tirto.id -
"Apabila ada yang tersinggung dan sakit hati. Secara tulus saya minta dimaafkan," ujarnya di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Jumat (4/10/2019).
Mantan Panglima ABRI itu mendaku tidak sengaja dan bermaksud untuk menyakiti hati masyarakat Maluku yang sedang terdampak bencana gempa.
Setelah meminta maaf, Wiranto meminta kepada masyarakat untuk kembali fokus terhadap penanganan korban dan daerah-daerah yang terdampak gempa.
"Dari laporan yang saya Terima masih ada yang tinggal di hutan, gunung karena rasa takut terhadap adanya gempa susulan dan tsunami. Padahal tidak ada informasi resmi dari lembaga terkait," ujarnya.
Ia pun mengatakan bahwa pemerintah akan bertanggungjawab untuk memberikan informasi yang kredibel terkait kebencanaan, khususnya gempa dan potensi tsunami. Kedua jenis bencana tersebut saat ini menjadi momok bagi masyarakat Maluku.
"Kewajiban pemerintah daerah untuk memberikan sosialisasi, penjelasan kepada masyarakat untuk bisa kembali ke rumah masing-masing," tutupnya.
Pada Senin, 30 September 2019 lalu, Wiranto sempat menyebutkan bahwa korban gempa di pengungsian dapat membebani pemerintah, hal itu kontan memancing kemarahan masyarakat.
"Kalau jumlah pengungsi besar, itu justru akan membebani pemerintah pusat dan daerah," ujar Wiranto kala itu.
Saat itu, Wiranto berdalih banyaknya jumlah pengungsi tak sebanding dengan kerusakan di daerah, karena pengungsi ditakut-takuti oleh informasi tidak jelas.
Akibat pernyataan Wiranto, Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Besar Masyarakat Maluku (KKBMM) sempat mengajukan protes. Seperti diberitakan CNN Indonesia.com, KKBMM pun meminta kepada pemerintah untuk menghapus Maluku dari peta Indonesia jika tak dianggap.
"Bahwa para Pejabat Negara sudah tidak menganggap kami yang di Maluku sebagai bagian dari NKRI, maka adalah lebih baik apabila Bapak menghapus pulau Maluku dari Peta Indonesia, kalau perlu keluarkan kami Maluku dari NKRI agar Negara tidak perlu mengeluarkan Anggara sebagai cermin beban Negara terhadap orang-orang Maluku," tulis Djamaludin Koedoeboen dalam suratnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Widia Primastika