tirto.id - “Woi, pak, ikuti garis jalan!” Seorang pria paruh baya berteriak kepada sopir mobil yang tengah menembus salju. Pintu sebelah kiri terbuka. Ia menoleh lalu kembali ke mobil. Ia terlihat bingung. Ia meraba-raba sekiranya ada yang keliru dari cara mobilnya melintas atau mungkin salah dengar.
“Sudahlah,” perintah si pria, “ikuti garis jalan itu.” Si sopir akhirnya menurut saja. Ia mengarahkan mobil menembus jalan salju yang berbeda.
Si pria tadi lantas memotret lanskap jalan hitam berselimut salju itu. Ia ingin salju tanpa cela untuk ditangkap ke dalam mata puisinya.
Pria paruh baya itu adalah Abbas Kiarostami. Beberapa orang menyebutnya sutradara; sebagian lain mengatakan penulis naskah film. Ada yang menjulukinya fotografer; dan beberapa yang lain menghormatinya sebagai penyair.
AS Laksana, pengarang Indonesia, menggemari film Kiarostami dengan nyaris fanatik. Ia meyakini Close-Up (1990) sebagai film terbaik yang pernah dibuat manusia. “Saya membatin, memang tidak memerlukan penjelasan panjang lebar, atau tidak memerlukan penjelasan sama sekali. Begitu saja sudah cukup,” tulisnya.
Kiarostami mencintai dan menulis puisi. Ia nyaris selalu mendekati karya visual sebagai puisi. Dalam kehidupan sehari-hari pun ia merayakan hal senada. Ia menghentikan mobil hanya untuk memotret anjing yang kedinginan di atas tumpukan salju; menolak membersihkan kaca mobil dari tempias hujan untuk menciptakan ilusi optik di kamera.
Kamera dan Kiarostami barangkali sepasang saudara yang diciptakan untuk saling melengkapi. Dalam satu adegan film dokumenter itu, terlihat bagaimana ia selalu membawa kamera ke mana pun pergi.
“Lensa lebar adalah ciptaan Tuhan paling penting,” katanya berkelakar. Dengan jangkauan luas sorot kamera itu ia bisa mengambil lanskap tanah airnya dengan maksimal dan membuatnya terasa lebih dramatis—sekalipun beberapa film terakhirnya tidak berlatar Iran.
Adegan Kiarostami berteriak di tengah padang salju itu berasal dari film dokumenter berjudul 76 Minutes and 15 Seconds With Abbas Kiarostami (2016). Film itu disutradarai, ditulis, diproduseri, dan ditata-kamera oleh Seifollah Samadian, rekan terdekat Kiarostami. Dalam film itu muncul pula teman dekat Kiarostami lain seperti Ali Reza Raiesian, Hamideh Razavi, Jafar Panahi, Juliette Binoche, Massoud Kimiai, dan Tahereh Ladanian.
Film dokumenter inidibuat dari beragam kolase, fragmen, rekaman, dan catatan. Ada sedikit wawancara, isi dapur film, serta bagaimana Kiarostami yang perfeksionis bekerja dengan kamera, gambar, suara, dan akting.
76 Minutes and 15 Seconds menggambarkan kehidupan sutradara kelahiran Teheran, Iran ini dengan nyaris sempurna. Dalam film itu Anda dapat melihat bagaimana Kiarostami tak pernah kehabisan energi dan tenaga untuk merayakan hidup. Ia menulis, mengambil gambar, merekam video, memotret, dan bicara tentang hidup dengan kegairahan meluap.
Dokumenter inidirilis usai sang maestro meninggal dunia. Ia wafat di Paris, Prancis pada 4 Juli 2016, persis 6 tahun lalu, akibat komplikasi. Durasi film sengaja dibikin sepanjang itu agar persis mewakili usia sang tokoh utama, 76 tahun dan 15 hari.
Personal dan Multitafsir
Kiarostami dikenal sebagai sutradara yang terobsesi dan barangkali selalu menggambarkan kematian dengan sudut pandang berbeda. Dalam artikel diThe Guardian, Kiarostami menyebut kematian sebagai tema yang membuatnya terpacu untuk berkarya.
“Aku memiliki kedekatan dan pengalaman mendalam dengan kematian yang mengubah cara pandang kerjaku secara optimis,” katanya.
Tema ini salah satunya tergambar indah dalam Taste of Cherry (1997). Bayangkan Anda kepalang muak dengan hidup dan ingin mengakhirinya, tapi ingin memastikan jasad Anda nanti ada yang mengubur. Film ini berkisah tentang upaya mencari seseorang yang bersedia menguburkan tubuh Anda seusai bunuh diri.
Dengan karyanya ini Kiarostami diganjar Palem Emas—penghargaan tertinggi dalam Festival Film Cannes—pada 1997.
Kematian barangkali tema penting dalam film-film Kiarostami, tapi itu tidak membuatnya menjadi pribadi murung. Memang ada mitos dan bayangan yang muram akan sosok Kiarostami, tapi sebenarnya ia adalah pria yang gemar tersenyum, tertawa, fokus, dan perfeksionis dalam membuat karya.
Ia tak segan mengukur pipa paralon, mencari pasir, tengkurap di atas pantai, berlari di bukit, dan berjalan kaki di salju untuk mencari gambar yang sempurna. Ia juga suka bergurau dengan rekan kerja, murid, dan siapa pun yang ditemui. Ia pribadi yang tekun sekaligus menyenangkan.
Dalam sebuah lokakarya, seorang sutradara muda mengatakan kepada Kiarostami bahwa ia telah membuat seorang anak kecil menderita demi mendapatkan adegan film yang sempurna. Ia pun bertanya apakah ini bisa dibenarkan secara etik.
“Jika kamu membuat film yang bagus, anak itu pasti akan melupakannya. Jika kamu membuat film yang busuk, kamu sudah berdosa membuat anak-anak menderita,” katanya, yang disambut tawa seluruh peserta.
Kritikus film Hikmat Darmawan mengatakan yang membuat Kiarostami istimewa adalah ia menciptakan semesta sinematik sendiri. Ia bisa membuat film yang seolah berkaitan satu sama lain dan memberi sentuhan personal kepada setiap penonton.
“Nonton 76 Minutes and 15 Seconds bikin gue nostalgia, banyak fragmen dari film-film Abbas yang digambarkan dalam film ini,” katanya. Hikmat berkata bahwa film dokumenter ini penting untuk bisa memahami apa isi kepala dan cara pandang Kiarostami di balik karya filmnya.
Film-film Kiarostami apa yang sebaiknya ditonton pemula? Hikmat memberi rekomendasi: mulailah dari beberapa karya yang dianggap penting seperti Close-Up, Through the Olive Trees (1994), Taste of Cherry, The Wind Will Carry Us (1999), dan Ten (2002). Namun, jika malas dan kurang yakin, Anda bisa mengawalinya dari Certified Copy (2010) yang dibintangi Juliette Binoche.
“Buat gue, Ten jadi penting karena menghancurkan yang sakral dalam film, yaitu struktur. Ini yang bikin Roger Ebert—kritikus film Amerika—marah dan nyebut film Ten jelek,” kata Hikmat.
Hal lain dari Kiarostami yang membuat film-filmnya demikian indah dan tokoh-tokoh demikian hidup adalah pendekatan personal yang manusiawi. Ia membangun kedekatan personal, misalnya, dengan sutradara Massoud Kimiai. Ia mengambil gambar tentara Iran di bawah hujan, berulang-ulang, hingga mendapatkan yang diinginkan. “Gambar ini indah,” kata Kiarostami kepada Kimiai yang disambut anggukan setuju. Ia lantas meminta Kimiai untuk secara personal berterima kasih kepada para tentara tadi. “Ucapkan langsung, Massoud!” katanya.
Dicintai oleh penggemar film dunia, membuat Iran disegani dalam kancah film internasional, dan memperoleh banyak penghargaan tak lantas membuat Kiarostami diistimewakan. Ia masihlah seorang sutradara yang beberapa filmnya dilarang beredar dan susah ditemui di negerinya sendiri.
Meski hidup dalam keterbatasan dan sensor, ia tetap mampu menghadirkan imaji yang multitafsir dalam tiap filmnya. Dalam satu wawancara, ia mengatakan memang sengaja menghadirkan film yang tak sepenuhnya utuh sehingga menghasilkan tafsir berbeda-beda bagi setiap penonton.
“Aku tidak menyediakan kanvas kosong agar orang menyelesaikannya. Aku membiarkannya kosong agar setiap orang bisa mengisinya sesuai dengan apa yang mereka mau dan mereka pikirkan. Dalam pikiranku, setiap abstraksi yang kita terima dalam bentuk seni lain seperti lukisan, patung, musik, puisi, bisa juga diperoleh dalam film,” tutur Kiarostami.
==========
Artikel ini terbit pertama kali pada 3 Januari 2017 dengan judul yang sama. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Fahri Salam & Rio Apinino