tirto.id - Tahun 2019 menjadi tahun yang amat berat bagi Regina (28). Di tahun itu, ia menghadapi rentetan permasalahan di kehidupannya. Sebagai seorang anak yang saat itu masih berusia sangat muda, ia mesti menghadapi kenyataan bahwa kedua orang tuanya harus berpisah. Dalam momen yang hampir bersamaan, ia mendapatkan ujian lain: kondisi bisnis yang tengah ia rintis sejak lama, mesti gulung tikar.
“Sebelum dua kejadian itu, gue dari kecil sampai lulus kuliah tipikal yang, kalau misalnya stres tuh, gak gue rasa-rasain gitu loh. Tapi semenjak ada dua kejadian besar itu, gue jadi gampang banget overthinking. Terus bener-bener yang overthinking-nya ya lumayan parahlah,” ujarnya saat bercerita ke Tirto, Rabu (7/5/2025).
Seiring berjalannya waktu, ia mengalami salah satu gejala gangguan kesehatan mental yang disebut panic attack atau serangan panik. Ia seringkali merasakan gangguan kecemasan yang ditandai oleh “serangan panik” yang berulang-ulang, dengan gejala fisik seperti jantung berdebar-debar, sesak napas, dan gemetar.
Kondisi ini membuatnya berinisiatif melakukan depression test atau tes gejala depresi, melalui salah satu platform digital secara virtual. Hasil tes tersebut menunjukkan bahwa ia masuk dalam kategori “very high” atau kemungkinan mengalami gejala depresi berat. Ia juga disarankan untuk segera mencari bantuan profesional, seperti psikolog atau psikiater.
“Waktu itu akhirnya gue mutusin buat coba konsul ke psikolog online. Terus ternyata, setelah konsul yang pertama kali, memang ngerasa jadi jauh lebih baik gitu,” ujarnya.
Kondisi mentalnya berangsur membaik. Menurutnya, kehadiran psikolog memegang peranan penting baginya, untuk mengendalikan diri saat depresi mulai datang.
“Semua masalah kita tuh solusinya pasti dari kita sendiri. Psikolog membantu cara pola pikir kita gimana, supaya kita bisa menemukan solusi dari masalah itu,” ujarnya.
Regina mengaku lebih nyaman menggunakan platform telemedicine, yang memungkinkan dirinya untuk berkonsultasi dengan psikolog secara online. Menurutnya, tak semua fasilitas kesehatan di lingkungannya, seperti Puskesmas, menyediakan layanan psikolog. Ia juga mengaku tak tertarik menggunakan BPJS dalam menggunakan akses layanan kesehatan mental, lantaran prosesnya yang ia anggap berbelit-belit.
“Kayak kita tuh kalau ke psikolog kan berarti mentalnya lagi bermasalah ya. Terus disuruh ngantri BPJS, aduh kayaknya gak bisa deh. Gak sanggup sih gitu,” ujarnya.
Seiring perkembangan teknologi digital akhir-akhir ini, Regina mengaku sempat mempertimbangkan dan mencoba artificial intelligence/kecerdasan buatan (AI) untuk menggantikan psikolog. Ia mengakui bahwa AI sebagai sebuah tools memiliki kemampuan yang baik, namun keberadaannya dianggap tetap tak bisa menggantikan kehadiran psikolog profesional.
Berdasarkan pengalamannya, ia menilai keberadaan teknologi digital seperti AI, di satu sisi memang memberi kemudahan, terutama dari sisi biaya dan fleksibilitas yang ditawarkan. Terutama di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang kini tengah tak menentu.
“Kalau dari yang gue liat, orang yang pake AI itu pasti orang yang lagi nge-save money sih, karena ChatGPT itu gratis kan,” ujarnya.
Regina menjadi contoh salah satu dari sekian banyak anak muda yang mengalami gangguan kesehatan mental di Indonesia. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkap, sebanyak 61 persen anak muda mengalami depresi dan dalam 1 bulan terakhir pernah terlintas untuk mengakhiri hidup.
Survei yang sama mengungkap prevalensi depresi di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 1,4 persen dari total jumlah penduduk. Prevalensi depresi paling tinggi ada pada kelompok anak muda (15-24 tahun), yaitu sebesar 2 persen, dan diikuti oleh kelompok usia 75 tahun ke atas dengan 1,9%, dan usia 65–74 tahun dengan 1,6 persen.
Tak hanya itu, temuan Kemenkes mengungkap, sebanyak 4 persen rumah tangga memiliki anggota rumah tangga (ART) dengan gejala skizofrenia, dan 3 persen dengan gejala serta diagnosis skizofrenia oleh dokter.
Menukil penjelasan Kemenkes, gangguan jiwa psikosis/skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang umumnya ditandai dengan penyimpangan yang fundamental, dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, disertai afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Dalam bahasa awam disebut sebagai “ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) berat”.
Sebelumnya, survei yang dilakukan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), pada tahun 2022, mengungkap satu dari tiga remaja di Indonesia (34,9 persen) memiliki masalah kesehatan mental dalam kurun waktu 12 bulan.
Selain itu, satu dari dua puluh (5,5 persen) remaja Indonesia memenuhi kriteria untuk satu gangguan mental. Jika merujuk pada data sensus terkini, prevalensi ini setara dengan 13 juta remaja (yang memiliki masalah kesehatan mental) dan 2 juta remaja (yang memiliki gangguan mental).
Makin Banyak yang Peduli Kesehatan Mental
Psikolog yang juga pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Fitriany Juhari, M.Psi, Psikolog, mengungkap, angka prevalensi penderita gangguan kesehatan mental yang terus naik, di satu sisi, bisa dimaknai sebagai makin banyak masyarakat yang peduli tentang isu ini.
Di sisi lain, berbeda dengan zaman dahulu, pola gaya hidup yang dianut masyarakat sekarang juga membuat mereka lebih rentan terkena gangguan kesehatan mental.
Menurut Fitriany, penting bagi para penderita gangguan kesehatan mental, untuk mendeteksi gangguan tersebut lebih dini agar bisa mendapatkan penanganan lebih cepat. Ia menjelaskan bahwa kesehatan mental itu sama seperti kesehatan fisik. Semakin dini intervensinya, maka semakin sedikit dampak yang akan ditimbulkan dan semakin baik prognosanya.
“Jadi sangat penting bagi para penderita mendapatkan akses cepat terhadap layanan kesehatan mental,” ujarnya.
Masyarakat Belum Banyak Mengakses Layanan Kesehatan Mental
Sayangnya, hanya sebagian kecil dari penderita gangguan kesehatan mental di Indonesia yang dapat mengakses layanan kesehatan mental. Data SKI 2023 menyebut hanya 10,4 persen anak muda dengan depresi yang mencari pengobatan.
Temuan survei I-NAMHS, pada tahun sebelumnya, juga merekam, hanya sebagian kecil remaja dengan masalah kesehatan mental yang mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan. Tercatat, hanya 2,9 persen yang berobat ke dokter spesialis/dokter spesialis jiwa, disusul 3,7 persen berobat ke petugas puskesmas, dan 24,3 persen berobat ke dokter dan perawat umum.
Kebanyakan (38,2 persen) remaja memilih untuk mengakses layanan kesehatan mental dari sekolah. Lebih dari dua perlima (43,8 persen) melaporkan bahwa mereka tidak mencari bantuan dikarenakan mereka lebih memilih untuk menangani sendiri masalah tersebut atau dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman.
Mundur ke tahun 2018, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes juga mencatat, bahwa dari 706.689 penduduk berusia 15 tahun ke atas yang mengidap depresi, hanya 9 persen di antaranya yang bisa mengakses pengobatan kesehatan jiwa. Padahal, temuan yang sama mencatat, lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
Untuk memotret kondisi terbaru terkait akses layanan kesehatan mental di kalangan masyarakat, Tirto juga bekerja sama dengan lembaga Jakpat untuk melaksanakan survei bertajuk “Akses Layanan Kesehatan Mental” yang dilakukan pada 6 Mei 2025.
Survei ini melibatkan 1.250 responden, yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia, yang dipilih dengan metode non-probability sampling, dengan margin error di bawah angka 3 persen. Secara demografi, kebanyakan responden berusia 20-25 tahun (25,20 persen), menyusul setelahnya kelompok usia 30-35 tahun dan 26-29 tahun. Mayoritas mereka tinggal di Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Survei Tirto memotret hasil serupa dengan temuan-temuan sebelumnya, bahwa akses masyarakat terhadap layanan kesehatan mental terungkap masih rendah. Hasil survei ini mencatat hanya sebanyak 25,68 persen responden yang mengaku pernah mengakses layanan kesehatan mental.
Mayoritas responden (42,16 persen) mengaku bahwa selama ini belum pernah mengakses layanan kesehatan mental. Sementara, 32,16 persen sisanya berencana untuk mengakses layanan kesehatan mental.
Kurangnya Literasi Masyarakat dan Mahalnya Biaya Layanan
Kurangnya literasi masyarakat terhadap kesehatan mental menjadi salah satu faktor utama penyebab rendahnya akses masyarakat terhadap layanan kesehatan mental, berdasarkan survei yang dilakukan Tirto.
Tercatat, sebanyak 45,92 persen responden mengaku tidak membutuhkan layanan kesehatan mental dan 30,55 persen responden mengaku tidak tahu harus mengakses layanan kesehatan mental ke mana.
Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan, Kemenkes, dr. Imran Pambudi, MPHM, mengamini hal ini. Imran melihat, saat ini, banyak orang yang belum memahami gejala gangguan jiwa dan pentingnya penanganan profesional. Hal ini membuat mereka tidak menyadari bahwa mereka memerlukan bantuan.
“Center for Public Mental Health UGM menyebutkan literasi kesehatan mental dapat meningkatkan pengetahuan dan keyakinan mengenai gangguan-gangguan jiwa sehingga akan membantu rekognisi, manajemen, dan prevensi termasuk perilaku mencari bantuan (help seeking behavior),” ujarnya kepada Tirto, Rabu (7/5/2025).
Lebih lanjut, survei Tirto merekam, ada faktor lain yang membuat masyarakat tidak mengakses layanan kesehatan mental, yakni biaya yang dianggap terlalu mahal. Alasan ini dipilih oleh 25,05 persen responden. Soal ini, dr. Imran dari Kemenkes menyebut, gangguan jiwa merupakan penyakit yang ditanggung dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS), sesuai peraturan perundangan yang berlaku baik di puskesmas maupun di rumah sakit.
“Sehingga bukan menjadi alasan bila keengganan mengakses layanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan adalah karena biaya yang mahal,” ujarnya kepada Tirto.
Sayangnya, meski gangguan kesehatan jiwa ditanggung oleh BPJS, survei yang dilakukan Tirto mengungkap bahwa lebih banyak responden (61,21 persen) yang tidak mengetahui hal tersebut.
Survei Tirto mengungkap, lebih dari 70 persen responden mengaku, hanya bersedia mengeluarkan uang di bawah Rp200 ribu untuk layanan kesehatan mental dalam satu sesi. Dengan rincian, 42,05 persen responden mengaku hanya bersedia membayar di bawah Rp100 ribu dan 30,32 persen mengaku hanya bersedia membayar Rp100 ribu-Rp200 ribu.
Ketersediaan fasilitas layanan kesehatan mental yang belum merata di Indonesia juga menjadi faktor yang menyebabkan rendahnya angka aksesibilitas masyarakat terhadap layanan kesehatan mental. Survei Tirto mengungkap, sebanyak 16,13 responden mengaku di daerahnya tidak ada layanan kesehatan mental.
Soal ini, dr. Imran dari Kemenkes mengungkap idealnya, apabila puskesmas memiliki dokter umum, maka dikatakan bahwa puskesmas semestinya mampu menangani masalah kejiwaan. Sebabnya, dalam panduan praktik klinis di FKTP, terdapat 2 diagnosis gangguan jiwa (skizofrenia tanpa penyulit dan depresi ringan-sedang) yang harus tuntas di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).
Berdasarkan data Kemenkes yang diterima Tirto, saat ini hanya terdapat 4.624 puskesmas (44,39 persen) di Indonesia yang mampu memberikan layanan kesehatan jiwa, yakni memiliki SDM kesehatan terlatih, serta memiliki obat-obatan psikofarmaka. Sementara sisanya belum memiliki layanan kesehatan jiwa.
Selain itu, ketersediaan tenaga profesional kesehatan mental di Indonesia juga masih belum ideal. Melansir data terakhir dari Kemenkes, pada tahun 2022, rasio psikiater di Indonesia masih sangat timpang, yakni 1 banding 200.000 penduduk. Artinya setiap 1 psikiater harus melayani 200.000 penduduk. Rasio ini masih jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mensyaratkan rasio psikiater dan jumlah penduduk idealnya 1:30.000. Tak hanya dari sisi jumlah, sebaran psikiater juga belum merata. Masih terkonsentrasi di kota-kota besar saja.
Dari sisi psikolog, Anrilia E M Ningdyah, selaku Ketua IV PP Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) mengakui, jumlah tenaga profesional kesehatan mental, khususnya psikolog di Indonesia, memang jauh dari jumlah ideal yang disarankan untuk per satuan jumlah penduduk.
“Hal ini merupakan fenomena global dan untuk konteks Indonesia, jumlah ketersediaan psikolog menjadi lebih parah untuk daerah-daerah yang jauh dari pusat kegiatan (seperti di kota/kabupaten terpelosok yang relatif sulit dijangkau),” ujarnya kepada Tirto, Kamis (8/5/2025).
Upaya Menghapus Stigma Negatif
Peneliti Bidang Sosial, The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII), Made Natasya Restu Dewi Pratiwi, menyebut berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 dan studi lainnya, rendahnya akses layanan kesehatan mental terjadi karena adanya internalisasi stigma masyarakat pada individu yang menyadari dirinya mengalami gangguan kesehatan mental.
“Internalisasi stigma masyarakat pada individu yang merasa dirinya tidak baik-baik saja dapat terjadi karena munculnya pelabelan 'kurang beriman', 'kurang beribadah', dan 'mental lemah', bagi mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental,” ujarnya kepada Tirto, Kamis (8/5/2025).
Natasya menambahkan, stigma internal dapat membuat orang dengan gangguan kesehatan mental menjadi merasa tidak berdaya, malu, dan tidak memiliki harapan untuk hidup. Akibatnya, mereka cenderung menutupi status diagnosanya dan memilih untuk tidak datang ke pelayanan kesehatan.
Terpisah, peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menyebut dari perspektif psikologi sosial, rendahnya minat masyarakat mengakses layanan kesehatan mental disebabkan oleh kombinasi norma sosial, stigma, dan kurangnya efikasi kolektif.
Ia menambahkan, stigma merupakan bentuk labelling sosial, yang menimbulkan efek psikologis kuat, seperti rasa malu, takut dikucilkan, dan khawatir dianggap lemah. Dalam konteks masyarakat kolektif seperti Indonesia, identitas sosial sangat bergantung pada bagaimana seseorang dipersepsikan oleh komunitasnya.
Stigma negatif dari lingkungan sekitar memang jadi salah satu penghambat akses layanan kesehatan mental masyarakat di Indonesia. Survei Tirto sendiri membuktikan bahwa 15,37 persen responden enggan mengakses layanan kesehatan mental karena takut mendapatkan stigma negatif dari lingkungan.
“Maka, datang ke psikolog bisa diartikan sebagai 'mengakui kegagalan' yang bisa memalukan keluarga,” ujar Wawan mengomentari hal tersebut
Psikolog Fitriany Juhari dari Unpad menilai tenaga kesehatan harus berperan di garda terdepan untuk mengedukasi masyarakat dan menghapus stigma negatif.
“Tenaga kesehatan yang lebih humanis yang lebih melihat bahwa orang-orang dengan gangguan kesehatan mental adalah manusia. Dari pada membicarakan di belakang, kemudian memandang sebelah mata, kita jadi punya empati yang lebih baik terkait dengan kondisi orang-orang dengan kerentanan terhadap kesehatan mental,” ujarnya.
Kembali ke survei Tirto. Menariknya, mayoritas responden yang mengaku tak pernah mengakses layanan kesehatan mental secara medis atau profesional mengaku lebih memilih untuk bercerita/mendapatkan dukungan terkait kesehatan mental ke keluarga yang mencakup orang tua, saudara dan pasangan (70,02 persen).
Tak sedikit juga responden yang memilih bercerita atau mencari dukungan terkait kesehatan mental ke teman dekat (43,45 persen) dan tokoh agama (19,54 persen).
Menanggapi survei ini, Fitriani menilai merupakan hal yang wajar jika masih banyak masyarakat yang lebih nyaman untuk bercerita ke keluarga, orang dekat, dengan tokoh agama, untuk konsultasi terkait dengan masalah-masalahnya. Dalam posisi ini, mereka dapat berperan memberikan potensi adanya pemberi pertolongan pertama bantuan psikologis.
“Ada masalah-masalah itu normal bermasalah yang mungkin ditangani oleh orang-orang terdekat dengan pemberian bantuan psikologis awal. Tapi ada juga yang kalau sudah menunjukkan gijala klinis, ini perlu dibantu oleh profesional dalam hal ini, psikiater maupun psikolog klinis,” ujarnya.
Menurutnya, hal yang harus menjadi pertanyaan adalah sejauh apa keterampilan dan kapasitas mereka (keluarga dekat, teman dan tokoh agama) dalam membantu orang-orang tersebut mengatasi masalahnya. Sebagai psikolog, Fitriani menilai pekerjaan rumah bagi para profesional atau para ahli adalah untuk memberikan pembekalan terhadap keluarga.
Dari sisi asosiasi, Anrilia dari HIMPSI mengatakan, bahwa organisasinya saat ini tengah menggencarkan program peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat memberikan Bantuan Psikologis Awal (Psychological First Aid) bagi sesama yang mengalami krisis psikologis.
“Seperti layaknya P3K untuk luka fisik, PFA ditujukan untuk membantu penanganan awal krisis psikologis agar tidak menjadi semakin parah, sebelum akhirnya ditangani oleh profesional (psikolog/psikiater) untuk kasus-kasus yang membutuhkan layanan lanjutan,” ujarnya.
Dengan program ini, diharapkan masyarakat memiliki keterampilan dasar untuk membantu pemulihan krisis psikologis dan meningkatkan kemampuan menolong, lebih dari sekedar 'menerima cerita'.
“Pengalaman kami mengasuh hotline milik pemerintah di 119 ext. 8 (SEJIWA), lebih dari 50 persen kasus psikologis dapat ditangani dengan PFA. Artinya, diperlukan inisiatif untuk mengatasi krisis jumlah tenaga psikolog, agar masyarakat tetap dapat menjaga kesehatan mentalnya,” katanya.
Kehadiran Teknologi Digital: Bak Dua Sisi Mata Pisau
Di tengah masalah akses kesehatan mental yang terbatas, kehadiran teknologi digital bagaikan dua sisi mata pisau, yang bisa memberi efek positif maupun negatif.
Dari sisi positif, kemajuan teknologi terbukti dapat membantu meningkatkan akses dan inovasi pelayanan kesehatan mental, salah satunya melalui platform telemedicine atau telekonseling yang dapat menghubungkan pasien dengan penyedia layanan kesehatan melalui layanan virtual jarak jauh.
Belakangan ini, tren penggunaan telemedicine memang nampak sedang digandrungi oleh masyarakat. Layanan ini menawarkan kemudahan bagi masyarakat untuk mkelakukan konsultasi medis dengan tenaga profesional. Tak terkecuali dalam konteks layanan kesehatan mental, sejumlah platform telemedicine yang turut menyediakan layanan ini.
Hasil survei Tirto mengungkap, hampir separuh responden (49,52 persen) melakukan konsultasi dengan psikolog melalui layanan teknologi digital yaitu telemedicine atau telekonseling. Angka tersebut lebih tinggi dari 28,77 persen responden yang berkonsultasi dengan psikolog melalui tatap muka secara langsung.
Masyarakat yang mengakses layanan kesehatan mental ke psikiater tercatat lebih sedikit dari psikolog. Tercatat, hanya 12,31 persen mengaku berkonsultasi dengan psikiater secara tatap muka dan hanya 9,41 persen yang berkonsultasi dengan psikiater melalui layanan telemedicine.
Survei ini juga mengungkap bahwa 51,83 persen responden mengaku telah mengetahui bahwa layanan kesehatan mental (psikolog/psikiater) tersedia di fasilitas pemerintah seperti puskesmas atau RSUD.
Namun, dalam praktiknya responden yang mengakses layanan kesehatan mental secara langsung paling banyak datang ke klinik/praktik pribadi (46,46 persen). Sementara, puskesmas justru menjadi tempat yang paling sedikit diakses oleh responden (29,63 persen).
Psikolog Anrillia dari HIMPSI memandang hal ini sebagai salah satu aspek positif kemajuan teknologi yang dapat membantu meningkatkan akses dan inovasi pelayanan kesehatan mental. Meskipun, dalam penerapannya, ia menekankan prinsip-prinsip etika psikologis tetap harus jadi rujukan utama.
“Kami sungguh merasakan manfaat teknologi dalam layanan2 psikologi, terutama sejak masa pandemi Covid-19. Beberapa layanan psikologis dasar (psikoedukasi, PFA, bahkan beberapa psikoterapi) dapat tetap dilakukan dengan memanfaatkan telepsychology,” katanya.
Disrupsi AI dalam Layanan Kesehatan Mental
Menariknya, dalam temuan survei ini, ada pula 8,73 persen responden yang memilih AI/kecerdasan buatan sebagai pengganti psikolog atau psikiater dalam hal penanganan masalah kesehatan mental.
Sebelumnya, survei yang dilakukan Snapcart pada medio April 2025 juga mengungkap bahwa 6 persen responden Indonesia memanfaatkan AI sebagai teman untuk ngobrol dan berbagi perasaan mereka.
Di antara 6 persen itu, sebanyak 58 persen dari mereka ternyata mempertimbangkan AI sebagai pengganti psikolog. Alasan utamanya yakni karena pergi ke psikolog mahal, sedangkan menggunakan AI gratis (39 persen). Menyusul alasan lain yang menyebut bahwa AI bisa lebih baik dalam menyimpan rahasisa dibanding manusia (termasuk psikolog).
Ada juga responden yang beranggapan bahwa AI cenderung bisa mengatasi masalah, sedangkan psikolog cenderung membantu pemulihan kesehatan mental. Sisanya menganggap AI lebih bisa netral dan memahami permasalahan, sementara psikolog dianggap agak menghakimi.
Menanggapi fenomena ini, peneliti psikologi sosial, Wawan Kurniawan, menilai di tengah masyarakat yang takut akan stigma dan biaya tinggi, AI menawarkan ruang yang aman, anonim, dan bebas nilai untuk berbagi perasaan.
Namun, Wawan menilai AI tetap memiliki keterbatasan. Ia bisa mendengar, merespon dengan empati buatan, tapi tidak bisa menggantikan diagnosis klinis atau intervensi psikologis berbasis bukti.
Wawan menambahkan AI mungkin bisa menjadi alat bantu awal dalam mengenali gejala, membantu refleksi diri, atau memberikan pertolongan pertama emosional. Namun, hal yang perlu dicatat adalah kita perlu mendorong agar AI hanya sebagai jembatan, bukan pengganti, untuk layanan psikologi profesional.
“Perlu ada kebijakan khusus agar informasi dan layanan yang terjangkau untuk psikolog/psikiater bisa diakses lebih banyak kalangan,” ujarnya menambahkan
Solusi untuk Pemerintah: Digitalisasi Akses Layanan Kesehatan Mental
Anrilia dari HIMPSI menyebut akses terhadap layanan kesehatan mental dan keterbatasan jumlah dan pemerataan tenaga profesional seperti psikolog memang masih menjadi kendala utama dalam penanganan isu kesehatan mental di Indonesia.
“Di HIMPSI, kami meyakini bahwa kombinasi antara membentuk jejaring yang kuat dengan mitra-mitra (instansi pemerintah, swasta, NGO, dll) dan pemanfaatan teknologi terkini merupakan hal yang penting untuk meningkatkan akses layanan kesehatan mental untuk masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Anrilia bersama HIMPSI mengaku telah gencar melakukan berbagai upaya kolaboratif untuk melakukan kerjasama pelayanan psikologis di tingkat preventif-promotif maupun kuratif, termasuk dengan memanfaatkan teknologi dalam bentuk telepsikologi. Menurutnya, strategi ini cukup berhasil.
“Berhasil menjangkau masyarakat secara lebih luas (dalam hal letak geografis, tingkatan usia, dll) dari yang sebelumnya kami layani,” ujarnya.
Senada, Fitriani dari Unpad menilai digitalisasi di area layanan psikologi melalui platform layanan telekonseling dapat membantu menjawab permasalahan jumlah dan pemerataan psikolog di Indonesia.
“Walaupun banyak keterbatasan karena kalau kita bicara daerah barangkali teknologi juga bukan sesuatu yang belum mudah gitu ya. Tapi akses dengan bantuan teknologi ini cukup menjawab kebutuhan layanan psikologi di masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Ia menambahkan, berdasarkan studi dan penelitian, tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan antara bertemu psikolog secara tatap muka dan konseling atau layanan psikologi dengan telekonseling psikologi. Meskipun, ia menggarisbawahi, penelitian ini masih terbatas dalam kasus tertentu.
Sementara itu, Natasya dari TII menyebut kebijakan berbasis determinan sosial kesehatan dengan pendekatan interseksional sangat diperlukan dalam upaya peningkatan cakupan pelayanan kesehatan mental.
Menurutnya, hal ini penting karena pendekatan determinan sosial kesehatan tidak hanya berfokus pada pendekatan individu, tetapi menggunakan kacamata komunitas untuk mengatasi kompleksitas faktor rendahnya akses pelayanan kesehatan mental.
“Penelitian mengenai determinan akses layanan kesehatan mental secara lebih lanjut juga perlu digencarkan pemerintah melalui kolaborasi dengan aktor non pemerintah agar kebijakan yang dirilis dapat mengatasi permasalahan di lapangan,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia juga mengusulkan dalam penyusunan kebijakan, pemerintah harus melibatkan kelompok rentan agar rancangan kebijakan yang disusun mewakili kebutuhan mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental.
Selain itu, para profesional kesehatan juga penting untuk dibekali kapasitas yang memadai, terkait cara mendengarkan cerita penderita dan bagaimana mereka mampu memahami faktor sosial, ekonomi, dan politik, yang sebenarnya turut memengaruhi kondisi kesehatan mental klien.
“Hal ini penting agar praktik stigma/judgment tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang pada akhirnya menurunkan kenyamanan dan motivasi para penyintas untuk datang ke profesional.,” tutup Natasya.
Pemerintah, melalui Kemenkes, saat ini mengaku terus berupaya menggencarkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan mental. Di antaranya dengan terus mendorong pemerataan jumlah tenaga kesehatan, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan ketersediaan obat jiwa.
Selain itu melalui kehadiran Permenkes No. 19 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pusat Kesehatan Masyarakat diharapkan juga akan meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan tenaga kesehatan profesional khususnya di tingkat puskesmas.
“Terdapat 1 jenis SDM yang wajib ada di puskesmas yakni psikolog klinis, yang kedepannya diharapkan dapat tersedia dan dapat membantu layanan kesehatan jiwa di 10.212 puskesmas di Indonesia,” ujar dr. Imran, selaku Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kemenkes.
Selain itu, Kemenkes saat ini juga tengah menyusun regulasi mengenai upaya kesehatan jiwa, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.
“Sehingga Kemenkes melalui Direktorat Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan telah menyusun framework upaya kesehatan jiwa untuk seluruh siklus kehidupan dalam upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif,” ungkapnya.
Editor: Farida Susanty