tirto.id - Caleg eks napi korupsi tetap diterima masyarakat, diperkirakan akibat dari citra religiusnya yang lebih menonjol.
Hal itu disampaikan Direktur Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya dalam diskusi bertajuk 'Kenali Rekam Jejak Calegmu' yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW) di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (24/2/2019).
Diskusi dalam rangka peluncuran situsweb rekamjejak.net menghadirkan Direktur Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya; Jubir KPK, Febri Diansyah; Inayah Wahid, pendiri Positive Movement; Almas Sjafrina, peneliti ICW.
Yunarto menjelaskan, penerimaan masyarakat itu jadi persoalan efektifitas pemberantasan korupsi, karena citra buruk sebagai eks koruptor tertutup citra religius atau keagamaan caleg.
"Ajaran nilai moral juga menjadi aspek paradoks dari [citra] caleg korupsi ini [di dalam masyarakat]," kata Yunarto dalam diskusi Indonesia Corruption Watch (ICW), di Jakarta Selatan, Minggu (24/2/2019).
Pandangan masyarakat secara umum itu, kata Yunarto, berdampak pada elektabilitas caleh. Meski eks napi korupsi asal dermawan, elektabilitasnya diprediksi tinggi. Hal ini karena menunjukkan tingkat religius caleg.
"Caleg dermawan tapi korupsi akan lebih dianggap religius," ujar Yunarto.
Citra religius caleg, kata dia tergambar dalam pemberitaan yang ramai terkait calon presiden yakni soal salat Jumat dan kemampuan membaca Alquran. Masing-masing capres dinilai masyarakat dari sisi religius.
"Akhirnya dibandingkan mana yang lebih baik mengaji atau salat Jumat," kata Yunarto.
Yunarto juga mengatakan, citra religius caleg terbatas pada tataran praktis, tidak sampai diterjemahkan ke dalam program kerja. Hal ini menguatkan dugaan, citra relegius hanya digunakan untuk meningkatkan elektabilitas.
"[Religiusitas caleg] tidak dalam konteks [akan] menerjemahkan aspek religius [ke] dalam program," ujar Yunarto.
Caleg eks napi korupsi juga jadi sorotan ICW yang merilis nama-namanya ke publik. Juga Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengumumkannya.
Jumlah caleg eks napi korupsi, menurut Yunarto Yunarto menunjukkan sistem penyaringan kader yang buruk pada sebuah partai.
"Mereka [partai] akan merekrut [caleg] yang penting bisa menaikan elektabilitas. Siapa yang kuat, surveinya tinggi, mereka akan pakai itu," ungkap dia.
Yunarto juga menilai partai yang malah mengakui kecolongan dengan keberadaan caleg eks napi korupsi, justru mengindikasikan sistem kaderisasi yang buruk.
"Kalau mereka jujur [soal kecolongan] ini mengindikasikan betapa buruknya sistem penyaringan mereka," imbuh dia.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Zakki Amali