Menuju konten utama

Yordania Ingin Tanahnya Dikembalikan, Israel Ancam Setop Suplai Air

Raja Abdullah II mengumumkan Yordania bakal mengakhiri kesepakatan sewa lahan oleh Israel di Baqoura dan Ghumar. 

Yordania Ingin Tanahnya Dikembalikan, Israel Ancam Setop Suplai Air
Papan peringatan terpasang di perbatasan antara Israel dan Jordania, perbatasan tersebut termasuk ke dalam area Baqura, sebuah wilayah yang disewakan Jordania ke Israell berdasarkan perjanjian damai tahun 1994. AP Photo/Ariel Schalit

tirto.id - Pada Minggu (21/10), Raja Abdullah II selaku kepala negara Yordania mengumumkan bahwa negaranya ingin kembali mengambil alih dua wilayah kecilnya, Baqoura dan Ghumar, yang selama ini dipakai oleh Israel selama puluhan tahun untuk bercocok tanam. Di Israel, wilayah itu disebut Naharayim dan Zofar, merujuk pada bahasa Ibrani setempat.

"Baqoura dan Ghumar selalu berada di puncak prioritas kami... keputusan kami adalah mencabut Baqoura dan Ghumar dari lampiran perjanjian damai, karena kami bersungguh-sungguh mengambil keputusan yang melayani negara dan masyarakat Yordania," kicau sang raja di akun Twitter resminya.

Tanah Ghumar dan Baqoura yang luasnya 405 hektar itu berada di dekat pertemuan antara sungai Yordan dan Yarmouk. Selama 25 tahun terakhir, Israel menggunakan kawasan subur itu untuk bertani.

Seruan Yordania terdengar wajar, mengingat dua daerah tersebut berstatus milik Yordania dan bisa digarap Israel sejak kedua negara menandatangi perjanjian damai pada 1994.

Dalam perjanjian tersebut, Israel mengakui kedaulatan Yordania atas Ghumar dan Baqoura sekaligus menyewanya. Aljazeera melaporkan, tiap setahun sekali, ada peraturan wajib lapor penggunaan tanah agar tidak terjadi perpanjangan otomatis. Tenggat pelaporan itu selalu jatuh pada 25 Oktober.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tampak keberatan dengan keputusan Raja Abdullah II dan mengumumkan akan melakukan negosiasi.

"Kami akan melakukan negosiasi dengan [Yordania] untuk opsi perpanjangan dari perjanjian sewa guna usaha yang ada," terang Netanyahu seperti dikutip dari media lokal di Israel.

Saling Serang

Keputusan Raja Abdullah II itu disambut oleh ancaman berupa pengurangan pasokan air bersih ke Yordania. Menteri Pertanian Israel Uri Ariel mengatakan bahwa pasokan air ke Amman akan dikurangi dari yang biasanya empat hari per minggu menjadi dua hari.

Masalahnya, air bersih memang barang langka di Yordania dan selama ini hubungan baik Israel dan Yordania banyak melibatkan kesepakatan pasokan air bersih. Pada 2013, misalnya, kedua negara menyepakati proyek "Red-Dead" yang bakal menyaring kadar garam di air laut pelabuhan Aqaba di Yordania sehingga menghasilkan air bersih.

Israel sendiri haus akan lahan, baik untuk permukiman maupun usaha pertanian produktif, termasuk di gurun. Negev, misalnya. Gurun di wilayah selatan yang terkenal kering kerontang sejak ribuan tahun itu disulap Israel menjadi lahan produktif yang menghasilkan tanaman tomat, cabe, dan melon sekaligus menjadi tempat bermukim ribuan orang. Dengan mengumumkan akan melakukan negosiasi, Israel nampak masih membutuhkan lahan tersebut.

Di sisi lain, sikap kedua negara menunjukkan bahwa Israel dan Yordania mulai meninggalkan Perjanjian Damai 1994, yang juga mengatur soal-soal sekitar tanah dan air.

Pada 26 Oktober 1994, Perdana Menteri Yitzhak Rabin dan Perdana Menteri Abdul-Salam Majali menandatangani Perjanjian Damai antara Negara Israel dan Kerajaan Yordania. Perjanjian damai itu terdiri dari 30 pasal yang menyelesaikan masalah batas demarkasi, masalah air, kerjasama polisi, masalah lingkungan dan penyeberangan perbatasan bersama, dan melahirkan enam peta.

Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan Israel-Yordania menunjukkan ketegangan. Pada Juli 2017, petugas keamanan Kedubes Israel membunuh dua warga negara Yordania tewas yang berusaha menikam mereka. Yordania merespons dengan menutup kedubes Israel dan menuntut agar kasus penembakan itu diusut tuntas. Akhir 2017, keputusan Donald Trump yang ingin memindahkan kantor kedubes dari Tel Aviv ke Yerusalem memicu gelombang protes di Yordania.

Meredam Protes Rakyat?

Keputusan Raja Abdullah II untuk mengambil kembali wilayah tanah di Israel bukannya tanpa sebab. Di dalam negeri, Yordania sedang dilanda protes-protes terkait isu ekonomi hingga perkara hubungan Yordania-Israel. Pada Juni 2018, ribuan orang turun ke jalan memprotes kenaikan harga listrik, BBM, pungutan pajak penghasilan, hingga korupsi.

Yordania memang sedang menghadapi krisis dan tekanan politik dari dalam. Dilansir dari Press TV, Yordania memiliki utang negara sebesar 35 miliar dolar AS. Jumlah itu setara dengan sekitar 90 persen PDB negeri tersebut. Sebanyak 18,5 persen atau 9,5 juta warga Yordania menganggur, dan 20 persen penduduk berada di ambang garis kemiskinan.

Infografik saat raja menagih tanah

Sebagaimana dilaporkan Al-Jazeera, beberapa minggu lalu, 85 anggota parlemen Yordania sepakat menandatangani petisi yang isinya mendesak agar raja campur tangan untuk mengakhiri perjanjian sewa lahan ke Israel. Mereka menilai perjanjian sewa itu tak menguntungkan rakyat Yordania.

Raja Abdullah II tampaknya paham betul bahwa isu Israel akan cukup mampu merebut hati rakyat di tengah gelombang ketidakpuasan. Benar saja, kalangan aktivis dan pengkritik memuji langkah Abdullah karena dianggap sebagai langkah berani dan mewakili aspirasi rakyat.

Analis Israel Yochanan Visser menyebutkan bahwa Raja Abdullah sedang merapat ke Turki dan Suriah, serta mengorbankan hubungan baik dengan Israel. Langkah Raja Abdullah mengakhiri sewa lahan dengan Israel juga dinilainya sebagai salah satu cara memadamkan protes.

Abdullah memang sedang berusaha memperbaiki hubungan dengan Presiden Suriah Bashar Al Assad. Pada awal Oktober, perbatasan Jabar-Nassib menuju Suriah dibuka kembali setelah tiga tahun ditutup karena diserbu pasukan pemberontak dari Suriah.

Dengan dibukanya perbatasan, para pengungsi Suriah di Yordania diharapkan bisa pulang kampung lantaran demi mengurangi beban ekonomi Yordania. Selain itu, perbatasan tersebut adalah rute perdagangan penting. Sejak ditutup, Yordania menderita kerugian 800 juta dolar per tahunnya.

Abdullah juga ingin kembali menjalin perdagangan dengan Turki. Hubungan dagang kedua negara terputus pada Maret 2018, karena Yordania ingin melindungi industri domestik.

Bagaimanapun, ancaman pengurangan suplai air oleh Israel ke Yordania perlu diperhitungkan oleh Abdullah.

Baca juga artikel terkait KONFLIK ISRAEL PALESTINA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf