tirto.id - Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) telah mengusulkan ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) agar 19 gerbang tol di Jakarta ditutup untuk mengatasi kepadatan arus lalu lintas selama pelaksanaan Asian Games 2018. Kebijakan ini seharusnya tak diputuskan BPJT dan Kementerian PUPR secara sepihak.
Kepala BPTJ Bambang Prihartono mengatakan usulan penutupan 19 gerbang tol sudah diujicobakan. “Kami telah mengerjakan uji coba sesuai pengaturan yang kami usulkan,” kata Bambang kepada Tirto, Rabu (25/7/2018).
Bambang mengatakan usulan tersebut tinggal menunggu persetujuan dari Kementerian PUPR. Ia mengklaim, tak ada kendala dalam proses uji coba ini karena tujuan dari penutupan untuk mempercepat mobilitas atlet yang berlaga di Asian Games 2018 dari wisma atlet menuju lokasi pertandingan.
“Ini kan bukan bicara mengenai kemacetan, melainkan bagaimana caranya agar mempercepat atlet untuk bisa sampai ke venue dalam 30 menit,” ungkap Bambang.
Sikap BPTJ ini memunculkan pertanyaan bagaimana dengan nasib kepentingan publik, dan alternatif lain bila banyak pintu tol yang ditutup?
Kebijakan yang Dilematis
Rencana BPJT menutup 19 gerbang tol untuk mempercepat mobilitas dianggap pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno sebagai kebijakan yang tepat. Namun, Djoko mengatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga harus lebih proaktif dalam menambah jumlah dan kapasitas angkutan publik selama Asian Games berlangsung. Ia menyadari kebijakan penutupan 19 GT ini merupakan kebijakan yang dilematis.
Para atlet sebagai tamu perlu standar tertentu dalam menjamin transportasi agar mereka terlayani dengan baik dan tidak ada komplain. Di sisi lain masyarakat belum juga diakomodasi dengan angkutan publik yang memadai.
“Mestinya saat BPTJ mulai mengeluarkan kebijakan semacam ini, pemerintah provinsi [DKI] harusnya menggencarkan rute-rute angkutan umum. Namun nyatanya itu tidak ada, stagnan,” ucap Djoko.
Kondisi seperti ini menjadi masalah lantaran keberadaan infrastruktur transportasi baru seperti LRT, MRT, maupun Ok OTrip tak akan efektif membuat masyarakat berbondong-bondong pindah menggunakan transportasi umum. Bila masalah fundamental transportasi untuk masyarakat pengguna kendaraan pribadi atau kendaraan umum masih jadi masalah saat Asian Games, bagaimana dengan angkutan logistik?
Chief Executive Officer (CEO) JNE Muhammad Feriadi mengaku perusahaannya tidak terlalu terganggu dengan penutupan sejumlah gerbang tol. Feriadi menuturkan, JNE telah memiliki kantor cabang yang tersebar di berbagai wilayah di DKI Jakarta dengan mobilitas kurir dan jumlah armada yang tidak sedikit.
“Selain itu, kami juga dapat mengalihkan kendaraan roda empat menjadi ke roda dua sebagai solusi tambahan. Kami akan memaksimalkan kantor kami yang tersebar di berbagai wilayah, di samping memang tidak begitu banyak bersinggungan dengan penggunaan jalan tol,” jelas Feriadi kepada Tirto.
Kendati demikian, pria yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo) itu mengatakan pemerintah semestinya membangun komunikasi lebih intensif dengan para stakeholders. Ia meminta pemerintah menggelar rembuk bersama dan menyiapkan waktu sosialisasi yang lebih panjang sebelum meluncurkan kebijakan baru seperti penutupan 19 gerbang tol di Jabodetabek.
Permintaan Feriadi bukan tanpa alasan. Selama ini, pengusaha ekspedisi kerap limbung memutar otak supaya mereka bisa sejalan dengan kebijakan terkait dengan lalu lintas dan angkutan jalan. Ini seperti saat diberlakukannya perluasan ganjil genap di DKI Jakarta.
Kebijakan-kebijakan yang diambil tanpa melibatkan pengusaha ini, kata Feriadi, mengancam keberlangsungan perusahaan ekspedisi yang belum besar. Ia mengimbau pemerintah lebih proaktif melibatkan perusahaan jasa pengiriman untuk bersama-sama mencari solusi yang terbaik.
“Jangan lupa juga bahwa ada pengguna jalan yang memerlukan kecepatan dan ketepatan waktu. [Perusahaan] Jasa pengiriman salah satunya,” kata Feriadi.
Sementara itu, anggota Komisi V DPR RI Bambang Haryo Sukartono menilai berbagai bentuk rekayasa lalu lintas hanya memindahkan kemacetan dari jalan tol ke jalur-jalur arteri. Masalah ini disebabkan proyek MRT dan LRT yang tak kunjung selesai pengerjaannya.
Anggota Fraksi Gerindra ini khawatir apabila kemacetan parah malah menyebar ke berbagai titik dan menjadi tontonan memalukan bagi warga asing yang datang untuk menghadiri Asian Games 2018.
“Saya pikir ini kesalahan mutlak pemerintah yang tidak bisa mengejar target [penyelesaian] dari proyek-proyek [MRT/LRT]. Ini dosa yang dilakukan pemerintah seharusnya, namun dari BPTJ yang harus bertanggung jawab,” ungkap Bambang Haryo.
Guna mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan, Bambang Haryo mengimbau agar pemerintah bisa menyelesaikan pengerjaan MRT dan LRT sampai sebelum perhelatan dimulai pada 18 Agustus 2018.
“Ini yang harus dikejar. Saya kira cukup untuk mengejar pembangunan karena untuk infrastruktur dan sarana prasarananya sudah siap,” kata Bambang Haryo.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Mufti Sholih