tirto.id - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) angkat bicara sekaligus mengkritik Menkopolhukam Wiranto yang mengatakan tindakan mengkampanyekan golput dapat dijerat dengan UU ITE. Menurut ICJR, ancaman Wiranto itu adalah bentuk populisme pidana (penal populism).
"Ada yang namanya penal populism. Gejala ini sebenarnya sudah mulai tampak terutama pasca-reformasi dan semakin kuat saat ini," kata Anggara saat dihubungi reporter Tirto pada Rabu (27/3/2019).
Dalam laporan akhir tahun ICJR dijelaskan, penal populism secara singkat dapat diartikan bentuk kebijakan penghukuman keras yang diambil berdasarkan tren sikap masyarakat untuk kepentingan politis semata.
Anggara menjelaskan, hal itu terjadi karena negara tidak bisa menciptakan tertib sosial, maka negara menggunakan instrumen hukum pidana untuk melakukan itu.
Menurutnya, hal ini berpotensi berujung pada negara otoriter. Bahkan, penal populism bisa berujung pada otoritarianisme yang lebih berbahaya karena berbalut aturan yang dihasilkan lembaga-lembaga demokrasi.
"Kalau dulu culik bunuh hilang, sekarang tendensinya ke peraturan," kata Anggara.
Menurut Anggara, pernyataan Wiranto juga tidak memiliki dasar hukum. Sebab, menurutnya, negara sudah mengakomodir masyarakat tidak memilih kandidat dalam pemilihan umum, yakni lewat mekanisme kotak kosong.
"Nah itu gimana? Kan mereka menilai calon yang ada itu tidak tepat [untuk dipilih]," tandasnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto mengatakan orang yang mengajak untuk tidak menggunakan hak pilih alias golongan putih (golput) saat 17 April nanti, dapat dikenakan sanksi.
Menurut Wiranto, sanksi tersebut bisa diberikan karena tindakan mengajak golput sama saja mengacaukan Pemilu 2019.
"Kalau mengajak golput itu yang namanya mengacau. Itu kan mengancam hak kewajiban orang lain. UU yang mengancam itu. Kalau UU terorisme tidak bisa, ya UU lain masih bisa. Ada UU ITE bisa, UU KUHP bisa, Indonesia kan negara hukum," ujar Wiranto saat di kawasan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2019).
Wiranto menuturkan, terdapat beberapa UU yang dapat menjerat seseorang bila mengajak golput, salah satunya termasuk UU Terorisme.
Namun, kata Wiranto, jika UU Terorisme tidak bisa menjerat pihak yang mengacaukan pemilu, masih ada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut Wiranto, saat ini tengah mendiskusikan UU yang dapat menjerat orang yang mengajak golput.
"Indonesia kan negara hukum, sesuatu yang membuat tidak tertib, sesuatu yang membuat kacau, pasti ada sanksi," pungkasnya.
"Ya itu [UU] kan sudah kita diskusikan," tambahnya.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Alexander Haryanto