Menuju konten utama

YLKI: Pelanggaran Hak Konsumen Umrah dan Haji Tertinggi di 2017

Pelanggaran hak konsumen haji dan umrah ditengarai karena Kementerian Agama lalai mengawasi.

YLKI: Pelanggaran Hak Konsumen Umrah dan Haji Tertinggi di 2017
Tim penyidik Satreskrim Polres Aceh Barat memeriksa pimpinan Azizi Tour perwakilan Aceh Barat Cut Mega Putri terkait dugaan kasus penipuan keberangkatan jemaah umrah di Mapolres Aceh Barat, Aceh, Selasa (5/9/2017). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

tirto.id - Aduan masyarakat ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang pelanggaran hak-hak konsumen dalam pelayanan travel haji dan umrah menempati posisi teratas di sepanjang 2017. Mayoritas aduan berasal dari jemaah PT First Anugerah Karya Wisata atau First Travel, PT Assyifa Mandiri Wisata atau Kafilah Rindu Kabah, dan PT Utsmaniyah Hannien Tour.

"Tiga itu yang mendominasi pengaduan sehingga pengaduan umrah sangat tinggi," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi di Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (19/1)

Total aduan dari konsumen ketiga perusahaan itu mencapai 22.613. Aduan terbanyak datang dari jemaah First Travel yang mencapai 17.557, kemudian Kafilah Rindu Kabah dengan jumlah aduan 3.056, dan PT Utsmaniyah Hannien Tour dengan jumlah aduan 1.821.

Selain ketiga perusahaan tersebut, perusahaan layanan umrah dan haji yang juga berkontribusi terhadapnya tingginya angka aduan adalah PT Kafilah Jalan Lurus dengan jumlah aduan 122, PT Wisata Basmalah Tour & Travel sebanyak 33 aduan, PT Zabran Amanah Int. atau Zabran & Mila Tour sebanyak 24 aduan, PT Solusi Balad Lumapah atau SBL Tour & Travel sebanyak 2 aduan, serta PT Isyanurul Baqi Brawijaya Utama dan PT Timur Sarana Tour & Travel yang masing-masing memiliki satu aduan.

Meski banyak pengaduan, akan tetapi tidak semua perusahaan haji dan umrah itu ditindak. Tulus mengatakan hingga saat ini hanya First Travel dan Hannien Tour biro perjalanan haji dan umrah yang diproses hukum oleh kepolisian. Ia menyatakan YLKI turut mendampingi proses hukum pidana maupun perdata yang diajukan para konsumen kedua travel itu.

Pemerintah Lalai

Tulus mengatakan selama ini Kementerian Agama giat mengeluarkan izin biro haji dan umrah, akan tetapi di sisi lain mereka lalai mengawasi praktiknya. Padahal banyak biro haji dan umrah yang melakukan berbagai cara untuk menarik konsumen, termasuk menawarkan harga di bawah standar.

"Kemenag hanya cepat mengeluarkan perizinan umroh tapi tidak mengawasi performa pembayaran mereka. Misalnya pembayaran umroh kan ada harga rujukan tertentu tapi kenapa banyak biro-biro umrah yang memberikan harga di bawah 10 juta misalnya, tapi itu dibiarkan saja," kata Tulus.

Kelalaian pemerintah menurut Tulus membuat praktik-praktik kotor skema Ponzi banyak dilakukan oleh biro haji dan umrah. Skema ini menurut Tulus jelas merugikan konsumen.

"Dia menggeret konsumen untuk mengorbankan konsumen lain. Dengan sistem Ponzi itu secara teori yang bisa diberangkatkan 60 persennya, yang 40 persen pasti menjadi korban," imbuhnya.

Lantaran itulah, kata Tulus, harus ada langkah preventif dan pemberian sanksi yang tak hanya menyentuh perusahaan travel haji dan umroh, tapi juga Kementerian Agama. "Saya minta presiden untuk menteri agama dicopot karena gagal dalam mengawasi biro umroh ini," katanya.

Kasus penipuan yang dilakukan biro perjalanan haji dan umrah memang terus berulang. Pada penghujung 2017, Kementerian Agama misalnya telah mencabut izin operasional PT Biro Perjalanan Wisata Al-Utsmaniyah Tours atau yang lebih populer dengan nama Hannien Tour. Pencabutan izin operasional tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 941 Tahun 2017 tentang Penjatuhan Sanksi Administratif Pencabutan Izin Penyelenggaraan PT. Biro Perjalanan Wisata Al-Utsmaniyah Tours sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).

Langkah ini merupakan sanksi bagi perusahaan karena terbukti melanggar ketentuan Pasal 65 huruf a Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dengan sanksi itu, Hannien Tour tidak memiliki hak lagi untuk menjual paket umrah, menerima pendaftaran, dan memberangkatkan jemaah umrah. Sebaliknya, Hannien Tour tetap berkewajiban mengembalikan seluruh biaya yang telah disetorkan jemaah atau melimpahkan jemaahnya yang telah terdaftar kepada PPIU lain untuk diberangkatkan.

Sebelum kasus Hannien Tour ada kasus First Travel. Kasus ini menjerat korban hingga puluhan ribu dengan tersangka Andika Surachman (Dirut), Anniesa Desvitasari (Direktur) serta Siti Nuraida Hasibuan alias Kiki Hasibuan (Komisaris Utama). Mereka dijerat dengan Pasal 378 KUHP Tentang Penipuan, Pasal 372 KUHP Tentang Penggelapan dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Penyidik Barekrim Polri memperkirakan total jumlah peserta yang mendaftar paket promo umrah yang ditawarkan First Travel sejak Desember 2016 hingga Mei 2017 mencapai 72.682 orang. Dalam kurun waktu itu, hanya 14 ribu jemaah umrah yang berangkat. Sementara 58.682 ribu orang lain tidak. Nilai penggelapan dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp848,7 miliar, terdiri atas biaya setor paket promo umrah senilai total Rp839 miliar dan carter pesawat dengan sebesar Rp9,5 miliar. Tersangka Andika Surachman juga tercatat memiliki utang kepada penyedia tiket sebesar Rp85 miliar, kepada penyedia visa Rp9,7 miliar, dan sejumlah hotel di Arab Saudi senilai Rp24 miliar.

Maraknya kasus penipuan oleh travel umrah dalam setahun terakhir ini mendapat sorotan dari asosiasi penyelenggara haji dan umrah. Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh) Baluki Ahmad berharap pemerintah bisa menggandeng asosiasi untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap biro umrah. “Upaya preventif harus dikedepankan. Ajak asosiasi,” kata Baluki.

Sementara, Ketua Bidang Organisasi, Keanggotaan & Kelembagaan DPP Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), Bungsu Sumawijaya mengatakan, Kementerian Agama perlu melakukan pembinaan terhadap biro umrah. Ia berharap, tidak ada penambahan PPIU baru, sebelum pemerintah melakukan pengawasan secara masif terhadap praktik usaha travel umrah ini.

Selain itu, sistem penerimaan jemaah umrah juga harus diatur, jangan sampai menunggu hingga satu tahun. Jeda waktu menunggu terlalu lama ini, kata Bungsu, kerap disalahgunakan oleh penyelenggara umrah. “Paling lama menunggunya cukup tiga bulan saja,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PENIPUAN TRAVEL UMRAH atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Jay Akbar