tirto.id - Calon Gubernur Sumatra Utara, Bobby Nasution, menyindir calon petahana Edy Rahmayadi di Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2024. Di depan masing-masing pendukungnya, menantu Presiden Jokowi itu mengkritik pembangunan jalan yang dibangun era Edy.
Edy merupakan mantan Gubernur Sumatra Utara periode 2018-2023. Edy kembali ikut kontestasi berpasangan dengan Hasan Basri Sagala. Pasangan ini didukung oleh PDIP, Partai Gelora, Partai Hanura, Partai Ummat dan Partai Kebangkitan Nusantara (PKN).
Sindiran itu dilontarkan Bobby usai rapat pleno nomor urut pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sumut. Bobby Nasution-Surya yang diusung oleh Partai Gerindra, Golkar, Nasdem, PKS, PKB, Demokrat, PAN, PPP, Perindo dan PSI mendapatkan nomor urut satu. Sementara Edy Rahmayadi-Hasan Basri Sagala mendapatkan nomor urut dua.
Bobby menyebut pembangunan infrastruktur di Sumut tidak merata. Padahal, Pemerintah Provinsi Sumut sudah menganggarkan proyek untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp2,7 triliun. Dia lantas membandingkan kondisi jalan di Sumut dengan provinsi tetangga seperti Aceh dan Sumatra Barat.
"Kita sering dengar cerita, cerita klasik sekali kalau kita jalan-jalan. Dari Aceh jalan-jalan dari Sumatra Barat dan kalau kita naik mobil kalau disupiri, tidak usah begitu tahu tujuannya ke Sumut. Tahu kita sampainya? Kapan sampainya? Pas kepala kita kejedot di mobil, benjol kepala kita. Karena infrastruktur di Sumut mungkin belum merata," ujar Bobby dalam rapat pleno nomor urut di Hotel Grand Mercure, Medan, Senin (23/9/2024) malam.
Berkaitan dengan nomor urut, Bobby mengaku bersyukur mendapatkan nomor satu. Dia lantas kembali menyindir dengan mengatakan, nomor dua identik dengan proyek Rp2,7 triliun yang dijalankan di pemerintahan Edy Rahmayadi.
"Saya kalau ngomongin nomor urut saya sangat setuju kita dapat nomor urut satu Pak Surya. Dan Pak Edy, Pak Hasan nomor urut 2. Karena kita ingat Rp2,7 triliun. Infrastruktur memang perlu pembiayaan, tapi Rp2,7 triliun untuk jalan harusnya kalau bisa selesai proyek itu mungkin agak sedikit enak, tapi tidak selesai juga jalan di Sumut," jelas dia.
Tak hanya soal infrastruktur jalan, Bobby juga menyentil Edy terkait dengan masalah kesehatan. Menurut Bobby, ada satu kondisi seseorang atau masyarakat membutuhkan seorang pemimpin saat mereka sakit. Sebab, pemimpin seharusnya bisa mastikan mereka untuk berobat dan datang hanya cukup menggunakan KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka.
"Tapi kita tahu, dari 38 provinsi di Indonesia, Sumut salah satunya masyarakat belum bisa berobat pakai KTP. Kalau di Medan sudah bisa ya di Medan," ujar Bobby dikuti sorak para pendukungnya.
Menjawab sindiran Bobby, Edy mengatakan keikutsertaan dirinya dalam kontestasi justru untuk menyelesaikan atau menyempurnakan kembali pekerjaan yang sebelumnya sudah berjalan.
"Tadi disinggung ada jalan belum selesai. Justru belum selesai itu kami akan kembali menjadi gubernur untuk menyelesaikan. Ini yang saya sampaikan, yang belum punya rencana tunggu dulu, berikutnya baru bisa," ujar Edy disambut riuh oleh pendukungnya.
Lebih lanjut, Edy menuturkan bahwa jalan yang rusak berada di perbatasan Sumut statusnya adalah jalan nasional. Artinya, jalan tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah pusat yang dipimpin mertua Bobby Nasution yakni Presiden Jokowi.
"Masalah infrastruktur yang disebut Bobby, itu di perbatasan, jalan nasional. Jalan yang belum diselesaikan Mulyono (nama kecil Presiden Jokowi). Ada jalan yang belum selesai, justru itu kami kembali menjadi gubernur untuk menyelesaikannya," tegas Mantan Pangkostrad itu.
Jika ditarik mundur, aksi saling sindir antara Bobby dan Edy sudah terjadi saat uji kelayakan kepatutan bakal calon Gubernur Sumut. Saat itu, Edy mengaku siap maju sekali pun lawannya adalah menantu dari Presiden Jokowi. Bahkan ia berseloroh siap juga melawan mantu malaikat.
Sementara Bobby merespons santai pernyataan Edy itu. Menurut Bobby, kontestasi politik bukan soal melawan personal, akan tetapi adu gagasan. Bobby kemudian menyerahkan kepada masyarakat untuk menilai saat ditanya soal kinerja Edy selama menjadi Gubernur Sumut.
Aksi saling sindir merupakan hal yang lazim dalam tiap kontestasi politik. Bahkan peristiwa tersebut terjadi pada tingkat nasional, ykani pemilihan presiden.
Menanti Politik Gagasan
Analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, mengatakan fenomena tersebut sebagai upaya meningkatkan persepsi diri dan mendegradasi persepsi lawan.
"Dari dua itu, yang lebih mudah adalah menurunkan persepsi lawan alias menyerangnya," ujar Musfi kepada Tirto, Rabu (25/9/2024).
Musfi mengamati dengan cermat gestur politik yang ditampilkan Bobby Nasution. Dari pengamatan tersebut, ia melihat menantu Presiden Jokowi itu cenderung mencuri start. Ia bilang kampanye perdana baru dimulai pada hari ini, Senin (25/9/2024), akan tetapi Bobby sudah melancarkan serangan duluan.
"Saya kira itu yang perlu disorot. Belum start kampanye tapi Bobby sudah nafsu untuk menyerang Edy," jelas dia.
Kondisi itu, kata Musfi, bisa ditafsirkan bahwa kontestasi bukan sekadar adu gagasan, tetapi nafsu untuk saling serang.
Terlepas dari itu semua, harapannya pilkada kali ini tidak lagi jadi ajang saling serang. Karena masyarakat butuh calon pemimpin untuk bertarung gagasan, siapa yang paling mampu memberi jawaban atas masalah masyarakat.
Karena pada praktiknya di lapangan, saling serang antar paslon justru kerap memicu konflik antar-masyarakat. Para pendukung di akar rumput terbawa emosi, saling debat, saling bantah, hingga terjadi kekerasan.
"Jadinya, bagaimana mungkin kita percaya para paslon ini ingin membawa ketenteraman jika perilaku politiknya menciptakan gesekan di tengah masyarakat. Itu perlu disadari bersama," kata dia.
Sementara itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, mengatakan saling sindir antara Bobby dan Edy terkait infrastruktur jalan mencerminkan masalah yang lebih luas dalam politik Indonesia. Di mana kampanye masih sering terjebak dalam retorika negatif ketimbang adu gagasan.
"Ini mengindikasikan bahwa kedewasaan politik belum sepenuhnya tercapai, dan calon pemimpin lebih fokus pada kritik antar-pribadi daripada menyampaikan visi, misi, atau program yang jelas," jelas dia kepada Tirto, Rabu.
Dampak dari politik saling serang adalah masyarakat menjadi pragmatis, karena mereka tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang kebijakan atau rencana konkret, melainkan disuguhi konflik personal yang tidak produktif.
Kebiasaan saling sindir ini, kata Annisa, juga memperburuk hubungan antara pemilih dan calon pemimpin. Ini karena pemilih tidak diarahkan untuk menilai kebijakan atau visi jangka panjang, tetapi justru terjebak dalam dinamika politik yang dangkal.
Akibatnya, masyarakat lebih memilih berdasarkan popularitas atau reaksi instan terhadap konflik, bukan dari evaluasi rasional terhadap program yang diusung.
"Fenomena ini bisa melemahkan proses demokrasi yang sehat, karena keputusan pemilih menjadi kurang didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang kebijakan atau rencana pembangunan jangka panjang," tutur Annisa.
Agar proses pemilu lebih konstruktif, masyarakat perlu dididik tentang pentingnya memilih berdasarkan informasi dan pemahaman yang mendalam tentang program dan solusi yang ditawarkan kandidat. Bukan justru pada serangan pribadi.
Para kandidat juga harus berkomitmen untuk menjalani kampanye dengan etika yang tinggi, menolak terlibat dalam serangan pribadi dan memfokuskan energi mereka untuk memberikan informasi yang substansial kepada pemilih.
"Dewasa ini, tantangan utama politik di Indonesia adalah mendorong wacana politik yang lebih berbasis gagasan, debat kebijakan, dan solusi konkret bagi masyarakat," ujarnya.
Analis politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, justru melihatnya saling sindir dalam pilkada bagian dari komunikasi politik. Jika bicara teori, para kandidat akan melakukan tiga fungsi komunikasi politik. Pertama adalah memuji diri sendiri, kedua menaikkan citra mereka lalu menyerang lawannya, ketiga bertahan ketika diserang.
"Ini yang terjadi kan Bobby yang menyerang Pak Edy. Lalu Pak Edy bertahan dengan cara menyerang balik atau counter attack. Jadi kalau menurut saya dalam komunikasi politik ini sesuatu yang wajar dilakukan," jelas Kunto kepada Tirto, Rabu (25/9/2024).
Bagian dari strategi ini, kata Kunto, bukan pertanda bahwa pemimpin kita belum dewasa. Namun ini semata-mata pertanda bahwa kita sedang berada di kontestasi elektoral yang biasanya diwarnai saling serang.
Bagi publik, kata Kunto, saling serang ini justru menguntungkan. Karena publik atau pemilih akan tahu akhirnya kelemahan dari masing-masing paslon yang bisa menguliti kandidat. Pada akhirnya publik bisa mempelajari agar dapat memberikan pilihan tepat.
"Kalau ini dianggap saling jatuhkan tidak juga. Karena menyerang dalam artian menyerang kebijakan bahkan menyerang karakter kepemimpinan masih oke selama kemudian menyerang tidak secara personal anak, lalu yang tidak ada hubungannya dengan pemerintahan," ucap dia.
"Memang adu gagasan bagus, tapi saling serang kebijakan bagus. Karena para kandidat saling menguji dan itu yang kita inginkan," tutupnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fahreza Rizky