tirto.id - Banyak orang yang mengartikan kematian sebagai sebuah peristiwa, namun kenyataannya tidak demikian.
Direktur penelitian perawatan kritis dan resusitasi dari Sekolah Kedokteran NYU Langone Sam Parnia mengatakan, kematian bukanlah momen melainkan sebuah proses.
“Hasil akhirnya adalah kita akan mengalami kekurangan oksigen di dalam otak yang menyebabkan sirkuit otak kita mati dan kita menjadi tidak sadar menuju ke luar dunia,” kata Parnia seperti dilansir dari BBC.
Menurut kepercayaan religius, kematian sendiri diartikan sebagai peralihan manusia menuju ke dunia lainnya. Sementara secara fisik, kematian merupakan ketidakmampuan tubuh dalam memfungsikan seluruh kegiatannya.
Ada dua tipe kematian, yakni kematian jantung dan otak. Ketika seseorang meninggal, dokter biasanya akan memeriksa kapan jantung berhenti berdetak atau yakni kapan otak kehilangan ektivitas elektriknya.
“Ketika jantung berhenti berdetak, seluruh proses kehidupan berhenti karena tidak ada darah yang mengalir ke otak, ke ginjal, dan ke hati. Kita menjadi tidak bernyawa dan tidak bergerak, dan pada saat itulah dokter akan memberi kita waktu kematian” ujar Parnia.
Setelah kematian, tubuh secara fisik akan mengalami beberapa fase penguraian atau yang biasa disebut sebagai proses dekomposisi. Proses ini adalah fenomena saling terpisahnya komponen-komponen kompleks di dalam tubuh yang menjadi elemen sederhana.
Dilansir dari Medical News Today, ada beberapa tahapan yang akan dilalui tubuh manusia dalam proses dekomposisi.
Fase pertama adalah ligor, rigor, dan algor mortis. Fase ini merupakan fase awal perubahan fisik yang terjadi sesaat setelah kematian.
Ligor mortis terjadi pada 9 hingga 12 jam setelah kematian, yakni di mana tubuh menjadi pucat karena aliran darah di dalam tubuh berhenti.
Lalu tubuh akan mengalami rigor mortis, yakni tubuh menjadi kaku karena otot-otot menegang yang disebabkan oleh perubahan sel. Rigor mortis terjadi pada 2 hingga 6 jam setelah kematian dan dapat bertahan selama 24 sampai 84 jam.
Sementara algor mortis akan terjadi pada 18 hingga 20 jam setelah kematian, yakni penurunan temperatur tubuh. Pada algor mortis, tanda-tanda dekomposisi akan mulai terlihat dengan adanya bercak kehijauan di kulit dan juga bau busuk yang menyengat.
Fase kedua adalah kemunculan tanda-tanda dekomposisi. Tahap awalnya adalah pengelupasan kulit dari tubuh. Hal ini karena sel-sel kulit sudah mati dan seluruh lapisan pelindung luar akan mengelupas secara alami.
Terdengar mengerikan memang, namun proses ini merupakan tahap penting di mana dekomposisi dapat dengan sempurna dilakukan. Pada fase yang sama, bakteri-bakteri yang ada di bagian abdomen akan berpindah ke aliran darah yang menyebabkan adanya bercak ungu kehijauan di kulit. Peristiwa ini disebut dengan marbeling.
Sementara untuk bagian mata, kornea akan mengering dan berubah dari warna merah ke hitam.
Fase ketiga adalah dekomposisi yang dilakukan oleh organisme lain. Dalam fase ini tubuh akan mengeluarkan bau yang menarik beberapa serangga untuk singgah. Tubuh manusia akan menjadi tempat yang sempurna untuk lalat menelurkan larvanya.
Larva lalu mulai menggerogoti bagian-bagian tubuh, khususnya yang memiliki luka terbuka. Selain larva lalat, lalat danging juga akan membantu proses dekomposisi tubuh.
Fase terakhir adalah tersisanya bagian tubuh seperti tulang dan sebagian rambut. Pada saat seluruh kulit terkelupas dan bagian-bagian organ terurai, bagian tubuh yang mungkin tersisa adalah tulang dan sedikit rambut.
Namun, dalam proses dekomposisi yang terjadi dalam suhu rendah yang ekstrim, kemungkinan akan lebih banyak bagian tubuh yang tersisa karena secara tidak langsung tubuh termumifikasi.
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Dhita Koesno