tirto.id - Ketika jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan surat dakwaan yang berisi daftar pengeluaran terdakwa gratifikasi Gubernur Jambi nonaktif, Zumi Zola, ada satu item yang banyak membuat orang heran: action figures. Di senarai itu, Zumi disebut membeli action figure seharga Rp52 juta. Selain itu, Zumi kedapatan membeli sembilan action figure Marvel seharga 6.150 dolar Singapura.
Pengeluaran itu tampak mencolok sekaligus amat remeh di antara pengeluaran “politis” dan “agamis” Zumi. Untuk dua keperluan itu, Zumi mengeluarkan uang Rp600 juta yang dibagikan pada anggota DPRD Provinsi Jambi, Rp500 juta untuk acara Muspida, Rp300 juta untuk umrah, atau Rp250 juta jasa EO yang menyelenggarakan kegiatan buka bersama.
Namun action figures bukanlah barang remeh, meski banyak orang menyebutnya sebagai mainan. Action figure--sering diterjemahkan sebagai figur aksi--punya sejarah panjang, dan bisa menjelma sebagai barang berharga mahal.
Semua bermula pada 1940-an. Saat itu tiga bersaudara Hassenfeld, yakni Henry, Hilal, dan Herman melebarkan sayap bisnisnya. Semula, tiga orang Yahudi-Amerika ini berbisnis tekstil, kotak pensil, dan aneka peralatan sekolah lain. Namun pada 1942, mereka mulai membuat mainan dokter dan perawat.
Pada 1964, Stan Weston membuat purwarupa action figure pertama. Konsep itu kemudian dijual pada Donald Levine yang kala itu menjabat sebagai Wakil Presiden sekaligus Direktur Pemasaran dan Pengembangan Hasbro.
Purwarupa pertama ini disebut sebagai G.I. Joe, istilah slang untuk menyebut tentara Amerika Serikat. Saat itu ada empat tokoh G.I. Joe yang dibuat oleh Hasbro, semuanya mewakili kelompok militer di AS. Ada Rocky yang mewakili Angkatan Darat dan Marinir, Skip dari Angkatan Laut, dan Ace yang berasal dari Angkatan Udara. Hasbro merilis figur aksi empat karakter ini pada 1964.
Karakter ini laris keras. Bentuknya yang mendekati kenyataan dan punya 19 titik persendian yang bisa digerakkan, membuatnya figur aksi ini disukai. Namun, faktor yang membuatnya jadi paling laris adalah kemampuan Hasbro untuk membaca maskulinitas bocah lelaki.
Saat itu, bahkan mungkin hingga sekarang, bocah lelaki gengsi main boneka. Karena itu, Hasbro melarang G.I. Joe disebut sebagai boneka, melainkan harus disebut sebagai action figure. Sebutan itu kemudian melekat hingga sekarang. Selain soal sebutan, sosok tentara yang dipakai sebagai model figur aksi tentu tampak lebih macho ketimbang, katakanlah, Barbie.
Perkara macho dan maskulinitas ini, figur aksi pernah dikaji oleh empat peneliti dari Massachusetts dalam makalah berjudul "Evolving Ideals of Male Body Image as Seen Through Action Toys" (1998). Makalah ini berupaya mencari gambaran perubahan anggapan tubuh ideal lelaki di Amerika Serikat. Mereka mengambil sampel mainan paling populer dari 30 tahun terakhir. Mereka kemudian mengukur lingkar pinggang, dada, dan bisep, dan membandingkannya dengan ukuran tubuh pria nyata setinggi 1,7 meter.
"Hasilnya, kami menemukan bahwa figur aksi makin lama dibuat makin berotot, dengan figur kekinian yang punya otot bahkan melebihi bodybuilder terbesar saat ini," tulis mereka.
Hasil penelitian itu sekaligus menjawab kenapa Hasbro mengambil tentara--sosok profesi yang amat menggambarkan maskulinitas--sebagai karakter awal mereka, bukan presiden, atlet, atau bintang rock. Dua tahun dirilis, G.I. Joe berhasil mendatangkan penjualan senilai 40 juta dolar, sekitar 66 persen dari total penjualan Hasbro. Pada 11 Oktober 1966, Hasbro mematenkan G.I. Joe sebagai, “mainan atau boneka yang mempunyai sendi yang bisa bergerak, yang bisa memperagakan pergerakan anatomi manusia.” Paten bernomor 3.277.602 ini juga yang terakhir menyebut figur aksi G.I. Joe sebagai boneka.
Pada 2003 silam, rilisan pertama G.I. Joe terjual senilai 200 ribu dolar, atau sekitar Rp2,7 miliar. Pembelinya adalah seorang distributor komik, Stephen Geppi. John Petty, yang mengurus perkara lelang ini, menyebut purwarupa G.I. Joe ini sebagai, “figur aksi paling mahal yang pernah terjual.”
Pada 1980-an, makin banyak perusahaan yang merilis figur aksi. Mattel, perusahaan pembuat Barbie, membuat figur aksi Masters of the Universe. Diamond Select Toys merilis seri The Real Ghosbusters. Di era ini pula, mulai banyak kolektor bermunculan. Mereka biasanya mencari figur aksi dalam kondisi mint, bahkan mencari yang masih disegel dalam kotak. Fenomena ini yang kemudian melejitkan figur aksi sebagai barang yang bisa jadi investasi.
Pasar figur aksi makin ramai pada wangsa 1990 dan 2000-an. Ada perusahaan-perusahaan baru seperti McFarlane Toys, NECA, Hot Toys Limited, juga pemain lama seperti Bandai. Hot Toys Limited menjadi salah satu jujugan bagi para kolektor kelas kakap. Perusahaan asal Hong Kong ini awalnya memproduksi figur aksi skala 1:6. Kemudian mereka berkembang makin pesat, apalagi sejak 2003 mereka mendapat hak untuk memproduksi karakter-karakter terkenal, semisal Iron Man, The Avengers, Batman, hingga selebriti seperti Michael Jackson maupun Marlon Brando.
Hot Toys Limited kini dikenal sebagai perusahaan figur aksi yang memproduksi koleksi kualitas wahid--detailnya amat presisi-- dengan harga tinggi, antara 200 dolar hingga yang paling mahal: Batman yang mengenakan zirah dalam skala 1:1 setinggi 2,1 meter, yang dibanderol 8.000 dolar.
Apa yang dijual oleh Hot Toys ini lantas tidak hanya dilabeli sebagai figur aksi. Mereka punya sebutan lain: statue, alias patung. Kastanya lebih tinggi ketimbang figur aksi. Sama seperti istilah dalam dunia seni, patung di dunia figur aksi ini dibuat oleh tangan seniman. Ada beberapa unsur yang membedakan patung dengan figur aksi.
Dalam sebuah artikel di situs pecinta komik, Ed Campbell menuliskan perbedaan itu, antara lain, soal pembuatnya. Nama seniman pembuat patung aksi ini bisa menentukan harga jual patungnya. Semakin masyhur sang seniman, bisa semakin mahal pula harga patung aksinya. Di situs Hot Toys, setiap patung selalu diberi penjelasan siapa pembuatnya.
Selain itu, Campbell menyebut bahwa patung aksi ini dirilis dalam jumlah terbatas. Sebagai gambaran, figur aksi biasanya dirilis dalam jumlah puluhan ribu. Sedangkan patung aksi dibuat hanya “dalam jumlah yang amat sedikit. Dan setelah patung itu dirilis, cetakannya akan dihancurkan agar tak ada lagi bentuk serupa di masa depan.”
Salah satu perusahaan penjual patung aksi ini adalah XM Studios, tempat Zumi membeli koleksinya. Di situsnya, XM Studios menyebut diri mereka sebagai, “produser pemenang penghargaan yang membuat karya seni mewah buatan tangan.” Perhatikan bagaimana mereka tidak menyebut produknya sebagai figur aksi, melainkan karya seni mewah (luxury art collectibles). Di tangan mereka, patung aksi menjelma sebagai karya seni, sama seperti lukisan atau patung pahat.
Karena itu, wajar kalau harga yang dibanderol XM bisa bikin orang geleng-geleng, terutama mereka yang belum paham betapa mewahnya jagat koleksi karya seni ini --sesuatu yang kerap diremehkan dengan sebutan mainan, atau boneka.
Editor: Suhendra