Kasus Korupsi Politikus?
Tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih meninggalkan gedung KPK usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Selasa (28/8/2018). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Partai Golkar kembali diguncang kasus korupsi yang menyeret elite partainya. Mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kasus yang sama, kader Partai Golkar Eni Maulani Saragih mengungkapkan ada aliran uang Rp 2 miliar dari mantan pemegang saham PT Blackgold Natural Resources Johannes B. Kotjo ke partai berlambang pohon beringin itu.

Eni mengatakan, dana rasuah itu digunakan untuk Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munsalub) Golkar 2017. Agenda partai itu digelar Desember 2017 lalu. Dalam Munaslub Golkar 2017 itu, Eni ditugaskan menjadi bendahara penyelenggara.

Munaslub itu menetapkan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto sebagai ketua umum pengganti Setya Novanto yang menjadi narapidana kasus korupsi. Kini, Agus Gumiwang Kartasasmita yang ditugaskan menjadi Organizing Committee Munaslub 2017 itu didapuk menjadi Menteri Sosial pengganti Idrus Marham.

"Memang ada duit Rp 2 miliar yang saya terima, sebagian saya inikan [berikan] untuk Munaslub," kata Eni Saragih selepas pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (27/08/2018). Eni sebelumnya ialah Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, dia terjerat kasus suap fee proyek PLTU Riau 1 sebesar 2,5 persen dari nilai proyek Rp4,8 miliar.

KPK mengaku akan mengejar aliran dana rasuah yang masuk ke Partai Golkar. Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di Gedung KPK menegaskan pihaknya akan memverifikasi penggunaan dana itu, apakah untuk kepentingan pribadi atau kegiatan partai politik.

"Tentu perlu kami verifikasi pada sejumlah saksi dan juga pada bukti-bukti yang lain, karena satu keterangan saksi belum bisa berdiri sendiri," ungkap Febri di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (27/8/2018).

Dugaan aliran dana korupsi yang masuk ke partai ini bukan yang pertama. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum KPK mendakwa Gubernur Jambi non-aktif, Zumi Zola mengalirkan uang yang berasal dari gratifikasi ke DPD Partai Amanat Nasional Kota Jambi.

Lantas mengapa selama ini susah melacak dana rasuah yang mengalir untuk kepentingan partai politik?

Infografik CI Aliran Dana Korupsi ke Parpol

Menggunakan UU Tipikor atau UU TPPU?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa aliran dana rasuah yang mengalir ke partai politik susah dilacak. Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang, Yenti Ganarsih mengakuinya. Menurutnya pembuktian akan mustahil dilakukan jika menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi.

Akan tetapi ada alternatif yang bisa dipakai, yaitu dengan menggunakan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Yenti mengatakan UU ini bisa digunakan asalkan ada bukti yang cukup.

"Kalau pakai TPPU, dia cukup membuktikan kalau uang mengalir dan partai menerima untuk Munas misalnya. Tinggal dilihat apakah saat rapat Munasnya, apakah saat rapat munas ini dana memang diharapkan dari si A karena dia korupsi?" kata Yenti kepada Tirto, Selasa (28/08/2018).

Lebih lanjut, Yenti menjelaskan, UU TPPU memberikan kemudahan buat penyidik. Aparat penegak hukum tak perlu sampai membuktikan kalau pengurus partai tersebut memang tahu dan mengharapkan dana korupsi.

"Sepanjang dia patut diduga [mengetahui] saja, dia bisa kena," kata Yenti. Dalam perspektif UU TPPU, partai politik dianggap sebagai korporasi: kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Pendapat berbeda disampaikan peneliti korupsi politik dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz. Ia menegaskan, partai politik yang menerima dana korupsi bisa dipidana melalui UU Tipikor, tapi prosesnya tidak mudah. Penyidik KPK harus bisa menyimpulkan kalau tindakan korupsi ini bukan hanya dilakukan sejumlah pengurus, melainkan atas kesepakatan partai politik tersebut.

"Jadi harus ada pembuktian kolektif kalau itu dilakukan atas pengetahuan dan keinginan bersama," kata Donal kepada reporter Tirto, Selasa (28/08/2018). Selain itu tentu juga akan ada dampak politik yang luar biasa yang akan menghantam KPK.

Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar pun mengungkapkan ada kendala lain ketika KPK mau menjerat partai politik. Menurutnya kata koorporasi dalam UU Tipikor tidak bisa serta merta disematkan kepada partai politik.

Ia menjelaskan di berbagai Undang-undang, korporasi memiliki definisi berbeda. Ada definisi yang mungkin bisa dipakai untuk menyebut partai politik sebagai korporasi, ada juga definisi yang mengeluarkan partai politik dari kategori korporasi.

"Maka ketika dibayangkan partai sebagai korporasi, mau pakai pandangan apa untuk mengatakan partai itu korporasi?" kata Zainal kepada reporter Tirto, Selasa (28/08/2018).

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP PLTU RIAU 1 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Dieqy Hasbi Widhana