Menuju konten utama

Cobra Kai: Tidak Hanya Menjual Nostalgia Karate Kid

Serial Cobra Kai berlatar waktu 34 tahun setelah final Karate Kid.

Cobra Kai: Tidak Hanya Menjual Nostalgia Karate Kid
William Zabka kembali berperan sebagai Johnny Lawrence dalam serial Cobra Kai. FOTO/Youtube Red

tirto.id - Tatapan kosong dan sedih Danel LaRusso menjadi awal dari film The Karate Kid (1984). Ia dan ibunya baru pindah dari New Jersey ke Reseda, Los Angeles. Ini adalah kawasan hunian warga kurang mampu di Los Angeles. Di tempat ini, ia bertemu dengan Miyagi, imigran tua asal Okinawa, Jepang, yang bertanggung jawab terhadap fasilitas hunian.

Di sekolah, LaRusso sempat bersemangat karena bertemu dengan Ali Mills, cewek populer yang tergabung dalam kelompok pemandu sorak. Sayang, mantan pacar Ali brengsek dan tukang risak: Johnny Lawrence. Ia tergabung dalam dojo karate Cobra Kai yang punya moto strike first, strike hard, no mercy.

LaRusso kena risak habis-habisan oleh Johnny dan geng Cobra Kai-nya. Ia dipukuli di pantai, di sekolah, hingga di pesta Halloween. Satu-satunya yang bisa membantu hanyalah Miyagi. Ia ternyata ahli karate, dan mulai mengajarkan ilmunya pada LaRusso. Tak cukup sampai di sana, Miyagi bersikap seperti bapak bagi LaRusso yang yatim.

Puncak film terjadi saat LaRusso dan Johnny berhadapan di final Turnamen All-Valley Karate U-18. Momen saat LaRusso memasang kuda-kuda burung bangau dan meluncurkan tendangan depan ke wajah Johnny, mungkin adalah salah satu momen historis terkeren dalam sejarah film populer dan memengaruhi banyak anak muda untuk belajar karate.

Bagi banyak remaja 80-an, Karate Kid bukan sekadar film. Ia adalah corong suara generasi. Karakter LaRusso yang diperankan oleh Ralph Macchio jelas begitu dekat dengan anak muda. Ia terasing. Kesepian di tempat baru. Naksir gadis populer. Dan dirisak di sekolah. Siapa yang tidak pernah mengalami itu?

Karate Kid menjadi salah satu film agung sepanjang masa. Pat Morita yang memerankan Miyagi mendapat nominasi di Academy Awards dan Golden Globes. Secara pendapatan, dengan modal 8 juta dolar saja, film ini meraup lebih dari 90 juta dolar.

Kesuksesan ini sebenarnya menjadi kutukan tersendiri. Tak banyak orang yang rela sebuah film bagus dibuat ulang atau dibikin kelanjutannya --kecuali itu bersumber dari buku semisal Harry Potter atau Lord of the Ring, atau komik semisal karya-karya Marvel atau DC. Sebab pembuatan ulang maupun lanjutan film, berpotensi merusak keapikan karya sebelumnya. Itu sama seperti banyak orang akan menggelengkan kepala pada daur ulang Appetite for Destruction, Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band, atau Pet Sounds. Kalau dipaksakan, risiko gagal bisa besar. Kalau tak percaya, coba dengarkan "Yogyakarta" versi band Ungu.

Namun kesuksesan Karate Kid tentu menggiurkan para pemilik studio. Film ini dianggap sebagai tambang uang. Benar saja, akhirnya Karate Kid dibikin hingga film ketiga, plus film yang tak menampilkan Ralph Macchio, The Next Karate Kid (1994). Tak ada yang bisa menyamai kesuksesan Karate Kid pertama.

Yang lebih parah adalah adanya remake Karate Kid pada 2010. Film ini dibintangi oleh Jackie Chan, Jaden Smith, dan Taraji P. Henson. Meski secara pendapatan film ini meraup untung besar, film ini banyak dikritik. Terutama karena satu hal: pembuatnya tak paham beda karate dan kungfu.

34 Tahun Kemudian

Johnny Lawrence terbangun di kasur yang berantakan. Brewok dan cambang tumbuh liar di wajahnya. Selepas mematikan alarm, ia meminum sisa bir di meja samping kasur. Untuk sarapan, ia hanya memasak daging kemasan. Ia kemudian pergi kerja, hanya untuk dimarahi dan dipecat.

Kejayaan masa SMA saat ia bergabung dengan Cobra Kai dan jadi cowok populer di sekolah sudah lama lewat. Ia banyak dianggap sebagai pecundang. Saat sedang makan pizza di depan sebuah minimarket, seorang tunawisma mengusirnya.

"Sana! Jangan ambil tempatku!"

"Woi! Aku bukan gelandangan!" maki Johnny.

Penderitaannya tak berhenti sampai di sana. Setiap melintas jalan besar, ia terpaksa harus melihat wajah rival zaman SMA, LaRusso, yang sekarang jadi wirausahawan dealer dan bengkel mobil yang super sukses.

Johnny Lawrence dan Daniel LaRusso kembali bertemu setelah mereka berjibaku di final turnamen karate All Valley. Kali ini palagannya adalah serial Cobra Kai: The Karate Kid Saga Continues yang mengambil setting 34 tahun sejak final karate.

Kehidupan mereka berubah drastis. Johnny yang dulu tinggal di Encino, kawasan elite Los Angeles, kini tinggal di Reseda dan hidupnya berantakan. Sedangkan LaRusso yang dulu penghuni rusun di Reseda, kini sugih dan tinggal di Encino. Namun mereka punya satu kesamaan: mereka sudah meninggalkan karate dan menaruhnya di masa lalu.

Garis hidup Johnny sedikit berbelok saat ia terpaksa menolong Miguel Diaz, tetangga barunya, yang dirisak oleh segerombolan teman sekolahnya. Apa yang pernah ia pelajari di Cobra Kai dan sudah lama tertidur, kembali bangkit. Ia menghajar empat orang perisak Diaz dengan mudah.

Miguel yang terpesona, meminta Johnny mengajarinya karate. Awalnya ia malas. Namun tuntutan memperbaiki mobil yang ditabrak oleh beberapa orang remaja SMA, membuat ia mau menerima tawaran mengajar karate. Ia bahkan membuka dojo dan menamainya Cobra Kai.

Pada akhirnya, hidup Johnny dan LaRusso kembali bersimpang jalan. Mereka kembali masuk ke dunia karate yang dulu menempa mereka. Kisah ini dibumbui pula oleh hubungan ayah dan anak lelaki, ayah dan anak perempuan, kegelisahan pria usia 40-an, juga sepercik nostalgia di mana-mana.

infografik cobra kai

Ketika ide Cobra Kai dikemukakan, banyak orang menganggap remeh. Serial ini dianggap sebagai usaha memeras uang dari nostalgia. Tapi ketika akhirnya cuplikan serial produksi YouTube Red ini mengudara, banyak orang tak sabar menunggu serial ini resmi ditayangkan.

Ketika akhirnya Youtube Red melepas Cobra Kai musim pertama yang terdiri dari 10 episode, penonton langsung menyerbu. Episode pertama yang dibagikan gratis di YouTube, ditonton 5,4 juta kali dalam 24 jam. Apa yang dijual oleh Cobra Kai memang bukan hanya nostalgia. Ia lebih dari itu. Cobra Kai dengan cerdik memotret kegelisahan para remaja penonton Karate Kid di 1984 yang kini sudah menapak usia kepala empat.

Karena itu, di Cobra Kai ada pergulatan batin Johnny dan LaRusso yang sama-sama punya anak. Bagaimana Johnny mencoba berhubungan dengan anak lelakinya yang lama ditinggalkan, juga bagaimana LaRusso berusaha keras menjaga keluarganya tetap ideal dan sempurna, menjadi bumbu sedap serial ini.

Cobra Kai juga cocok untuk penonton generasi muda dengan menampilkan rivalitas baru antara Miguel Diaz (Xolo Mariduena) dan Robby Keene (Tanner Buchanan), lengkap dengan satu sosok perempuan di tengah mereka, Samantha LaRusso (Mary Mouser). Konflik ini tentu mengingatkan penonton lawas dengan konflik ala Karate Kid.

Sebagai film drama komedi, Cobra Kai juga bisa dibilang cukup segar. Terutama eksploitasi generation gap yang ditunjukkan, salah satunya soal selera musik Johnny dan Miguel.

"Coba pasang musik yang lebih oke, Guns N Roses, misalnya," kata Johnny suatu ketika.

"Apa itu Guns N Roses?"

"Aku akan pura-pura tak mendengar kalimat itu."

Yang perlu diacungi jempol tentu akting William Zabka yang memerankan Johnny, dan Ralph Macchio yang memerankan LaRusso. Zabka dengan apik memainkan peran sebagai pria 40-an yang mengalami pergulatan eksistensial, termasuk hubungan dengan ayah tiri dan anak lelakinya. Ia mencoba untuk menampilkan kegarangan ala Cobra Kai yang tak kenal belas kasihan, tapi ia tahu ia bukan orang yang seperti itu lagi. Karena itu pula, Johnny banyak bertentangan dengan murid-muridnya yang lebih paham soal isu gender dan perisakan fisik.

Karakter Johnny menjelma jadi favorit, berbeda dengan saat ia tampil sebagai antagonis di Karate Kid. Penonton bisa dengan mudah bersimpati pada Johnny, bahkan memiliki ikatan personal. Seiring episode yang terus berjalan, penonton diajak paham latar belakang Johnny, dan kenapa ia sempat menjadi perisak, dan bagaimana hidupnya berantakan selepas lulus SMA. Karena simpati itu, wajar saja kalau orang-orang yang dulunya mendukung LaRusso di Karate Kid, jadi beralih mendukung Johnny.

Tentu saja, film ini tak pernah dimaksudkan sebagai film bela diri yang serius. Gerakan karate, juga koreografi pertarungannya, tak seapik, katakanlah film macam Ip Man, Warrior, atau Bloodsport yang berdarah-darah. Karena itu, segala gerakan yang tampak tanggung dan seperti kurang luwes, seharusnya cukup bisa dimaklumi.

Selain itu, jika Karate Kid mengilhami banyak remaja belajar karate, mungkin Cobra Kai tak akan memiliki pengaruh sebesar itu. Apalagi di tengah popularitas olahraga tarung bebas yang mempopulerkan Brazilian Jiu-Jitsu dan judo. Namun, lagi-lagi, karate dan bela diri bukanlah jualan utama Cobra Kai, melainkan hanya pemicu cerita. Dengan ramuan lengkap, garapan apik, dan akting ciamik dari aktor seniornya, film ini mendapat tanggapan apik dari penonton maupun kritikus. Di situs Rotten Tomatoes, film ini mendapat rating rata-rata 7,29.

Cobra Kai jelas tidak akan berhenti di musim pertama. YouTube sudah memastikan akan ada musim kedua. Rivalitas Miguel dan Robby juga masih akan terus berlanjut. Apalagi di episode terakhir, muncul sosok yang selama ini menghantui hidup Johnny.

Lanjutannya baru akan bisa dinikmati pada 2019 silam. Sementara menunggu, para bapak dan ibu yang dulu menggemari tendangan bangau dan wajah manis Ralp Macchio, bolehlah kembali mempraktikkan tendangan bangau yang sudah lama dilupakan. Osh!

Baca juga artikel terkait COBRA KAI atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Film
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti