tirto.id - Asosiasi sopir ojek online yang tergabung dalam Gerakan Aksi Roda Dua (Garda) bersikeras untuk melakukan demo di Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta dan Gelora Jaka Baring Sport City, Palembang pada 18 Agustus 2018, saat Asian Games berlangsung.
Tuntutannya adalah meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk kenaikan tarif ojek online yang dibuat oleh aplikator penyedia jasa transportasi berbasis digital, yaitu Grab dan Gojek. Tarif yang dituntut Rp3-4 ribu per kilometer (km).
Anggota Presidium Gerakan Aksi Roda Dua (Garda), Igun Wicaksono mengatakan itu adalah harga wajar yang ditetapkan aplikator sebelumnya. Saat ini tarif ojek online dipatok oleh pihak aplikator sekitar Rp1.200 hingga Rp1.600 per kilometer.
Anggota Komisi V DPR dari fraksi Demokrat, Jhonny Allen Marbun mengatakan bahwa kenaikan tarif ojek online seperti yang dituntut Garda menurutnya tidak perlu. Tarif saat ini sudah cukup menguntungkan bagi para driver.
Apalagi di saat Asian Games dengan potensi permintaan yang semakin tinggi, dikatakan Marbun, itu dapat semakin menguntungkan bagi mereka.
"Permintaan tinggi. Harusnya bersyukur dong," ujar Marbun di Kompleks DPR RI Jakarta pada Selasa (24/7/2018).
Ia berharap Garda mengurungkan niatnya untuk berdemo dan melihat peluang usaha saat Asian Games berlangsung. Selain itu, adalah untuk ikut serta menyukseskan Indonesia sebagai tuan rumah dalam menyelenggarakan acara bertaraf internasional dengan tertib adan aman.
"Demo adalah hak, tetapi gunakanlah itu pada hal yang tepat. Apalagi kita didatangi oleh para atlet dari berbagai negara asing. Kita tunjukkan bahwa kita adalah negara yg bersahaja menyambut tamu kita. Demo tidak dilarang, tetapi gunakanlah pada hal tepat," ungkapnya.
Kemudian, ia mengatakan pemerintah harus mampu memberikan penjelasan dan mengambil jalan tengah segera.
"Saya kira pemerintah akan bijak melihat itu. Loh pengusaha diuntungkan kok dengan itu (Asian Games). Kan aktivitas bertambah. Bukan saya tidak setuju atau setuju, tapi letakkan demo ini," ujarnya.
Hal senada diutarakan anggota Komisi V dari Fraksi Gerindra, Ade Rizky. Ade berharap demo driver ojek online jangan sampai terjadi saat perhelatan akbar berkelas internasional seperti Asian Games berlangsung, yang mana Indonesia sebagai tuan rumahnya.
"Kami berharap itu tidak terjadi. Dan pemerintah kami harap bisa mengambil tindakan tegas untuk dapat memberikan ruang dan mewadahi masukan dari komunitas dan mitra aplikator ojek online itu," kata Ade.
Menurutnya, jika demo tetap terjadi, selain pemerintah, aplikator juga wajib bertanggung jawab. Aplikator tidak bisa seenaknya lepas tangan.
"Seolah aplikator hanya menjadikan pengemudi ojek online 'alat peningkatan nilai valuasi' mereka. Aplikator sendiri lepas tangan. Kami melihat ini suatu yang tidak fair jika disebut kemitraan," ujarnya.
Di lain sisi, pemerintah ragu-ragu dalam mengambil keputusan karena berbenturan dengan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang tidak mengatur perihal motor sebagai angkutan umum.
"Kalau memang itu [aturan ojek online] perlu dilakukan, bisa mengubah UU terkait," katanya.
Seluruh kegiatan niaga di dalam negeri harus ada aturannya, dan semua pihak terkait, menurut dia, wajib berperan agar tercipta keadilan berusaha.
"Jangan sampai aplikator mementingkan sektor bisnis saja. Ketika valuasi bisnis beranjak naik baik itu injeksi dari asing masuk, sehingga mitra terabaikan," ujarnya.
Menurutnya, aksi demo ini bukan hal yang tidak bisa diantisipasi. Sebab, persoalan ojek online sudah muncul jauh-jauh hari.
"Bukan suatu hal baru. Ini sudah bertahap dari sebelumnya. Ini puncak. Akumulasi dari kekecewaan mereka [ojek online] pada waktu lalu," katanya.
Namun, menurutnya, dari pihak aplikator tidak terlalu menggubris. Beberapa bulan lalu, kata dia, Komisi V DPR RI sudah berupaya mengakomodir tuntutan dari para driver ojek online dengan mengundang serta pihak aplikator.
Sayangnya, dari pihak aplikator yang hadir mewakili di luar ekspektasi. "Kami sayangkan, undangan tidak dipenuhi secara ekspektasi kami. Yang diutus dari aplikator bukan dari bagian pengambil keputusan," ujarnya.
Sementara itu, dalam pertemuan tersebut para driver telah menyampaikan beberapa hal tuntutan. Pertama, mereka ingin diakui secara legal keberadaannya sebagai transportasi publik. Kedua, terkait tarif. Mereka berharap ada kenaikan tarif yang bisa memberikan harapan untuk meningkatkan pendapatan mereka.
"Bahwa ini kembali ke regulator, Kementerian Perhubungan untuk bersama duduk dengan mereka," ucapnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri