Menuju konten utama

8 Konglomerat Media di Indonesia via Jalur Media TV & Cetak

Riset teranyar tentang media di Indonesia menyebut ada delapan konglomerat digital yang punya kuasa paling besar di negara kepulauan ini.

8 Konglomerat Media di Indonesia via Jalur Media TV & Cetak
Ilustrasi 8 konglomerat media di Indonesia. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Secara spesifik saya mengutip kalimat Ross Tapsell dari buku terbarunya: “Perusahaan-perusahaan media global belum mendominasi pasar Indonesia dan bukan pendorong utama industri di Indonesia. Sebaliknya, konglomerat media nasional yang punya kuasa dan pengaruh.”

Kalimat itu tertuang pada kesimpulan Bab II dalam Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens, and the Digital Revolution, yang terbit Juli tahun lalu. Buku Tapsell adalah riset doktoralnya sekaligus jadi penelitian paling komprehensif terbaru tentang media di Indonesia.

Sebetulnya, kesimpulan itu bukanlah hal baru.

Merlyna Lim lewat "Mapping Media Concentration in Indonesia" (2011) telah lebih dulu berkesimpulan: ada 13 kelompok media yang mengontrol semua saham televisi komersial nasional di Indonesia.

Profesor kelahiran Bandung yang kini tinggal di Ottawa ini menyatakan kelompok tersebut memiliki lima dari enam koran dengan sirkulasi tertinggi, empat portal berita online paling populer, mayoritas jaringan radio utama, dan sebagian "porsi signifikan" jaringan televisi lokal. Kesimpulannya: “Kepentingan korporat mengambil alih dan terus mendominasi arus lanskap media di Indonesia.”

Pada 2012, Ignatius Hariyanto dalam “Media Ownership and Its Implications for Journalists and Journalism in Indonesia mengobservasi soal meningkatnya kepemilikan media cetak yang berputar di tangan segelintir orang. Peneliti senior di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan ini menyebut ada sembilan kelompok yang mengontrol separuh media cetak di Indonesia. Ia juga menyebut para bos media ini memandang media sebagai pasar belaka.

Dalam rentang itu, ada banyak hal terjadi, yang akhirnya memengaruhi industri media di Indonesia: pengaruh internet lewat perkembangan media sosial makin besar, tabiat masyarakat berubah lebih digital.

Akhirnya, banyak media cetak yang tutup, media online tumbuh, akuisisi media terjadi di sana-sini, yang membuat Tapsell merangkum delapan konglomerasi media yang disebutnya "konglomerat digital".

“Perusahaan-perusahaan nasional yang portfolio bisnisnya mencakup investasi di infrastuktur komunikasi, sebagaimana investasi mereka pada televisi, radio, media cetak dan online,” tulis Tapsell menjabarkan istilah itu. Mereka inilah yang menurut Tapsell mendominasi lanskap media Indonesia mutakhir, yang semakin menjadi “alam oligopoli."

Delapan perusahaan ini adalah CT Corp milik Chairul Tanjung; Global Mediacom milik Hary Tanoesoedibjo; EMTEK milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja; Visi Media Asia milik Bakrie Group; Media Group milik Surya Paloh; Berita satu Media Holding milik Keluarga Riady; Jawa Pos milik Dahlan Iskan; dan Kompas Gramedia milik Jakoeb Oetama.

Tapsell membagi dua kelompok ini menurut jalurnya menuju titel konglomerat digital: pertama lewat jalur televisi, dan kedua lewat jalur media cetak.

Konglomerat lewat Jalur Televisi

Kata Tapsell, stasiun televisi membuat kelompok pertama mampu lebih cepat berinvestasi di platform-platform media yang sebelumnya tak mereka miliki.

CT Corp, misalnya. Perusahaan milik konglomerat yang sempat jadi Menko Perekonomian selama lima bulan di era Susilo Bambang Yudhoyono ini membeli 55 persen saham TV 7 dari Kompas pada 2006. Mengganti namanya menjadi Trans7, yang sebentar saja pada pertengahan 2007, sudah menghasilkan keuntungan. Punya dua televisi membuat Tanjung menerapkan konvergensi dapur redaksi, yang kelak diikuti perusahaan media lain. Pusat berita Trans TV dan Trans7 akhirnya disatukan pada 2018, seperti dikutip dari buku Chairul Tanjung Si Anak Singkong (2012).

Pada 2011, Tanjung membeli detik.com. Disusul Telkomvision, cable network, yang dinamai ulang jadi Transvision pada 2012. Ia terus mengembangkan pola ini dengan gerak cepat. Bekerja sama dengan CNN, pada 2013 ia membentuk CNN Indonesia yang kemudian hadir tak cuma sebagai portal berita online tapi juga stasiun televisi.

Kemarin, 8 Februari, Tanjung hadir dalam peresmian CNBC yang juga bekerja sama jadi bagian dari konglomerasi media CT Corp. Dalam wawancara spontan sesudah acara, Tanjung berkata kepada reporter Tirto bahwa semua medianya bakal berpusat di Tendean, Jakarta Selatan, yakni di Gedung Trans, termasuk CNBC.

“Pasti akan bergabung, tidak physically. Media zaman sekarang berbeda konvergensinya dari yang dulu. Semua nanti (lebih) virtual,” ia bilang.

Saat ditanya apakah ia akan membeli PT Asuransi Jiwa Bumiputera, yang bisnisnya sakit parah dan jadi pemberitaan mencolok pada akhir tahun 2016, Tanjung menjawab bahwa "ada pembicaraan" perusahaan asuransi tertua itu menawarkan, "tapi pembicaraan belum sampai ke saya." Ia juga berkata "selalu terbuka" bila ada perusahaan-perusahaan dari luar negeri menanam investasi ke CT Corp.

Konglomerat lain, Hary Tanoesoedibjo, memulai proses memantapkan sekaligus meluaskan bisnis media pada awal 2000-an. Selain punya tiga televisi (MNCTV, RCTI, dan GlobalTV), Global Mediacom memiliki 34 radio lokal yang mulai diakuisisi sejak 2005. Koran Sindo News (kini tinggal situs beritanya) dan portal berita Okezone juga masuk kelompok ini.

Dalam buku Tapsell, MNC dicatat punya satu satelit sendiri yang dibeli pada 2010, dan punya kapasitas 160 kanal. MNC Group punya 19 kanal TV berbayar, 46 stasiun TV lokal, dan 2,6 juta pelanggan lewat IndoVision, TopTV, dan OKVision. Pada 2015, ekspansi itu makin besar ketika I-News, stasiun berita 24 jam, diluncurkan pasca-MNC Group menghabiskan 250 juta dolar AS untuk membeli 40 fasilitas studio di Jakarta Pusat.

Emtek Group milik Eddy Sariaatmadja, yang didirikan pada 1983 sebagai perusahaan jasa layanan komputer, berkembang jadi konglomerat digital sejak membeli SCTV pada 2004. Ketika Global Mediacom dan CT Corp sudah punya lebih dari satu stasiun teve, Sariaatmadja membeli Indosiar dengan kesepakatan Rp1,6 triliun pada 2011. Alasannya, seperti dikutip Tapsell dari Forbes: “Kalau kami tidak melakukannya, mungkin kami akan tamat."

Selain ketiga konglomerat digital ini, ada Visi Media Asia milik Keluarga Bakrie dan Media Group milik Surya Paloh yang digolongkan Tapsell dalam kelompok pertama.

Visi Media Asia, lewat akuisisinya atas Lativi (kini bernama TVOne) pada 2007 membentuk konglomerasi dengan ANTV. Pada 2008, Bakrie Group membeli ArekTV di Surabaya dan koran Surabaya Post. Kemudian, bersama pengusaha Erick Thohir, keluarga Bakrie mengonvergensi TVOne, ANTV, dan portal berita online baru Viva.co.id.

Sementara Media Group milik Surya Paloh, meski sudah dibangun dari investasinya di sejumlah koran sejak 1988 hingga 1990, baru disebut sebagai kerajaan media setelah mendirikan Metro TV pada 2001. Pada 2014, untungnya mencapai Rp920 miliar, meski hitungannya masih sedikit bila dibandingkan TV milik Tanoesoedibjo dan Chairul Tanjung. Paloh juga masih punya koran nasional Media Indonesia, yang portal onlinenya kini terkonvergensi dengan metrotvnews.com.

Televisi, faktanya, membantu kelompok pertama bertahan karena kue iklan yang besar. Menurut riset Nielsen Indonesia tahun 2017, 80 persen dari Rp145 triliun total belanja iklan habis digunakan di televisi. TV unggul dibandingkan kanal media lain seperti cetak maupun online. Selama beberapa tahun belakangan, belanja iklan di TV memang stabil menguasai pasar, bukan cuma tahun lalu saja.

Tidak seperti yang terjadi pada belanja iklan di media cetak, menurut Tapsell, koran-koran lokal bertahan dengan mengandalkan dana dari pemerintah daerah.

“Pada beberapa media, ketergantungan akan iklan dari pemerintah hingga 75 persen. Jadi, kalau pemerintah menghentikan iklan itu, mereka kemungkinan besar akan kolaps,” ungkapnya.

Infografik HL Indepth Konglomerasi Media

Konglomerat lewat Jalur Media Cetak

Sedangkan kelompok konglomerasi media kedua, yang tetap bertahan di era internet, adalah mereka yang telah punya media cetak stabil terlebih dulu—dan biasanya punya bisnis non-cetak yang kuat. Mereka adalah Berita Satu Media Holding milik James Riady, Jawa Pos milik Dahlan Iskan, dan Kompas Gramedia milik Jakoeb Oetama.

Misalnya Jawa Pos yang membentuk konglomerat Jawa Pos News Network (JPPN). Di tangan Dahlan Iskan yang dijuluki "Raja Media," Jawa Pos fokus membangun jaringannya lewat media lokal. Menurut Tapsell, satu-satunya kegagalan koran milik Jawa Pos adalah tutupnya Indo Pos, yang berbasis di Jakarta, karena tak mampu bersaing dengan Kompas. Iskan juga mengekspansi bisnis televisi dan radio lokal pada 2002, yang sudah berjumlah 22 pada 2004.

Jawa Pos adalah contoh bisnis media yang bergantung pada pemasukan iklan dari pemerintah daerah. Ini berbeda dari Kompas, misalnya, koran paling panjang umur di Indonesia. Kompas bukan cuma untung via iklan dari pemerintah, tapi punya bentuk bisnis lain seperti Gramedia, toko buku yang mendominasi pasar penerbitan Indonesia. Dalam persaingan bisnis media online, kompas.com dan Tribunnews.com adalah anak usaha Kompas Gramedia yang jadi saingan ketat detik.com.

Pada 2008, Kompas Group meluncurkan Kompas TV, yang dapur redaksinya digabung dengan kompas.com pada 2016.

Perusahaan Media Berita Satu Holding punya Riady dimulai dari produk cetak. Berawal dari majalah Globe Asia, dan Suara Pembaruan yang dibeli pada 2006, kini mereka punya stasiun televisi dan portal berita online. Mereka juga punya televisi berbayar Big TV yang terkonvergensi dengan perusahaan LinkNet dan perusahaan internet First Media.

Infografik HL Indepth Konglomerasi Media

Bisnis yang Makin Terkonvergensi ke Digital

Lippo Group, perusahaan bisnis Keluarga Riady, tak tinggal diam ketika bisnis media mulai goyang. “Tak ada uang yang dihasilkan media,” kata John Riady, anak James pada awal 2015, ketika Lippo Group berinvestasi 500 juta dolar AS untuk e-commerce MatahariMall.

“Berita Satu yang sebelumnya dipegang John kini di bawah kontrol adiknya, Henry,” tulis Tapsell.

Selain toko daring, pada Juli 2016, Lippo Group semakin melebarkan sayap di bisnis digital lewat kerja sama dengan Grab, perusahan rintisan transportasi berbasis aplikasi asal Malaysia.

Beberapa dari konglomerat lain tertarik pada sektor yang sama, yakni bisnis digital yang memang tengah naik daun. Pada 2011, MNC menjadi rekanan WeChat—aplikasi layanan pesan asal Tiongkok. Pada 2013, Bakrie Group berinvestasi di Path senilai 25 juta dolar AS. (Belakangan, Path dijual ke KakaoTalk pada 2015, dan Bakrie sudah tak punya saham di sana.)

Selain media-media tersebut, EMTEK ditemukan berinvestasi pada bobobobo.com, Property Guru Pte, Kudo, Hijup.com, Bridestory Pte, Bukalapak.com, Home Tester Club, BBM Indonesia, Oshop, Rumah.com, dan belakangan terafiliasi dengan Go-Jek dan Google. Bila ditarik lebih luas, jaringan bisnis ini juga bisa meluas sampai Tencent dan Alibaba, dua perusahaan raksasa dari Cina.

Menurut Tapsell, para konglomerat media cenderung mengembangkan model bisnis konglomerasi digital yang hampir sama: berusaha menjadi perusahaan media multiplatform, dan untuk mencapai hal itu, mereka memusatkan produksi berita mereka.

Hal ini sudah ditunjukkan CT Corp. Mengutip Tapsell, Ishadi SK, saat itu komisaris CT Corp, berkata bahwa detik.com bukan cuma dijadikan pusat berita Trans Media, tapi jadi pusat bisnis.

"Untuk mendukung itu," kata Ishadi, "Trans Corp bakal membangun fasilitasnya di Jakarta, termasuk 50 studio TV yang bakal jadi pusat newsroom semua perusahaan media Trans. Termasuk akan dibangun hotel, theme park, ocean park, sampai teater hiburan yang akan jadi pusat bisnis."

Meski tidak spesifik di Jakarta, pembangunan itu akan segera dilakukan di Serpong dan Tangerang Selatan.

Jurnalisme adalah Taruhannya

Rencana bisnis masing-masing perusahaan media di Indonesia, menurut Tapsell, adalah sebangun: merebut audiens Indonesia lewat sebanyak mungkin platform. Mereka juga membangun “ekosistem” media, dari konten hingga infrastruktur komunikasi.

Dengan demikian, menurut Tapsell, akan sulit bagi media baru—terutama yang berbasis online—untuk bertahan dan punya bisnis yang berkelanjutan, jika tidak bergabung dengan konglomerasi tersebut.

Penelitian Merlyna Lim dan Ignatius Haryanto menunjukkan betapa para pemimpin perusahaan ini bukan cuma punya pengaruh pada lanskap media, tapi juga keterlibatannya pada panggung politik dan ekonomi Indonesia. Membuat kualitas jurnalisme memang jadi taruhannya.

Tempo—majalah mingguan milik PT Tempo Inti Media Tbk— yang tadinya diletakkan Tapsell di luar garis konglomerat media ini, sahamnya sudah diserap konglomerat Edwin Soeryadjaya dan grup SCTV—yang terafiliasi dengan EMTEK—lewat right issue.

Menurut Y. Tomi Aryanto, wakil direktur bisnis digital Tempo Group, jumlah itu tak lebih dari 1 persen dan tak berpengaruh pada kualitas jurnalisme Tempo.

“Kami tidak akan mudah menerima hal-hal yang tidak bisa kami kompromikan,” kata Tomi kepada saya. Menurutnya, Tempo punya basis jurnalisme yang kuat, karena bahkan orang-orang manajemennya adalah bekas wartawan yang paham batas api antara produk jurnalistik dan iklan.

“Apakah dengan right issue segitu bisa memengaruhi (dapur redaksi)? Kecil sekali, kok. Apa yang bisa kamu lakukan dengan satu persen?” ujar Tomi.

“Investor itu kalau mau intervensi, kan, mesti hitung berapa punya shares. Kalau cuma kecil, kami cuekin aja, dia enggak bisa apa-apa, istilahnya gitu. Tentu hari-harinya tidak begitu. Mereka juga tahu, mereka bukan orang bodoh, yang hanya punya 2-3 persen terus mau intervensi. Ya enggaklah, kami yakin mereka tidak seperti itu. Maka, kami juga mau terima,” tambahnya mengenai right issue Tempo.

========

Artikel diperbarui dengan menambahkan kutipan Chairul Tanjung saat ia meresmikan peluncuran CNBC.

Baca juga artikel terkait MEDIA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Bisnis
Reporter: Aulia Adam & Damianus Andreas
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam