Menuju konten utama

Women from Rote Island, Film Istimewa dengan Kisah Getir

Film peraih piala FFI 2023 dalam kategori Film Panjang Terbaik tersebut dibintangi oleh aktor dan aktris asli Nusa Tenggara Timur.

Women from Rote Island, Film Istimewa dengan Kisah Getir
Poster film Women From Rote Island. FOTO/Goodwork

tirto.id - Women from Rote Island menghadirkan warna baru bagi perfilman Indonesia. Ada berbagai keunikan yang tersembunyi di balik film besutan sutradara Jeremias Nyangoen tersebut.

Pertama, film peraih piala FFI 2023 dalam kategori Film Panjang Terbaik tersebut dibintangi oleh aktor dan aktris asli Nusa Tenggara Timur. Beberapa di antaranya bahkan tidak memiliki latar belakang seni peran.

Linda Adoe, pemeran Orpa, misalnya, adalah seorang Aparatur Sipil Negara yang tidak memiliki latar belakang dunia seni peran. Dirinya juga mengaku bahwa tidak tertarik bermain film atau ikut audisi karena merasa tidak berbakat.

“Saya tidak menyangka bisa terlibat dalam film ini karena saya sama sekali tidak tertarik dengan dunia seni peran dan tidak tertarik untuk ikut audisi karena merasa tidak punya bakat,” ujar Linda saat ditemui di Gala Premiere Women from Rote Island, Jumat (16/02/2024).

Dirinya pun mengisahkan bahwa keterlibatannya dalam film tersebut merupakan ketidaksengajaan. Suatu hari, ia mendengar Dinas Pariwisata Kabupaten Rote Ndao menggelar open casting untuk film ini. Dirinya pun sempat meragukan karena tidak yakin ada orang yang mau membuat film di daerahnya.

“Singkat cerita saya antar adik saya ke suatu acara dan ketemu Sutradara film tersebut dan orang tersebut menunjuk saya dan bilang ‘Saya mau dia’, terus tiba-tiba dia datang ke rumah saya dan nawarin saya casting ya udah saya coba aja,” urai Linda.

Hal senada juga disampaikan, Irma Rihi, pemeran karakter Martha. Dirinya mengatakan bahwa ia ditunjuk langsung oleh sutradaranya untuk bermain di Women from Rote Island.

“Ini adalah film perdana saya. Jujur saya enggak nyangka bisa main di film ini,” ucapnya.

Selain melibatkan warga lokal untuk menjadi aktris dan aktor, film ini juga menyoroti budaya lokal Pulau Rote. Percakapannya pun 100 persen merupakan bahasa Rote lengkap dengan logatnya.

Hal menarik lainnya yang tidak kalah penting adalah bagaimana Jeremias mengangkat berbagai isu sosial yang kerap terjadi di masyarakat. Misalnya, kekerasan seksual, kesehatan mental, dan imigran gelap.

Sepanjang film, penonton akan dipaparkan oleh berbagai tindak kekerasan seksual yang terjadi pada tokoh perempuan. Misalnya, bagian tubuh tertentu dipegang, cat calling, hingga pemerkosaan. Namun, menuju penghujung film penonton akan menyaksikan kekerasan seksual tidak terduga yang terjadi pada anak laki-laki.

“Selama ini masyarakat hanya menyuarakan kekerasan seksual terhadap perempuan tetapi lupa bahwa sekarang ini kekerasan seksual juga bisa dialami anak laki-laki. Film ini mengangkat hal tersebut,” urai Jeremias.

Jeremias juga mengangkat isu yang kerap terjadi namun kerap luput dari perhatian, imigran ilegal. Dalam film tersebut, dikisahkan Martha mengalami depresi sejak pulang bekerja dari Malaysia. Ia berubah menjadi pemurung dan pendiam. Sesekali ia berhalusinasi hingga histeris.

Apa yang digambarkan oleh Jeremias adalah sesuatu yang kerap terjadi pada TKW di NTT yang baru pulang ke tanah air.

“Saya dapat informasi dari Pemerintah Kabupaten kalau dalam setahun jumlah TKW yang kembali dengan peti mati sekitar 100 hingga 150 orang. Terus saya tanya, ‘kalau yang hidup bagaimana nasibnya?’ Lalu mereka bilang bahwa TKW yang kembali dalam keadaan hidup banyak yang mengalami depresi,” jelas Jeremias.

Isu sosial tersebut dikemas oleh Jeremias dengan cerita dramatis, menegangkan, yang dicampur dengan sedikit misteri.

Begitu istimewanya Women from Rote Island sehingga membuat film ini akan diputar secara perdana di enam negara setelah Idul Fitri. Tiga negara di antaranya adalah Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Baca juga artikel terkait WOMEN FROM ROTE ISLAND atau tulisan lainnya dari Iftinavia Pradinantia

tirto.id - Film
Penulis: Iftinavia Pradinantia
Editor: Nuran Wibisono