tirto.id - Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) menyerahkan bukti tambahan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tahun 1965, berupa 346 lokasi kuburan massal ke Kejaksaan Agung (Kejagung), Kamis (3/10/2019).
Kuburan massal tersebut tersebar di 16 provinsi di Indonesia.
"Saya ke Kejaksaan Agung itu dalam rangka untuk mempertanyakan mengapa kasus pelanggaran berat 65 tidak ada kelanjutannya sesudah ada rekomendasi Komnas HAM [berupa] perlunya dibentuk pengadilan HAM ad-hoc," ujar Ketua YPKP 65 Bedjo Untung saat ditemui di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, pada Kamis (3/10/2019).
Bedjo mempertanyakan langkah Kejagung yang kerap mengembalikan berkas dari Komnas HAM untuk menindaklanjuti kasus tragedi 1965. Ia berharap, penyerahan bukti bisa menyelesaikan kasus 65.
"Kami ingin mempertanyakan apa kekurangannya, dan saya, yang penting menyerahkan alat bukti baru bahwa YPKP telah menemukan 346 lokasi kuburan massal dan bisa dijadikan bukti tambahan," ujar Bedjo.
"Dan teman-teman [korban dan kerabat korban tragedi 1965 saya juga menyerahkan daftar nama orang yang dibunuh, yang ditahan, yang disiksa, mati di tahanan, semuanya ada lengkap," lanjutnya.
Bedjo mengatakan, posisi kuburan massal tersebut tersebar di Provinsi Jawa Tengah (119 lokasi), DI Yogyakarta (9), Jawa Timur (116), Jawa Barat (7), Banten (1), Aceh (7), Sumatera Utara (17), Sumatera Barat (22), Riau dan Kepulauan Riau (6), Sumatera Selatan (2), Lampung (8), Ball (11), Kalimantan Timur (1), Kalimantan Tengah (1), Sulawesi (9), Nusa Tenggara Timur (10).
Beberapa lokasi, kata Bedjo sudah hendak dibongkar untuk dijadikan lokasi pariwisata adalah di Purwodadi, Malang, Pemalang, dan Widuri.
"Saya minta bisa dirawat. Kenapa? Karena peristiwa sudah 50 tahun lebih, maka harus jadi cagar budaya, cagar alam, dan dilindungi UU. Ada kuburan massal yang masih apik karena dirawat oleh masyarakat setempat karena di tempat itu ada tokoh berwibawa bagi masyarakat dikubur di sana," ujar Bedjo.
Bedjo menilai, ratusan bukti baru bisa membuat Kejagung tidak bisa berdalih kekurangan bukti untuk menindaklanjuti kasus tersebut.
"Kami memiliki alat bukti yang cukup. Kuburan massal bukan hanya satu [atau] dua, tapi 346 dan itu masih bertambah lagi," tegasnya.
Bedjo mendesak agar para korban dalam kasus tersebut bisa mendapatkan kepastian hukum yang selama ini terabaikan. Ia menerangkan, para korban 65 merupakan warga negara yang memiliki hak untuk mendapatkan peradilan atas kejahatan HAM berat yang mereka alami.
Bedjo mengatakan, dirinya juga sudah mendatangi Komnas HAM. Sementara itu, saat mendatangi Kejagung, laporan YKPK di Kejagung diterima oleh Andi Rio Rahmat, Kasubdit Hubungan Lembaga Pemerintah Kejagung.
"Prinsipnya, laporan diterima dan nanti akan diserahkan ke Jampidsus. Nanti dalam satu minggu akan diproses," ungkapnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kejagung menyatakan sudah menerima laporan YPKP 65. Pihak Kejagung akan membuatkan jadwal untuk audiensi. Namun, belum ditentukan waktunya.
"Memang benar dia [YPKP] datang ke kami untuk audiensi pelanggaran HAM berat peristiwa 65 PKI dan mereka juga menyerahkan daftar nama-nama korban. Nah nanti kita akan atur waktunya untuk audiensi kepada bidang teknisnya," ujar Kapuspenkum Kejagung Mukri kepada Tirto, Kamis (3/10/2019).
"Intinya, dia itu mau audiensi mau menanyakan kenapa Kejaksaan Agung tidak menerima berkas perkara hasil penyelidikan Komnas HAM," lanjutnya.
Meskipun menerima audiensi, Mukri mengingatkan, proses penyerahan bukti tidak bisa serta-merta diserahkan langsung kepada Kejagung. Ia mengatakan, bukti sebaiknya diserahkan kepada penyelidik, yakni Komnas HAM.
"Intinya sebenarnya salah dia kalau diserahkan [bukti] ke kami. Mestinya, dia memberikan itu ke Komnas HAM," kata Mukri.
Meski dianggap belum tepat, Kejagung akan mengakomodir permintaan YPKP. Mereka akan menyampaikan penjelasan perkembangan kasus 65 dengan pihak narasumber dari Direktorat Tindak Pidana Khusus Direktur HAM Kejaksaan Agung. Namun, Mukri tidak merinci waktu pertemuan tersebut.
"Nanti kita akan tentukan waktunya nanti kita akan hubungi," kata Mukri.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Andrian Pratama Taher