tirto.id - Anies Baswedan pada masa-masa kampanye Pilkada DKI Jakarta sempat berserapah tidak melanjutkan prakarsa Pemprov DKI Jakarta di proyek 6 ruas tol dalam kota. Ide proyek enam tol dalam kota Jakarta yang lahir pada masa pendahulunya Sutiyoso di 2005 dan dilanjutkan oleh Fauzi Bowo, disiapkan untuk memecah kebuntuan persoalan kemacetan Jakarta.
“Mempercepat pembangunan tol lingkar luar dan tidak membangun enam ruas tol dalam kota yang akan menambah macet di Jakarta,” tulis Anies Baswedan lewat akun Twitter pada Jumat 25 November 2016.
Setelah Anies menjadi gubernur DKI Jakarta, pembangunan enam ruas tol dalam kota Jakarta tetaplah berlanjut. Proyek tol sepanjang 69,6 km ini masuk dalam salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang pelaksanaannya akan dipercepat pemerintah pusat. Percepatan PSN tersebut tertuang di dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 58/2017 (PDF). Anies mengaku bahwa proyek 6 tol dalam kota sudah diambil alih pemerintah pusat, yakni dua bulan setelah pelaksanaan Pilkada DKI 2017. Fakta ini menjadi alibi Anies soal janji meleset yang pernah terucap dari bibirnya hampir dua tahun lalu.
“Perubahan Perpres ini yang menurut saya penting. Jadi jangan sampai dikira kami [Pemprov DKI di era Anies] yang meneruskan. Ini adalah keputusan yang diambil pemerintah pusat,” jelas Anies dikutip dari Antara.
Pembangunan enam ruas tol dalam kota di DKI Jakarta sudah lama menjadi polemik. Ada yang pro, ada juga yang kontra pasca kemunculan gagasan proyek ini. PolMark Indonesia, pada 2013 pernah menerbitkan hasil survei opini publik terkait kemacetan di Jakarta.
Dari 1.200 responden, sekitar 36 persen menilai penambahan ruas jalan baru adalah cara yang paling efektif mengatasi kemacetan. Sekitar 35 persen responden memilih solusi dari sisi kebijakan sebagai cara paling efektif. Sisanya, sekitar 27 persen memilih peningkatan angkutan massal sebagai cara yang paling efektif mengatasi kemacetan di Jakarta.
Survei itu juga mengungkapkan sekitar 76 persen dari 1.200 responden setuju ruas jalan di Jakarta ditambah melalui enam ruas tol dalam kota baru. Sedangkan yang tidak setuju sekitar tujuh persen, belum memutuskan sembilan persen, dan yang tidak tahu sebanyak tujuh persen.
Begitu juga dari sisi kepentingan, mayoritas responden atau 74 persen menilai pembangunan enam tol dalam kota cukup penting. Sedangkan yang menilai tidak penting sekitar 9,8 persen dan tidak tahu sembilan persen. Namun, ada juga yang berpendapat pengembangan angkutan massal juga penting dilakukan. MRT misalnya, mayoritas responden yang tahu istilah MRT atau sekitar 82 persen memilih penting untuk dikerjakan.
Meski Anies nampak tidak terima proyek enam tol dalam kota di Jakarta berlanjut, peran Pemprov DKI Jakarta masih ada, yakni melalui kepemilikan saham di PT Jakarta Tollroad Development, selaku pemenang tender proyek 6 tol dalam kota. PT Jakarta Tollroad Development (PT JTD) adalah perusahaan konsorsium yang sahamnya dimiliki sejumlah BUMN dan BUMD, antara lain seperti PT Jaya Real Property Tbk (JRPT) dengan kepemilikan saham 28,85 persen. PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA) sebanyak 25,15 persen, PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama Tbk (JKON) 20,5 persen, PT Pembangunan Jaya 18,27 persen, dan PT Jakarta Propertindo 3,18 persen, dan 4,05 persen dimiliki beberapa investor strategis.
Saat ini, proyek enam tol dalam kota masih dalam pengerjaan tahap I yaitu ruas Semanan (Jakbar)—Sunter—Pulo Gebang (Jaktim) sepanjang 30 km. “Untuk pekerjaan di baratnya, saat ini sedang dalam persiapan konstruksi. Pembebasan lahan juga terus kita kerjakan. Untuk seksi a [Kelapa Gading-Pulo Gebang] itu lahannya sudah 90 persen,” kata Frans S. Sunito, Direktur Utama PT JTD kepada Tirto.
Terkait spesifikasi jalan tol, proyek enam tol melayang tersebut masih sama dengan kontrak awal, di antaranya bakal dilengkapi halte bus. Kemudian, jarak antara on/off ramp atau pintu keluar/masuk rata-rata 8 km, dan tinggi jalan tol sekitar 11,5 meter.
Terkait rencana tarif tol enam ruas tol dalam kota, Frans mengusulkan dipatok Rp1.800 per km dari rata-rata panjang perjalanan (average trip length/ATL). Tarif tol itu masih tergantung dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PU dan Perumahan Rakyat.
Namun, di luar polemik ihwal progres proyek dan tarif yang akan berlaku pada proyek ini, pertanyaan mendasar kembali mengemuka soal seberapa efektif tol ini menjadi bagian dari solusi kemacetan Jakarta. Mari kita hitung kontribusi tol ini bila sudah terbangun dalam menambah panjang jalan di DKI Jakarta. Keenam ruas tol ini akan menambah panjang 69,77 km.
Angka itu hanya menambah sekitar 1 persen dari total panjang jalan nasional dan provinsi yang ada di Jakarta sepanjang 6.956 km. Begitu juga kontribusi pada penambahan penampang luas jalan tak signifikan. Enam ruas tol ini punya dimensi panjang 69.770 m dan lebar 25,8 m atau total luasnya sekitar 1,8 juta m2. Luas ini hanya setara menambah 3,7 persen dari total luas jalan di DKI Jakarta sebesar 48,5 juta m2.
Artinya bila enam ruas tol baru ini terealisasi bakal tidak signifikan meladeni lalu lintas kendaraan bermotor di ibu kota. Walaupun tak menampik, penambahan proyek jalan akan memberi bidang jalan baru. Namun, yang jadi masalah adalah bidang jalan baru bakal hanya bertahan sementara waktu dalam mengurangi kepadatan kendaraan.
Kenaikan jumlah volume kendaraan pribadi setiap tahun di DKI Jakarta sulit untuk direm. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta 2016 (PDF), rata-rata jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta naik 5,35 persen, di mana sepeda motor naik 5,30 persen, dan mobil pribadi tumbuh 6,48 persen.
Djoko Setijowarno, akademisi teknik sipil dari Unika Soegijapranata menilai penambahan ruas tol dalam kota di Jakarta tidak signifikan mengurangi kemacetan, justru menggairahkan masyarakat memakai kendaraan pribadi. “Kalau tujuannya agar lalu lintas kendaraan pribadi lancar, maka tol baru pasti akan disambut antusias. Tapi kalau untuk mengalihkan orang menggunakan transportasi umum, tol baru ini tidaklah efektif,” katanya kepada Tirto.
Ia berpendapat pemerintah kota-kota besar seharusnya mendorong masyarakatnya untuk menggunakan angkutan umum, dan sedapat mungkin menahan masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi, terutama pada jam-jam tertentu.
Kota Beijing Saja Macet Parah
Sulitnya mengurai kemacetan disebabkan pemerintah belum memiliki rencana induk yang matang. Alhasil, kebijakan yang diambil, baik dari pembangunan infrastruktur jalan, transportasi massal dan lainnya terkesan hanya tambal sulam. “Karena sudah telanjur, maka menurut saya adalah dengan menggenjot transportasi umum. Sulit kalau mau seperti Beijing yang jalannya sampai melingkar-lingkar. Perencanaan mereka itu lama dan matang,” jelas Djoko.
Beijing adalah salah satu kota yang memiliki jejaring lingkar tol terpanjang di dunia. Lingkar tol (ring road) pertama di Beijing dibangun pada 1912 dan selesai pada 1949 dengan panjang 33 km. Berselang lebih dari setengah abad, jaringan lingkar tol Beijing kini sudah berlapis hingga 7 lingkar. Pengerjaan lingkar tol ketujuh sendiri, baru selesai pada Juni 2018. Adapun, panjang lingkar tol ketujuh itu sekitar 1.000 km.
Dari sisi transportasi massal, Beijing juga patut diacungi jempol. Mereka sudah mempunyai MRT berbasis rel. Saat ini, jaringan kereta api bawah tanah Beijing memiliki 22 jalur dengan total 370 stasiun. Setiap harinya, MRT mengangkut rata-rata 9,9 juta penumpang.
Meski punya jalan tol yang panjang dan transportasi massal yang bagus, Beijing masih didera persoalan kemacetan. Beijing menempati peringkat ke-10 sebagai kota paling macet di dunia, versi TomTom Traffic Index 2017.
Seperti Jakarta, persoalan kemacetan di Beijing salah satunya juga disebabkan meningkatnya jumlah kendaraan pribadi. Populasi kendaraan di Beijing saat ini sudah mencapai 300 juta kendaraan per Maret 2017, lebih banyak dari populasi penduduk Indonesia.
Meski banyak kalangan meragukan efektivitas jalan tol dalam mengurangi kemacetan, Frans menilai penambahan jalan di Jakarta masih perlu ditambah. Bagaimanapun, tidak semua bisa dilayani oleh transportasi umum. “Nanti untuk angkutan logistik bagaimana? Saya pikir berjalan beriringan lah. Transportasi umum terus dikembangkan, dan infrastruktur jalan juga tetap ditingkatkan,” tutur pria yang pernah menjabat sebagai direktur utama PT Jasa Marga ini.
Mengurai kemacetan di DKI Jakarta memang tidak mudah. Solusi dengan menambah jalan tol saja tentunya tidak cukup. Kehadiran Transportasi massal dan kebijakan pengendalian kendaraan pribadi juga mutlak dibutuhkan.
Masuknya enam ruas tol dalam kota Jakarta ke dalam proyek strategis nasional memang penuh pro dan kontra, dan ironi dari gagasan awal tujuan proyek strategis nasional untuk meningkatkan "pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat".
Pertanyaannya masyarakat yang mana? Konstruksi proyek tentu menciptakan lapangan pekerjaan, tapi pada akhirnya yang menikmati adalah masyarakat dengan kepemilikan kendaraan pribadi, meski konsep tol dijanjikan akan sinergi dengan TransJakarta.
Ironi lainnya adalah soal sikap pemimpin di DKI Jakarta yang kembali menjilat ludah sendiri. Selain Anies, Jokowi saat awal-awal menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta menegaskan tak pro dengan proyek enam ruas tol dalam kota Jakarta.
Editor: Suhendra