Menuju konten utama

5PM (Lima Penjuru Masjid) Butuh Remake, Bukan Sekuel

Film ini macam seorang ekstrovert yang hobi bacot dan mengatur hidup orang lain: menjemukan, dan patut ditinggalkan.

5PM (Lima Penjuru Masjid) Butuh Remake, Bukan Sekuel
Cuplikan film Indonesia, 5 PM Lima Penjuru Masjid. Youtube/SG Trailer ID

tirto.id - Pernah punya pacar atau gebetan yang hobi bacot? Tipikal orang yang kepayahan menyelipkan jeda, dan cenderung ingin terus-terusan menonjol dalam tiap perbincangan. Biasanya, orang begini juga hobi asal komentar dan blak-blakan tentang keinginannya mengatur hidup orang lain.

Jika ia diibaratkan macam sebuah film, maka seseorang itu adalah 5PM (Lima Penjuru Masjid) karya Humar Hadi.

Kejemuan itu sudah ditunjukan sejak awal film, ketika Bewok (M Taufik Akbar)—maling kotak amal—digiring ke masjid, bukannya kantor polisi. Lima pemuda—remaja masjid—memang menyelamatkannya dari amukan massa, tapi lantas malah merasa punya kuasa atas kendali hidup Bewok. Mereka tak cuma membawanya ke masjid, tapi turut melangkahi kewenangan pihak berwajib, dengan memberi vonis hukuman buat Bewok.

Memang si maling cuma dijadikan marbot masjid. Sebuah hukuman yang pasti lebih murah dan mudah dibayarnya ketimbang jeruji penjara. Tapi, premis yang ingin dibantah naskah tentang ‘tidak boleh main hakim sendiri’ justru diberi solusi yang juga ‘main hukum sendiri’.

Belum lagi tujuannya supaya terlihat seperti niat tulus membantu si maling, malah tampak seperti diskusi orang-orang pemilik otoritas yang haus ingin mengatur dan mengendalikan hidup orang yang dianggapnya lebih bodoh. Padahal, naskah 5PM (Lima Penjuru Masjid) tak menggali lima karakter utamanya sebagai pihak yang otoritatif. Nyaris tak ada adegan yang bikin kita—sebagai penonton—yakin, bahwa mereka punya wawasan yang cukup, sampai-sampai bisa merumuskan hidup seseorang.

Poin berusaha mengendalikan hidup si maling ini benar-benar perlu digarisbawahi. Bukan cuma merasa berhak menghukum seorang kriminal, mereka juga benar-benar tak menganggap Bewok sebagai manusia yang setara. Lima pemuda itu dalam sebuah adegan penuh dialog basi, tumpul, lamanya bukan main, lagi bikin ngantuk—macam sebuah kalimat tak bergagasan pokok—merumuskan hidup Bewok selepas hukumannya sebagai marbot masjid.

Dengan tampang-tampang naïf dan tektokan dialog yang bikin meringis, lima karakter itu membahas bagaimana nasib Bewok yang mencuri karena kebelet nikah. Ujung dari dialog panjang itu: mereka ingin memodali Bewok untuk bikin usaha, agar bisa menabung dan menikah. Anehnya, usaha yang tak pernah disebut sampai film itu tamat, konon juga dipilihkan dan didesain khusus oleh salah seorang dari mereka.

Keputusan itu sama sekali tak terlihat seperti sikap altruis; mengorbankan kepentingan diri demi menolong sesama. Ia lebih tampak seperti sifat narsisistis berlebihan, kalau bukan sikap jemawa yang muncul dari pandangan bahwa manusia dipilah berdasarkan kelas-kelas.

Ketimbang disajikan dialog panjang yang ujungnya menggurui, lebih baik Bewok diajak meresapi nilai-nilai yang dipegang teguh kelima tokoh utama tersebut. Bila tokoh Bewok memang sebodoh itu (sampai-sampai tak bisa memilih usaha sendiri ketika sudah dimodali), bukankah lebih baik memberi panduan agar mandiri, ketimbang terus menatihnya.

Sudah Salah Sejak dari Naskah

Niat ingin menolong Bewok nyatanya juga kontras dengan latar belakang lima pemuda yang menolongnya. Mereka semua juga pribadi yang bermasalah.

Misalnya, Usman yang diperankan aktor baru Zaky Ahmad Rivai. Hidupnya tak bisa dibilang lebih baik dari hidup Bewok. Ia adalah buruh pabrik yang kena PHK karena jomlo—dianggap lebih cocok untuk dipecat karena tidak punya ‘tanggungan’. Padahal cicilannya (yang juga tak pernah disebut mencicil apa) banyak, dan sudah ditagih penagih hutang.

Ada juga Budi (Aditya Surya Pratama), bocah yang frustrasi karena gagal terus dapat beasiswa ke Inggris; Gani (Faisal Azhar Harahap), bendahara masjid yang naksir pada anak Pak RW dan juga kebelet nikah; Abian (Zikri Daulay), musisi band yang sepi orderan tapi berhati mulia karena tabungannya akan dipakai jadi modal usaha Bewok; dan, Lukman (Ahmad Syarief), pengusaha londri kiloan yang menyesal karena tidak mengangkat telepon terakhir mendiang ibunya.

Lima pemuda itu yang disimbolkan jadi lima penjuru masjid dalam judul film ini. Mereka digambarkan sebagai jalan masuk Bewok untuk bisa mencintai masjid. Sayangnya, naskah yang juga ditulis Humar Hadi (dengan nama pena Umank Ady) ini tidak menggali karakter-karakter utamanya dengan bijak, lagi dalam.

Bewok, selepas ditunjuk jadi marbot masjid, tiba-tiba berubah tugas jadi Najwa Shihab dalam Mata Najwa. Ia mewawancara satu per satu lima pemuda itu tentang alasan mereka jadi penghuni masjid. Karena naskah yang dangkal dan sangat jauh dari konteks, alasan-alasan itu kemudian tampil tumpul.

Misalnya, Lukman yang mencintai masjid karena tak bisa menyalatkan jenazah mendiang ibunya. Ia orang pertama yang ditanyai Bewok. Dalam alur mundur yang disajikan Hadi untuk menjelaskan latar belakang Lukman, kita akan berakhir dengan banyak sekali pertanyaan alih-alih terharu dan ikut berempati dengan alasan Lukman mencintai masjid.

Pertama, ia digambarkan suntuk seharian sehingga tak mengangkat telepon dari ibunya. Sekali lagi, sampai film tamat, kita tak akan pernah tahu kenapa Lukman suntuk hari itu. Kata Dodo, pegawainya, ia cuma banyak pikiran. Lalu, saat mengangkat telepon, ibunya ternyata sudah pergi. Sampai di rumah, Lukman lalu dimintai seorang perempuan, mari asumsikan sebagai kakaknya atau tantenya (sebab tak ada informasi apa-apa tentang siapa perempuan itu), untuk menyalatkan dan memandikan jenazah ibunya. Tiba-tiba layar lompat ke adegan Lukman meratapi kuburan baru.

Entah sudah disalatkan atau belum, yang kita tahu Lukman selanjutnya masih menangis hingga pulang menumpangi sebuah mobil. Di perjalanan, mendadak Lukman minta berhenti. Ia memutuskan jalan kaki. Mungkin biar dramatis. Lalu, ia berujung di Masjid Al Kautsar, yang secara kebetulan sedang membahas tentang salat jenazah. Mendengar tausiah itu, tangis Lukman makin pecah. Konon, hal itu yang membuatnya jadi jatuh cinta pada masjid.

Mungkin alasan Lukman sama sekali tak konyol. Namun sayangnya, presentasi Hadi membuatnya kelihatan begitu. Naskah, akting kikuk Ahmad Syarief, cara penyutradaraan, dan efek suara dramatis yang bisingnya lebay adalah sedikit faktor yang bikin adegan itu amat konyol.

Lantas, alasan-alasan empat pemuda lainnya jauh lebih konyol dari alasan Lukman. Terlalu panjang jika dikupas satu-satu, tapi yang paling menggelikan adalah Usman yang ditakuti setan. Sementara yang paling buruk dirakit adalah latar belakang Abian—si musisi dermawan yang tak pernah kita lihat berada di atas panggung.

infografik misbar lima penjuru masjid

Ujung film lebih kacau. Tiba-tiba (benar-benar sekonyong-konyong), muncul karakter Arde (Alfie Affandi). Ia tiba-tiba menghancurkan sebuah maket dalam sebuah acara masjid yang dibikin khusus untuk anak-anak. Apa pasal? Arde yang masa kecilnya tinggal di Aceh, rupanya pernah sakit hati karena dilarang masuk masjid oleh bapak-bapak yang salah paham menyangka ia dan adiknya sebagai anak nakal—yang hobi ribut saat orang-orang salat.

Dendam itu dibawanya sampai tua, hingga merantau, dan merusuhi Masjid Al-Kautsar—yang sama sekali tak ada kaitannya sama masjid di Aceh sana.

Dengan karakter yang dirakit tumpul itu, lima pemuda tadi akhirnya bersimpati dan dengan sukarela mengantar Arde pulang ke Aceh. Belum cukup aneh? Tonton sampai adegan Arde bertemu dengan ibunya. Sang ibu yang belum bertemu dengan anaknya untuk waktu yang cukup lama langsung menyodori pertanyaan “Sudah salat kamu, Nak?” alih-alih bertanya kabar atau menyambut dengan pelukan rindu.

Satu-satunya yang mencegah saya tertawa adalah musik latar yang langsung menggelegar, mengisyaratkan kalau itu adalah adegan dramatis, bukan punchline kelakar.

Bolong-bolong pada naskah 5PM sudah terlalu banyak, hingga begah rasanya jika harus mengkritik aspek lain film ini.

Mestinya Film Tak Cuma Berorientasi Untung Ekonomis

Portofolio Bedasinema Pictures, rumah produksi yang membawa film ini ke bioskop memang belum banyak. Mereka terhitung pendatang baru. Tapi, Humar Hadi dalam portofolio di blog pribadinya tampak sudah terbiasa menulis naskah, baik film, bahkan teater. Saya memang belum pernah menonton satu pun pertunjukan yang dibuatnya, tapi dengan jam terbang demikian, bukankah harusnya bolong-bolong kecil yang abai konteks dan cacat nalar itu tak kelihatan di film 5PM?

Hal itu patut disayangkan, karena Humar Hadi tampaknya sadar betul kalau naskahnya berpotensi besar sukses. Faktor pertama, pasar Bedasinema Pictures memang penonton muslim—pangsa paling luas di negeri ini. Di berbagai platform media sosialnya, mereka terang menyebutkan itu. 5PM juga disengajakan tayang pada 17 Mei—hari pertama Ramadan. Hadi jelas tak buta hitung-hitungan ekonomis membuat film.

Di ujung film, ada narasi yang mengarahkan Arde dan Bewok untuk dimasukkan dalam geng 5PM, sehingga namanya diganti jadi 7PM. Makin jelas kalau Hadi memang berharap filmnya cukup untung, agar produser tertarik bikin sekuel. Tapi, jika ada rezeki, baiknya dibikin remake sekalian agar ceritanya lebih kuat.

5PM sendiri sebenarnya punya tema yang cukup potensial. Kegelisahan Hadi tentang masjid yang sudah ditinggalkan anak-anak muda seharusnya bisa lebih diperdalam dengan menitipkan konteks. Ia bisa menggali cerita tentang masjid yang sudah disusupi para penganut paham radikalisme dan bagaimana cara umat Islam merebutnya kembali. Sayang, Hadi tak berani sampai sana.

Joko Anwar—sineas dan praktisi film Indonesia—pernah bilang, “menulis skenario sama seperti menyanyi.” Ia menambahkan, “seperti menyanyi, yang ingin jadi penulis skenario akan lebih gampang kalau punya bakat. Tapi, seperti menyanyi (pula), menulis skenario (sebenarnya) bisa dipelajari.”

Joko juga pernah bilang, film-film yang dibuat serampangan bisa mematikan industri.

Kini, industri film sedang menggeliat kembali. Penonton film Indonesia terus meningkat. Kesadaran untuk langsung menonton di bioskop sudah tinggi. Saat minat penonton naik begini, film-film yang dibuat serampangan juga antre tayang di bioskop. Hal ini bisa bikin penonton begah dan industri kembali mati. Industri film Indonesia punya riwayat mengalami kelesuan berulang-ulang.

Sineas, termasuk Humar Hadi, semestinya sadar bahwa karya berkualitas adalah salah satu hal yang menjaga minat khalayak untuk tetap menonton film Indonesia.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nuran Wibisono