tirto.id - Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh Diajeng Tirto dalam bahasa Inggris dengan judul Dalmira Tilepbergen: Celebrating Family, Love, and Kyrgyzstan.
Lahir dan dibesarkan di dekat danau air asin Issyk Kul di timur laut Kirgizstan, Dalmira Tilepbergen (57) menghabiskan masa kecil tak terlupakan dalam pelukan pemandangan alam yang memukau dan menyejukkan jiwa.
Di negara Asia Tengah ini, kebanyakan penduduknya menggantungkan penghidupan dari aktivitas bertani, berkebun, dan beternak.
Orang tua Dalmira adalah penggembala kuda. Mereka menggiring kuda-kuda ke pegunungan dan dataran tinggi yang mencakup 90 persen topografi Kirgizstan.
Setiap liburan sekolah selama musim panas, Dalmira dan saudara-saudara perempuannya ikut pergi ke gunung bersama orang tua mereka.
Keseharian anak-anak perempuan ini diisi dengan menjelajahi padang rumput dan kebun-kebun, bermain di tepi sungai, saling menggoda dan mengejek sama lain sebagaimana keusilan antarsaudara pada umumnya.
Sedari kecil, Dalmira paham betul pentingnya kerja keras. Dia belajar merawat hewan ternak keluarganya, piawai menunggangi dan menenangkan kuda, memerah susu kuda betina, sampai ikut orang tuanya berjualan susu di pasar.
Dalmira kecil juga lebih suka bermain dengan anak-anak laki-laki dari keluarga penggembala lain, bahkan kadang-kadang berkelahi dengan mereka. Acap kali, Dalmira meyakinkan ayahnya untuk menerimanya sebagai anak laki-laki, yang mampu bertanggung jawab lebih banyak untuk keluarganya, terutama dalam menggembala hewan ternak. Meski begitu, ayah Dalmira cenderung menghiraukan ucapannya.
Masih membekas di benak Dalmira sampai hari ini: harapan sang ayah akan kehadiran anak laki-laki dari ibunya yang kala itu tengah mengandung.
Film ini juga merupakan bagian dari buku biografi yang Dalmira terbitkan dalam bahasa Rusia pada 2022 silam, The Era of Dislove.
The Gift: Keindahan Kirgizstan dalam Balutan Dinamika Keluarga
“Cerita dalam film ini adalah tentang hidup saya,” kata Dalmira, yang mendedikasikan The Gift untuk ayahnya.
“Saya lebih dekat dengan Ayah daripada Ibu,” kenang Dalmira. “Namun saya juga paham situasi Ibu. Sangat sulit baginya untuk dikelilingi keluarga yang semua mengharapkannya melahirkan anak laki-laki. Ibu berada di bawah tekanan yang luar biasa.”
Dalmira menjelaskan betapa beratnya aktivitas menggembala di kawasan pegunungan tanpa peran laki-laki.
“Laki-laki memang memiliki kekuatan fisik yang diperlukan untuk merawat ternak di lingkungan yang keras. Itulah mengapa saya paham betul Ayah ingin punya anak laki-laki agar ada yang bisa diandalkan untuk menjaga semua orang.”
Dalam film The Gift, kisah Dalmira kecil disampaikan melalui petualangan Arno, anak perempuan tomboy berusia 7 tahun yang lugu, ceria, dan selalu bangga apabila disangka laki-laki.
Arno suka menjelajahi tempat-tempat baru dan mudah penasaran. Satu waktu, saat menguntit teman-teman laki-lakinya, Arno menjumpai ladang ganja tersembunyi. Kelakuannya bikin ibunya marah-marah.
Film ini dengan cemerlang menggambarkan keseharian Arno dan keluarganya yang apa adanya: empat saudara perempuannya, ibu mereka yang sedang hamil, dan ayahnya yang sangat berharap akan kelahiran seorang anak laki-laki.
Salah satu keistimewaan The Gift adalah dedikasi Dalmira untuk menampilkan alam dan pemandangan pegunungan Kirgizstan.
Terinspirasi oleh trilogi The Lord of the Rings karya Peter Jackson, Dalmira sukses menyorot kecantikan padang rumput hijau dan puncak-puncak bersalju, dilengkapi dengan penggambaran autentik tentang kehidupan penggembala di tengah derap langkah hewan-hewan ternak.
Di samping menyorot keindahan alam Kirgizstan, The Gift ingin menyampaikan pesan penting tentang harapan, aksi, dan konsekuensinya.
Salah satu poin penting dalam kisah Arno adalah tahi lalat di bibirnya. Arno percaya, tahi lalat tersebut adalah sebuah anugerah yang dapat membuat segala hal yang diinginkannya terwujud.
Misalnya, saat Arno ingin makan jagung, tanpa disangka, saat iseng bertualang, dirinya menjumpai kebun jagung. Ketika Arno merasa gusar pada temannya, ia pun berharap temannya jatuh sakit. Betul saja, tak lama kemudian temannya mengalami musibah.
Sejauh ini, The Gift sudah diputar di lebih dari 20 acara festival film di penjuru dunia, termasuk mendapatkan sesi pemutaran spesial "Focus on Kyrgyzstan" dalam program Venice Projects Bridge, bagian dari Venice Film Festival ke-80.
The Gift juga merupakan salah satu dari 25 film nominasi untuk Alternativa Film Awards and Festival 2024, persembahan dari inDrive.
Akhir November lalu, seluruh nominasi film dari daratan Asia, termasuk lima film yang dibuat oleh sineas Indonesia, diputar di kota budaya Yogyakarta.
Alternativa diselenggarakan pertama kali di Almaty, Kazakhstan, pada 2023. Festival ini merayakan upaya dari kalangan profesional di industri film yang tengah berkembang dan memfokuskan karya-karyanya pada aspek artistik, sekaligus mampu menginspirasi perubahan sosial pada masyarakat luas.
The Gift telah berhasil memenangkan sejumlah penghargaan bergengsi di level dunia, di antaranya Audience Award for Best Feature Film pada 5th MiWorld Young Film Festival di Milan, Winner’s Prize for Best Feature Film pada I Am Tomorrow International Film Festival di Belgia, dan Multicultural Impact Award pada 2023 Stars Asian International Film Festival di Los Angeles.
Menyelami Inspirasi Dalmira
Selama dua dekade berkarier di film, Dalmira telah menulis skenario dan menyutradari sejumlah film pendek dan dokumenter.
Film fitur panjang pertamanya, Under Heaven (2015), diputar di Montreal International Film Festival, Canada dan menerima Special Jury Prize. Film tersebut kelak memenangkan sederet penghargaan bergengsi di berbagai festival tingkat dunia, di antaranya dari Amerika Serikat, India, Jepang, Rusia, dan Sri Lanka.
Sedari masa kanak-kanak, minatnya pada dunia film berangkat dari karya-karya luar biasa sutradara India Raj Kapoor (1924–1988), terutama film-film bergenre musikal romantis Awaara (1951), Shree 420 (1955), dan Sangam (1964). Selain film karya Kapoor, Dalmira juga terkesan dengan drama komedi berbahasa Hindi Seeta Aur Geeta (1972) karya sutradara Ramesh Sippy.
Seiring waktu, Dalmira terpesona pada film-film dari gerakan Neorealisme Italia, yang berfokus pada penggambaran masyarakat kelas pekerja Italia kontemporer pada dekade 1940-an.
Di samping itu semua, Dalmira mengakui banyak mendapat pengaruh dari sineas-sineas era Soviet seiring ia mulai serius mempelajari dunia perfilman. Pendidikan film Dalmira ditempuh di High Courses for Scriptwriters and Film Directors (HCFDS), Moscow.
Salah satu inspirasinya adalah Andrei Tarkovsky (1932–1986), yang karya-karyanya kerap bersinggungan dengan tema-tema spiritualitas.
Dalmira juga mengagumi Alexander Dovzhenko (1894–1956), sutradara kelahiran Ukraina yang membuat film klasik Earth (1930), dan sutradara kelahiran Georgia, Mikhail Kalatozov, yang membuat salah satu film kesukaan Dalmira, The Cranes Are Flying (1957).
“Saya kagum pada film-film mereka karena mampu menggambarkan pahit-manis kehidupan manusia secara puitis,” ujar Darmila.
Terkait sutradara perempuan favoritnya, Dalmira menyebut Larisa Shepitko (1938–1979) asal Ukraina. Darmila paling menggemari filmnya yang berjudul Heat (1963).
Dalmira juga mengangkat topinya untuk Dinara Asanova (1942–1985), perempuan Kirgizstan yang memutuskan pindah ke Rusia dan memulai karier film di St. Petersburg. Sebab, kala itu, ungkap Darmila, publik Kirgizstan belum terlalu menyambut hangat kehadiran perempuan di industri perfilman.
Hingga saat ini, Dalmira sudah pernah menerbitkan cerita-cerita pendek dan puisi yang diterjemahkan ke banyak bahasa. Selama sebelas tahun, dirinya menjabat sebagai President of Central Asian PEN.
Ketika ditanya siapa penyair yang menginspirasinya, Dalmira menyebut Joseph Brodsky (1940-1996) kelahiran St. Petersburg dan penyair Spanyol Federico García Lorca (1898–1936). Dalmira juga menikmati puisi-puisi Jepang, haiku, dan puisi Shi dari tradisi sastra Cina.
Terkait penulis kesukaannya, Darmila merekomendasikan karya-karya dari Vladimir Nabokov (1899–1977), yang terkenal dengan karyanya Lolita (1955), dan penulis Kolombia Gabriel García Márquez (1927–2014) dengan novel kenamaannya One Hundred Years of Solitude (1967).
Tentang Masa Kini dan Masa Depan
Dalmira bercerita, proyek film selanjutnya akan berkaitan dengan trilogi epik lisan yang dalam budaya Kirgizstan dikenal dengan nama Er Töshtük. Dalam proyek ini, dirinya ingin memanfaatkan teknologi film terbaru, termasuk VFX dan 3D.
“Lewat film, saya ingin menjadikan Kirgizstan sebagai pusat destinasi wisata di Asia Tengah. Negeri kami memiliki pemandangan luar biasa yang pantas untuk dipertunjukkan dan dinikmati oleh semua orang dari penjuru dunia,” ujarnya.
Dalmira bersyukur pemerintahan Kirgizstan banyak memberikan dukungan pada kalangan seniman di industri seni dan juga atlet olahraga.
Dalmira, yang berbasis di Bishkek, ibukota Kirgizstan, sangat menikmati perjalanan keliling dunia. Sampai hari ini, ia sudah mengunjungi lebih dari 70 negara, banyak di antaranya untuk pemutaran film-filmnya.
“Saya bangga untuk menilai diri saya sendiri sebagai sutradara film yang berhasil. Pada tahap hidup ini, termasuk pada usia ini, saya merasa senang dan puas.”
Dalmira berpesan untuk perempuan yang tengah berjuang merintis karier sebagai sutradara film, percayalah bahwa diri kalian pintar dan cemerlang.
"Kalau kalian tidak pintar, buat apa bikin film? Kalian harus mulai dengan memercayai bahwa diri kalian pintar, kemudian kalian pun bakal jadi jenius, sehingga kelak berhasil menciptakan film-film yang bagus!" pungkas Dalmira mengakhiri sesi wawancara dengan Diajeng.
Editor: Dhita Koesno