Menuju konten utama

Jeremias Nyangoen: "Saya Menjalani Proses dengan Baik"

Jeremias Nyangoen, sutradara film Women from Rote Island, tidak percaya tentang konsep atau fenomena keberuntungan pemula.

Jeremias Nyangoen:
Sutradara Jeremias Nyangoen berpose usai meraih penghargaan Sutradara Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2023 di Jakarta, Selasa (14/11/2023). Jeremias Nyangoen menang melalui film Women from Rote Island. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc.

tirto.id - Senin sore, 19 Februari 2024, sutradara dan penulis skenario Woman from Rote Island Jeremias Nyangoen asyik mengunyah buah-buahan di bilangan Cilandak Timur, Jakarta Selatan. Ketika saya bertanya soal pandangannya mengenai konsep atau fenomena keberuntungan pemula, sosok kelahiran Pontianak ini menggeleng-gelengkan kepala.

“Tidak,” ungkap Jerry, sapaan Jeremias, “Saya sama sekali tidak percaya.”

Konteks pertanyaan saya tentu saja adalah debut Jerry sebagai sutradara yang langsung diganjar 4 kategori Piala Citra. Di gelaran Festival Film Indonesia 2023, Woman from Rote Island mendapat penghargaan Sutradara Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik, Film Cerita Panjang Terbaik, dan Sinematografi Terbaik.

Sekira 18 tahun lalu, bersama John De Rantau, Masree Ruliat, dan Monty Tiwa, Jerry menulis skenario Denias, Senandung di Atas Awan. Lazimnya pemilik keberuntungan pemula, naskah perdana Jerry ini—sekalipun ditulis keroyokan—didapuk sebagai penerima Piala Citra untuk kategori Skenario Asli Terbaik 2006.

Mula-mula dikenal sebagai bintang layar lebar, lantas memenangi penghargaan di bidang penulisan skenario dan penyutradaraan, pencapaian semacam itu rasa-rasanya merupakan hal ajaib bagi seseorang justru memulai karirnya sebagai aktor teater.

Orang teater, setahu saya, jarang sekali yang menulis naskah. Jangankan film, naskah teater sendiri produksinya terbilang sedikit. Sebab itu, kiprah Jerry terbilang anomali. Ia rajin menulis skenario film dengan dua di antaranya mendapatkan Piala Citra. Kok bisa?

Jerry ketawa. “Saya ini diles-in terus sama Tuhan, dari dulu sampai sekarang. Sampai sekarang,” ungkap sosok kelahiran 29 Juni 1968 ini.

Persentuhan Jerry dengan seni peran dimulai sejak remaja, warsa 1980-an. Kala itu, Yoseph Odillo Oendoen, paman Jerry, baru pulang studi dari Yogyakarta dan mendirikan Studi Teater Muda Katolik (STEMKA) Pontianak. Jerry bergabung di dalamnya.

Bagi Jerry, Yoseph Odillo Oendoen—kelak dikenal sebagai salah satu seniman besar suku Dayak—lebih dari sekadar paman, tapi juga guru dan inspirator. Yoseph banyak membukakan jalan bagi Jerry remaja agar tumbuh natural sebagai seniman.

“Saya pertama kali dapat peran waktu SMA, memainkan naskah Kebebasan Abadi karya C.M. Nas di panggung agustusan,” kenang Jerry. Sepanjang periode ini, selain aktif bermain teater, Jerry mulai menjajal kebolehannya baca puisi. Ia kerap ikut lomba dan beberapa kali keluar sebagai juara.

Pengalaman-pengalaman itu makin membulatkan tekad Jerry untuk melanjutkan kuliah ke Kota Pelajar, mengikuti jejak pamanda, sarjana yang sempat belajar di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) serta Institut Seni Indonesia (ISI).

“Tapi, paman malah larang saya ke Yogya. Katanya, lebih baik masuk Institut Kesenian Jakarta. Saya baru tahu, ada, ya, Institut Kesenian Jakarta? Ya sudahlah. Saya ikuti sarannya.”

Menjadi Orang Film

Saat mahasiswa, di samping mempelajari teater di kelas dan di sanggar-sanggar seputaran ibu kota, Jerry mulai keranjingan menonton film. Hampir saban pekan, ia mengakses berbagai tontonan di lembaga-lembaga seperti Center Culturel Francais (CCF), Goethe Institut, dan Erasmus Huis. Menurut Jerry, film-film yang ditontonnya di pusat-pusat kebudayaan tersebut bukan sekadar film-film yang enak ditonton, tapi juga sangat layak dipelajari.

“Beberapa film justru malah seperti teater yang difilmkan, bukan film biasa, misalnya film-film Charlie Chaplin dan Peter Sellers. Saya banyak menonton film mereka,” beber Jerry.

Debut Jerry sebagai orang film dimulai pada 1998 lewat Kuldesak garapan Riri Reza. Namun, publik mulai menandai kebolehannya sebagai aktor layar lebar saat menjadi pemeran utama Kanibal - Sumanto (2004) karya Christ Helweldery.

Kesuksesan Sumanto membuat Jerry mendapat tawaran untuk membuat film yang sifatnya lebih komersial, kali ini sebagai produser. Di tengah garapan, Jerry merasa bahwa naskah yang ditulis sang penulis skenario masih bisa dikembangkan, bisa dibikin lebih tajam. Hanya, lantaran penulisnya terlampau sibuk, Jerry pun merombak skenario tersebut atas persetujuan sang penulis dan bos rumah produksi.

Hasilnya menggembirakan. Film tersebut memenangi penghargaan.

Bertolak dari pengalaman menyentuh naskah skenario itu, tanggung jawab Jerry untuk ambil bagian menulis Denias, Senandung Di Atas Awan menjadi lebih ringan.

“Sekali lagi, saya merasa diles-in terus sama Tuhan. Dapat pelajaran teater, jadi produser, kemudian menulis, dan sekarang jadi sutradara. Dari dulu sampai sekarang, saya masih terus berproses, masih terus ‘ikut les’,” ungkap Jerry.

Ditanya tentang siapa yang paling berjasa dalam karir kepenulisannya, sosok hitam manis ini menyebut dua nama.

“Ibu Tati Maryati dan Putu Wijaya. Ya, Ibu Tati dan Putu Wijaya. Dari keduanya, saya belajar menulis naskah yang bagus.”

Selain dosen, Tati Maryati dan Putu Wijaya adalah seniman. Jika Tati lebih dikenal sebagai penulis skenario, nama Putu diingat orang sebagai aktor dan sastrawan.

Menjalani Proses yang Baik

Naskah Woman from Rote Island, judul bahasa Indonesianya adalah Perempuan Berkelamin Darah, ditulis Jeremias Nyangoen selama dua puluh bulan. Selama penulisan, Jerry berkali-kali bolak-balik Jakarta-Rote untuk riset dan mendapatkan suasana yang utuh mengenai latar ceritanya.

“Saya ini orangnya masih serba manual, bahkan bikin Instagram saja baru diajari anak-anak sekarang-sekarang. Kalau perlu tahu tentang sesuatu harus turun langsung ke lapangan. Gak bisa mengandalkan Google. Di depan mata kamera, feel gak bisa dibuat-buat,” kata Jerry.

Di era yang serba menuntut kecepatan, proses semacam itu sarat risiko. Woman from Rote Island nyaris karam sebelum berlayar, karena terbentur masalah pendanaan. Sudahlah risetnya lama, sesi coaching aktor juga tidak sebentar. Makan waktu tiga bulan. Dan semua itu beralasan: Jerry percaya pada proses, keyakinan yang ia sadari betul sejak pertama kali berkenalan dengan kesenian.

“Saya menjalani proses dengan baik. Setiap tahapan saya lakoni dengan baik,” sambung Jerry.

Woman from Rote Island dimainkan oleh penduduk asli Pulau Rote, dan sebagian besar aktornya masih sangat hijau dalam urusan main film. Tak terkecuali dua pemeran utama Irma Novita Rihi (Martha) dan Merlinda Dessy Arantji Adoe (Orpha). Keduanya benar-benar baru belajar akting setelah bertemu Jerry dan kru.

Hasilnya, magis. Selama 1 jam 46 menit, lanskap yang indah permai berkali-kali dibenturkan dengan sisi gelap manusia dan segala kompleksitasnya. Di sini, realitas terasa lebih dominan ketimbang sekadar eksotisme.

Irma dan Merlinda berhasil meyakinkan penonton Woman from Rote Island bahwa sosok Martha dan Orpha bukan karakter dalam film belaka, melainkan manusia sungguhan yang eksis di sekitar, begitu dekat dan nyata.

Karenanya, ketika kedua sosok itu ditimpa nasib buruk tiada habisnya, penonton benar-benar berempati sebab merasa bahwa—meminjam satu larik puisi Sutardji Calzoum Bachri—yang tertusuk padamu berdarah padaku.

“Semua pemain di film ini punya irisan pengalaman dengan kasus kekerasan seksual. Kasus ini tidak hanya terjadi di Rote atau Nusa Tenggara Timur, tapi juga di mana-mana,” kata Jerry.

Bagi saya sebagai penonton, jalinan cerita, kedalaman peran dan sinematografi Woman from Rote Island secara alamiah telah menerbitkan kesadaran yang melekat perihal betapa buruk dan bahayanya peristiwa dan dampak berbagai kasus kekerasan seksual. Perasaan sekaligus sensasi yang ditimbulkan film ini terasa lebih kuat ketimbang saat mendapatkan cerita yang serupa via situs berita.

Saya percaya, siapa pun yang menyaksikan karya perdana sutradara Jeremias Nyangoen ini akan bergetar rasa kemanusiannya.

“Gak ada kepikiran buat balik lagi ke panggung teater, Mas?”

“Hahaha. Gimana, ya? Sekarang masih belum ada waktu. Tapi, sekali lagi, meskipun saat ini berkarya di bidang lain, saya masih berusaha menjalankan semua proses dengan baik. Itu yang saya dapatkan dari teater.”

Baca juga artikel terkait WOMEN FROM ROTE ISLAND atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Film
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Nuran Wibisono