tirto.id - Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito mengatakan, sebelum melakukan pembukaan di berbagai sektor secara lebih luas di tengah pandemi COVID-19, ada sejumlah tahapan yang harus dilakukan.
Menurut Wiku tahapan ini berlaku bagi semua sektor kegiatan di tengah masyarakat, tidak terkecuali sektor pendidikan. Prinsip pembukaan sektor sosial ekonomi dalam masa pandemi ini dilakukan untuk menjaga masyarakat agar tetap bisa produktif dan aman COVID-19.
"Secara prinsip ada lima tahapan yang harus dilalui sebelum melakukan pembukaan sektor pendidikan," kata Wiku Adisasmito melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi Tirto.
Secara lebih rinci, lima tahapan itu di antaranya tahap pra kondisi, timing, prioritas, koordinasi Pusat - Daerah serta monitoring dan evaluasi. Berikut penjelasan kelima tahapan tersebut,
1. Tahap pertama, prakondisi secara sederhana dipahami sebagai adaptasi kebiasaan baru. Pemerintah berusaha menjamin proses adaptasi berjalan dengan baik melalui sosialisasi dan fasilitasi sarana dan prasarana pendukung penerapan protokol kesehatan untuk memudahkan masyarakat.
2. Tahap kedua, timing atau proses dalam menentukan waktu yang tepat. Proses ini mengacu pada data-data epidemiologi, kesiapan institusi pendidikan, dan ketersediaan fasilitas kesehatan.
"Sebelumnya di awal tahun 2021, hanya sebagian daerah yang dianggap siap dan diizinkan melakukan kegiatan tatap muka secara bertahap. Kemudian ditambah dengan instruksi Menteri Dalam Negeri terkait PPKM Mikro di 15 provinsi," imbuhnya.
3. Tahap ketiga, penentuan prioritas yang mencakup simulasi pembukaan oleh institusi percontohan terlebih dahulu. Sebagai bahan pembelajaran bagi institusi lain untuk dapat diperluas cakupannya secara bertahap. Dan seluruh elemen yang terlibat harus memastikan seluruh aspek kegiatan belajar, mulai dari siswa berangkat sampai pulang ke rumah. Karena peluang penularan dapat terjadi dimana saja.
Serta dengan kelonggaran yang diberikan pemerintah, dalam ksanannyaannya harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, disertai pengawasan ketat oleh pemerintah daerah.
"Transparansi operasional institusi percontohan harus mampu menjadi bahan evaluasi kebijakan bagi insiusi pendidikan lainnya, daerah maupun kebijakan di tingkat nasional," lanjut Wiku.
4. Tahap keempat, adalah tahapan koordinasi pusat dan daerah, yaitu koordinasi implementasi timbal balik antara pemerintah pusat dan pihak daerah, diantaranya dinas kesehatan, dinas pendidikan, serta institusi pendidikan dan orang tua murid. Koordinasi yang baik menjadi kunci identifikasi masalah sedini mungkin, agar dapat dicarikan solusinya segera dengan gotong royong antar elemen masyarakat maupun pemerintah.
5. Tahap kelima, ialah tahapan monitoring dan evaluasi pemantauan pelaksanaan kegiatan pembelajaran dan evaluasi sesuai skenario pengendalian COVID-19 dengan prinsip kebijakan gas dan rem.
"Setiap pelaporan yang dilakukan akan menjadi input yang berharga dalam tahapan perluasan pembukaan sektor pendidikan maupun sektor lainnya. Maka dari itu, faktor transparansi memegang peranan penting dalam tahapan ini," ia menekankan.
Disamping itu, bagi institusi pendidikan yang sudah membuka kegiatan pendidikan agar tetap waspada dengan perkembangan terkini dari penanganan COVID-19.
"Dan sewaktu-waktu bersiap melakukan pengetatan kembali jika diperlukan melalui skrining secara berkala," pungkas Wiku.
Sementara itu, merujuk pada pernyataan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Januari lalu, ada 14 provinsi dinyatakan siap membuka sekolah. Provinsi-provinsi dimaksud ialah Jawa Barat, DI Yogyakarta, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Barat.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim juga telah mengatakan bahwa sebenarnya sejak Januari atau awal 2021 pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas sudah diperbolehkan.
“Sejak Januari 2021, penentuan PTM secara terbatas merupakan hak prerogatifnya pemerintah daerah (pemda). Mohon teman-teman media dan Komisi X DPR menjelaskan ini, karena saya sudah menjelaskannya secara berulang kali tapi tetap saja pertanyaan mengapa masih melakukan pendidikan jarak jauh (PJJ). Padahal awal tahun ini sudah diperbolehkan PTM secara terbatas,” ujar Nadiem dalam Rapat Kerja Komisi X DPR Kamis (18/32021) melansir Antara.
Nadiem menjelaskan prinsip penyelenggaraan pendidikan selama COVID-19 adalah kesehatan dan keselamatan peserta didik maupun guru merupakan prioritas utama dalam penetapan kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan, serta mempertimbangkan tumbuh kembang dan hak anak selama pandemi COVID-19.
PJJ, lanjut dia, sudah berlangsung selama satu tahun dan berpotensi menimbulkan dampak sosial negatif yang berkepanjangan, di antaranya putus sekolah, penurunan capaian belajar dan kekerasan pada anak dan risiko eksternal.
“Risiko putus sekolah karena anak terpaksa bekerja untuk membantu keuangan keluarga di tengah krisis pandemi COVID-19. Persepsi orang tua, banyak orang tua yang tidak bisa melihat peranan sekolah dalam proses belajar-mengajar apabila pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka,” terang dia.
Nadiem menjelaskan terjadi kesenjangan capaian belajar yang mana perbedaan akses dan kualitas selama PJJ, dapat mengakibatkan kesenjangan capaian belajar, terutama untuk anak dari sosio ekonomi berbeda.
“Learning loss yang sifatnya permanen itu akan terus terjadi jika kita tidak segera melakukan tatap muka,” imbuh dia.
Studi menemukan bahwa pembelajaran di kelas menghasilkan pencapaian akademik yang lebih dibandingkan dengan PJJ. Selanjutnya, tanpa sekolah banyak anak yang terjebak pada kekerasan rumah tanpa terdeteksi oleh guru, serta saat anak tidak lagi datang ke sekolah terdapat risiko untuk pernikahan dini, kekerasan pada anak, kehamilan remaja dan lain sebagainya.
Nadiem menjelaskan untuk zona hijau dan kuning, sejak Agustus 2020 sudah diperkenankan untuk tatap muka. Namun hingga saat ini di zona hijau hanya 56 persen yang melakukan PTM dan zona kuning hanya 28 persen yang melakukan PTM. Pembukaan sekolah tergantung pada keputusan pemda.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengakselerasi PTM di Indonesia, akan tetapi pada kenyataannya hanya 16 persen yang melakukan PTM dan 84 persen sisanya melakukan PJJ.
“Ini harus naik cepat, makanya dengan vaksinasi pendidik dan tenaga kependidikan ini, kita akselerasi PTM di sekolah,” imbuh Nadiem.
Editor: Agung DH