tirto.id - Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menilai, pemberlakuan ganjil-genap pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih setengah hati.
Menurut Tulus, ganjil genap perlu ikut membatasi penggunaan kendaraan roda dua bila pemerintah serius ingin melerai kemacetan dan mengatasi polusi.
"Jika penerapannya hanya setengah hati, maka perluasan area ganjil genap tak akan efektif menekan kemacetan di Jakarta, dan tak akan mampu menekan tingginya polusi udara," ucap Tulus dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto pada Kamis (15/8/2019) malam.
Tulus mengatakan, bila pembatasan hanya sebatas pada roda empat, masyarakat bisa saja beralih ke roda dua untuk menyiasati ganjil-genap. Dengan demikian, penurunan jumlah kendaraan yang diharapkan justru malah tak terjadi.
Apalagi, kata Tulus, pertumbuhan kepemilikan sepeda motor di Jakarta mencapai lebih dari 1.800 per hari. Belum lagi adanya potensi kenaikan pengguna dari kalangan ojek online (ojol).
Belum lagi dampak dari bertambahnya kendaraan roda dua tentu akan signifikan pada polusi.
Menurut data Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), sepeda motor berkontribusi paling signifikan terhadap polusi udara dengan 19.165 ton polutan per hari di Jakarta bersumber dari sepeda motor sebesar 44,53 persen sedangkan mobil hanya 16,11 persen.
"Pengecualian sepeda motor yang tak terkena ganjil genap, akan mendorong masyarakat pengguna roda empat bermigrasi atau berpindah ke sepeda motor," ucap Tulus.
Dengan demikian Tulus mengusulkan, agar sepeda motor juga diberlakukan ganjil genap. Setidaknya untuk jalan protokol seperti Jl. Sudirman, Jl. Thamrin, dan Jl. Rasuna Said.
Namun, agar adil Tulus menilai, pemerintah bisa memberi kompensasi. Jika pembatasan diberlakukan maka pajak kendaraan bermotor bisa dikurangi sebab mobil dan motor kini tak bisa digunakan dengan maksimal.
"Pajak kendaraan bermotor seperti roda empat diberikan diskon pajak. Mengingat dengan adanya ganjil genap pemilik kendaraan bermotor roda empat tidak bisa optimal menggunakan kendaraannya," tukas Tulus.
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno