Menuju konten utama

Penolakan Kritik Film Termasuk Hal Konyol dan Kekanak-kanakan

Beberapa kritikus film menilai penolakan atas kritik film, terlebih hingga upaya memberikan intimidasi dan somasi, sebagai hal yang konyol dan kekanak-kanakan.

Penolakan Kritik Film Termasuk Hal Konyol dan Kekanak-kanakan
Ilustrasi penonton film di bioskop. FOTO/Istock.

tirto.id - Salah satu pegiat Cine Crib, Razak Syarif, mengungkapkan kekesalannya gara-gara mendapat pesan di Instagram dari salah satu rumah produksi film terkait kritik film yang dibuatnya, pada 1 Desember lalu.

Si pengirim pesan ini merasa keberatan karena kritik Razak dinilai merugikan rumah produksi film tersebut. Bahkan, Razak diancam untuk dilaporkan kepolisian.

"Bro, hati2 lu, kebanyakan bacotin film indonesia yg sedang tayang, lu ngerusak industri film indonesia, lu antek film asing ya????hati2 lu. banyak yg mau perkarain lu di polisi. Kasih tau juga temen2 lu. lu udh pada didata bro."

Seperti itu isi pesan langsung yang diterima oleh Razak. Ia mengaku emosi karena kritik lewat review yang film yang dimaksud bukan dirinya yang menulis, tapi kawannya yang lain di Cine Crib.

"Cuma kemarin itu emosi karena yang di-DM cuma aku doang dari semua anggota Cine Crib. Yang lain enggak ada yang di-DM. Dan film yang dipermasalahkan juga bukan saya yang review, tapi kenapa saya yang di-DM. Kesalnya saya di situ," katanya saat dihubungi wartawan Tirto, Senin (6/1/2020) malam.

Cine Crib sendiri merupakan salah satu channel di YouTube yang membikin konten-konten berupa kritik film.

Masalah lain, menurut Razak, adalah ia mempertanyakan mengapa kritik film sangat dipermasalahkan. Padahal, menurutnya, kritik film sangat dibutuhkan di industri perfilman.

Razak juga mengaku bahwa ancaman karena pihaknya melakukan kritik film sebenarnya sudah ramai dirasakan sepanjang 2019. Sejak awal hingga akhir tahun, Cine Crib pernah mendapat komentar emosional bahkan hingga somasi dari berbagai rumah produksi film (production house).

"Mungkin sepanjang 2019, awal sampai akhir tahun, ini memang mulai banyak "cubitan" enggak terima akan kritik. Dan itu datang dari PH-PH yang besar," kata Razak.

Ia bahkan mengaku kalau kebebasan berekspresi Cine Crib untuk melakukan kritik film di sepanjang 2019 sudah tidak sebebas tahun-tahun sebelumnya.

"Kalau yang sering nontonin kita dari dulu, akan terasa kita sekarang lebih soft dan enggak sekasar dan sefrontal dulu," katanya.

"Ketakutan baru dipermasalahin baru-baru ini. Sedangkan Cine Crib kritik sudah bertahun-tahun lalu," lanjutnya.

Bagian dari Ekosistem Film

Sutradara Joko Anwar justru memandang bahwa kritik film adalah bagian dari ekosistem film yang tak lepas dalam pengaruh atas industri film.

"Izinkan saya menegaskan bahwa kritikus film adalah bagian dari ekosistem perfilman. Sejak tahun 1960-an saat kritik film mencuat sebagai pekerjaan profesional, kritik film ikut membentuk perfilman tiap negara, secara estetika maupun bisnis," ujar Joko Anwar dalam twitnya.

Sebelum menjadi sutradara, Joko pun sempat menjadi kritikus film. Joko menyampaikan bahwa, suka atau pun tidak atas suatu kritik, Joko justru menilai penting keberadaan kritik dalam ekosistem film.

"Kritik film [bedakan dengan komentator kasual] berguna bagi sineas dan industri untuk melakukan evaluasi bagian mana dari suatu film yang berhasil, mana yang tidak, secara teknis maupun bisnis," twitnya.

Joko juga menyampaikan bahwa sebagai pembuat film, ia justru merasa beruntung karena mendapatkan sejumlah kritik pedas di film-film awalnya, seperti Janji Joni.

"Seriously, gue enggak masalah orang mengkritik film gue. Mau dibenci, dicaci, ditai-taiin juga enggak masalah. Yang tanpa landasan gue anggap noise, yang punya perspektif gue jadiin bahan pemikiran," ujarnya.

Hak untuk Berkomentar

Kritikus film Adrian Jonathan Pasaribu justru melihat sejumlah fenomena yang menolak kritik atau pun komentar atas suatu film, terlebih hingga memberikan somasi, sebagai hal yang konyol.

"Konyol sih. Memang hak mereka juga untuk bilang jelek," ujar Adrian kepada reporter Tirto pada Senin (6/1/2019) malam.

Adrian pun menganalogikannya seperti seseorang yang sedang melakukan proses pendekatan atau "PDKT" ke orang lain. Namun, selepas proses pendekatan dan orang tersebut "menembak" atau menyatakan perasaan ke pasangannya, dan ditolak, ia menyampaikan, "'loh gak bisa dong, aku sudah usaha'. Terlalu kekanak-kanakan aja sih menurutku," ujarnya.

"Sebenarnya sudah lama sih seperti itu, dalam arti, sejak aku aktif nulis, sekitar mungkin satu dekade yang lalu, itu sudah ada ya [bentuk penolakan atas kritik film]," ungkap Adrian.

Adrian pun mempertanyakan alasan untuk menghentikan kritik film dengan menyampaikan bahwa kritik film dapat berdampak ke masalah penjualan tiket dan bisnisnya.

"Itu seperti menyederhanakan sekali kompleksitas relasi sosial-ekonomi-politik di film jadinya, seakan-akan karena satu atau beberapa orang menyampaikan komentar jelek, lalu dampaknya negatif," ujar Adrian.

Padahal, menurut Adrian, film yang mendapatkan kritik justru menjadi suatu pertanda yang baik.

"Pertama, di situ tandanya ada yang hadir, menonton, jadi ada transaksi, ada tiket masuk. Kedua, artinya filmmu, itu artinya publik masih peduli dengan film Indonesia. Bayangkan kalau gak ada kritik sama sekali, itu lebih menakutkan sih bagiku," jelas Adrian.

Sekalipun di sisi lain, menurut Adrian, banyak orang yang masih gagap memahami kultur kritik.

"Ketika seseorang sudah datang ke bioskop dan menonton filmnya, ia punya hak untuk mengomentari apa yang dia konsumsi," tegas Adrian.

"Karena dia sudah investasi waktu, uang, bahkan tenaga, ia sudah investasi sebagian kecil dari kehidupan sosial dia, jadi ia punya hak untuk komentar," lanjutnya.

Sekalipun, kata Adrian, komentarnya memang perlu dilihat kembali, apakah dapat dikatakan sebagai kritik, atau sebatas komentar yang menyampaikan kesan atas film tertentu.

"Ketika ia mengomentari atas dasar suatu kelayakan, ia dapat dikatakan kritik, tapi bisa juga bentuknya hanya kesan, seperti sebatas apakah filmnya bagus, membosankan, atau apa," jelas Adrian.

"Tanpa ada dasarnya, kesan ya cukup hanya jadi kesan, tanpa dapat dipertanggungjawabkan," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KRITIK FILM atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Film
Reporter: Haris Prabowo & Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Maya Saputri