tirto.id - Kekaisaran Persia yang berdiri sejak 550 SM harus menemui ajalnya pada 651 M. Dalam rentang waktu tersebut, setidaknya ada 4 periode kekaisaran yang mengisi peradaban bangsa Persia. Wilayahnya pernah terbentang sampai Balkan dan Eropa Timur, termasuk sampai wilayah timur di Lembah Indus. Total wilayah kekuasaannya mencapai sekitar 5,5 juta kilometer di masa Persia pertama, kekaisaran Akhemeniyah.
Di masa itu pula, khususnya saat kepemimpinan Raja Koresh Agung, ekspansi di wilayah Yunani menjadi sangat alot karena rakyat Yunani melawan kekaisaran Persia. Perang Yunani-Persia menjadi sajian yang tak terhindarkan dalam narasi hubungan keduanya di masa tersebut.
Zoroastrianisme sendiri telah menjadi agama monoteistik utama bangsa Persia yang mengiringi berdirinya kekaisaran Persia sejak awal. Sebagai agama yang muncul sebelum agama-agama samawi, pengaruh Zoroastrianisme di Persia sangat kuat, mengakar di segala lini kehidupan dan peradaban Persia.
Dalam rentang seribu tahun lebih berdirinya kekaisaran Persia dan Zoroastrianisme sebagai agama resmi, kemapanan ini mulai goyah manakala kekuatan Arab di bawah Kekhalifahan Rasyidin mulai menyerang teritori Persia di Irak. Adalah Khalid Bin Walid yang mulai menginvasi daerah Mesopotamia atas utusan perintah dari Abu Bakar Ash-Shiddiq yang kala itu menargetkan Kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Persia.
Meski belum menyerang langsung di jantung Persia, tapi wilayah Irak yang diserang pada tahun 633 M kala itu adalah bagian dari Kekaisaran Sasaniyah Persia, seperti ditulis Stephen Humphreys dalam bukunya berjudul Between Memory and Desire: The Middle East in a Troubled Age.
Khalid berangkat dari daerah Al-Yamama dengan 10.000 orang tentara. Lengkap dengan kepala suku yang masing-masing memiliki 2.000 prajurit yang bergabung dengan Khalid. Dengan modal total sekitar 18.000 prajurit, ia memimpin memasuki wilayah Kekaisaran Persia dan menyerang. Empat pertempuran berturut-turut yang dimenangkan Khalid sangat menentukan sepanjang tahun 633 tersebut. Kota Hira, Al Anbar Ein ul Tamr, dan sebagian besar wilayah Irak telah ada di bawah kendali Islam.
Sementara penggempuran yang dilawan Kekaisaran Sasaniyah Persia dengan bantuan dari berbagai pihak itu berlangsung, era Khalifah Umar meluncurkan invasi berskala penuh dan besar terhadap sisa-sisa Kekaisaran Sasaniyah pada tahun 642. Pertempuran Nihawand adalah salah satu pertempuran yang paling menentukan dalam sejarah penaklukan Persia, seperti dicatat Agha Ibrahim Akram dalam bukunya berjudul The Muslim Conquest of Persia.
Raja Yazdegerd III pun telah melarikan diri ke berbagai wilayah Persia dan mencari bantuan sejak kekalahan di Nihawand. Pasukan Islam terus merangsek hingga masuk ke jantung Persia yang kini adalah negara Iran. Berbagai kota ditaklukkan lewat pertempuran dengan para pasukan pimpinan perwira Kekaisaran Sasaniyah. Nasib warga Persia sendiri yang menginginkan perdamaian setuju dengan statusnya untuk membayar Jizyah.
Nasib Zoroastrianisme
Agama Zoroastrianisme tak luput mendapat perlakuan kekerasan dan penghancuran. Tempat ibadahnya menjadi bagian dari kehancuran peperangan dan diganti dengan masjid-masjid. Houtsma menulis dalam bukunya berjudul First Encyclopaedia of Islam 1913-1936, orang-orang Zoroastrian yang tinggal dalam pemerintahan Islam diharuskan membayar Jizyah. Banyak dari perpustakaan di Persia dibaka dan sebagian besar warisan budaya lenyap.
Banyak di antara bangsawan Persia dijadikan budak yang dijual di Arab. Ada protes dari tindakan penindasan dan penghancuran ini dari seorang budak mantan prajurit Persia bernama Piruz Nahavandi, yang juga dikenal karena membunuh Khalifah Umar. Eduljee dalam esainya yang dimuat di Heritage Institute menyebut ada sekitar 40.000 penduduk Persia dibantai selama invasi Arab di Estakhr, sebuah kota pusat keagamaan Zoroastrianisme.
Di masa Kekhalifahan Umayyah, penggunaan bahasa Persia dilarang dan diganti dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi Persia. Posisi non-muslim juga dikesampingkan dalam pemerintahan. Begitu pula ketika masa Kekhalifahan Abbasiyah. Penganiayaan terhadap orang-orang Zoroastrian makin meningkat secara signifikan.
Tempat ibadah mereka dimusnahkan, status mereka yang sebelumnya masuk golongan dzimmi dikurangi lagi statusnya menjadi kafir. Konsekuensinya, orang Zoroastrian tidak mendapat hak dan status yang sama dengan orang Yahudi dan Kristen. Bahkan dalam buku The Formation of Islam: Religion and Society in the Near karya Berkey disebutkan bahwa para Zoroastrian ditolak di permandian dengan alasan tubuh mereka dapat mencemari lingkungan. Konversi keluarga-keluarga Zoroastrian ke Islam menjadi hal yang sulit dihindari pada masa kekhalifahan ini.
Memasuki abad ke 10, beberapa kelompok keluarga Zoroastrian memilih bermigrasi keluar Iran karena tidak lagi merasa aman dan nyaman. Mereka menggunakan perahu-perahu menjadi pengungsi menyeberang ke wilayah India dan mendarat di Pulau Diu di pantai Gujarat pada tahun 936 M. Selama 20 tahun pertama hidup, mereka mengalami kesulitan hebat, belajar bahasa lokal dan memahami budaya yang ada di lingkungan Hindu.
Para Zoroastrian masih terus mengalami penganiayaan, pembunuhan dan ajakan berpindah keyakinan di masa dinasti Safawiyah, Qajar, bahkan ketika era modern seperti pasca-Revolusi Iran 1979. Menurut Fischer dalam bukunya Iran: From Religious Dispute to Revolution, Mehdi Bazargan, perdana menteri pertama Republik Iran mengganti foto Nabi Zarathustra di tempat ibadah Zoroastrian menjadi foto Khomeini.
Laporan dari CNNpernah menggambarkan bagaimana gangguan terhadap penganut Zoroastrian masih didapat. Ketika itu, saat prosesi pemakaman di kuburan pinggiran kota Teheran, Korps Garda Revolusi Islam masih saja tidak mau menghentikan latihan militernya yang menghancurkan ketenangan prosesi pemakaman dengan suara ledakan dan tembakan. Jalanan juga diblokir guna latihan tempur.
Sensus terakhir sebelum Revolusi Iran 1979 menunjukkan angka penganut Zoroastrianisme mencapai 21.400 orang. Menurut data sensus Iran 2011, jumlah orang Zoroastrian di negeri itu sebanyak 25.271.
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani