tirto.id - Peran Perum Bulog dalam menyediakan beras mulai terkikis akibat kebijakan pemerintah yang menerapkan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pun melihat perusahaan pelat merah itu bisa bangkrut imbas program andalan Kementerian Sosial itu.
“Ombudsman khawatir dengan peran Perum Bulog. Kenapa? Sejak ada BPNT, bisa-bisa kalau tidak ada perubahan kebijakan Perum Bulog akan bangkrut dan suatu saat bisa ditiadakan peran mereka,” ucap Anggota ORI, Alamsyah Saragih, di Gedung Ombudsman, Kamis (27/6/2019).
Alamsyah menilai kehadiran BPNT ini menyebabkan stok beras Bulog menumpuk dan berpotensi rusak akibat tidak terserap pasar atau dibeli oleh masyarakat sehingga perusahaan itu dapat bangkrut. Padahal, kata dia, jika Bulog bubar, maka pemerintah bisa kehilangan entitas yang selama ini mampu menjalankan peran stabilisasi pangan.
Karena itu, Alamsyah meminta pemerintah memikirkan kembali peran Bulog. Ombudsman, kata dia, juga akan turun tangan mengevaluasi peran perusahaan pelat merah ini.
“Peran Bulog harus dipikirkan perannya apa. Makanya itu akan kami evaluasi. Kalau tidak sekali waktu kita perlu Bulog, akhirnya dia tidak dalam kondisi memadai, kan, bahaya,” ucap Alamsyah.
Direktur Utama Bulog, Budi Waseso pun sudah mengupayakan agar perusahaan yang dipimpinnya itu bisa menjadi pemasok beras bagi BPNT. Sebab, program itu milik pemerintah, ia beranggapn seharusnya pemerintah dapat mengarahkan agar Bulog dilibatkan.
“BPNT ini kan program pemerintah termasuk di dalamnya beras. Seharusnya karena ini program pemerintah jadi yang ngatur pemerintah. Dalam hal ini juga melibatkan Bulog,” kata pria yang akrab disapa Buwas ini, Jumat (20/6/2019) seperti dikutip Antara.
Hal senada diungkapkan Direktur Pengembangan Bisnis dan Industri Perum Bulog, Imam Subowo. Ia mengatakan bila seandainya Bulog tidak terlibat, maka praktis mereka akan kesulitan menyalurkan berasnya dan merugi.
Sebab, kata Imam, Bulog memiliki kewajiban menyerap beras petani, tetapi di saat yang sama ruang penyaluran mereka semakin terbatas. Kendati demikian, Imam juga mempersiapkan rencana agar Bulog dapat bergerak ke arah komersial. Beras-beras Bulog, kata dia, akan diorientasikan agar memenuhi permintaan konsumen.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah menilai Bulog tentu akan menanggung rugi lantaran penjualan berasnya akan terhambat. Apalagi, melalui BPNT, masyarakat tidak langsung menerima beras, tetapi uang untuk membeli sendiri kebutuhan pangannya. Kalau pun mereka membeli, belum tentu akan memilih beras Bulog.
Namun, Rusli tidak yakin kalau kondisi itu akan membuat Bulog bangkrut. Alasannya, Rusli menilai Bulog masih punya peluang untuk bergerak ke arah komersil dan berkompetisi dengan penyalur lainnya. Meskipun Bulog harus terlebih dahulu membenahi manajemen dan sistem bisnisnya, ia yakin produk Bulog dapat laku di pasar beras BPNT.
“Ini tentu akan merugikan Bulog. Kan dia jadi enggak bisa jualan, tapi ini seharusnya jadi peluang Bulog berkompetisi. Dia harus membenahi sistem bisnisnya menyediakan beras yang berkualitas,” ucap Rusli saat dihubungi reporter Tirto pada Jumat (28/6/2019).
Sementara itu, peneliti cum dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa mengatakan transisi rastra ke BPNT ini pasti mengakibatkan kerugian karena Bulog kehilangan penyaluran beras 230 ribu ton per bulan. Namun, Dwi menilai, kerugian ini wajar karena program BPNT memang harus berjalan terlepas dampaknya pada Bulog.
Dwi mengatakan pada kondisi ini manajemen sebaiknya melakukan perombakan agar mereka mampu bersaing. Sebagai kompensasi transisi ini, Dwi menyarankan agar pemerintah menanggung kerugian Bulog sampai mereka selesai merapihkan internalnya.
“Bulog perlu perombakan besar. Perusahaan yang kecil aja mampu kenapa Bulog tidak? Kalau dikembalikan ke rastra sangat merugikan penerima manfaat. Data Susenas, masyarakat terima beras 46 persen lebih banyak di BPNT,” ucap Dwi saat dihubungi reporter Tirto, pada Jumat (28/6/2019).
Namun, Dwi mengingatkan bahwa ini bukan satu-satunya jalan. Ia mengatakan pemerintah dapat mengembalikan Bulog ke dalam statusnya sebelum menjadi perusahaan umum sehingga hanya berfokus pada menstabilkan harga pangan ketimbang mencari untung.
Menurut Dwi langkah ini dapat ditempuh dengan memosisikan Bulog di bawah badan otoritas pangan sehingga dapat melakukan penyerapan gabah maupun penyaluran beras kapan pun diperlukan. Hanya saja langkah ini menuntut kesediaan pemerintah untuk menanggung biaya operasional Bulog seperti penyimpanan, penyerapan, kerugian, hingga menanggung risiko kerusakan cadangan beras.
“Sebagai stabilsator otomatis kan pemerintah mendukung sepenuhnya dari sisi fiskal bukan dilepas seperti sekarang ini. Kalau dia perusahaan kan dia jadi harus profit juga mengembalikan bunga bank,” kata Dwi.
Terkait ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution enggan berkomentar. Ia hanya mengatakan pemerintah akan mencari jalan keluar untuk masalah ini.
“BPNT ya kita carilah jalan keluarnya gak usah terlalu pesimis gitu,” ucap Darmin kepada wartawan di Gedung Kemenko Perekonomian, Jumat (28/6/2019).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz