Menuju konten utama

Widarta: Tokoh PKI dalam Peristiwa Tiga Daerah yang Terlupakan

Widarta terserap ke PKI Ilegal yang dibentuk Musso pada 1935. Dikucilkan dan dieksekusi kawan sendiri karena dianggap membelot dari garis politik partai.

Widarta: Tokoh PKI dalam Peristiwa Tiga Daerah yang Terlupakan
Para pendukung PKI dalam Pemilu 1955. FOTO/commons.wikimedia.org/web.archive.org

tirto.id - Nasib Kawan Widarta hampir mirip Tan Malaka. Pertama, nama dan perannya nyaris dihapus dari rekaman sejarah Revolusi Indonesia. Kedua, eksistensinya juga tak diakui oleh partainya sendiri, Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketiga, Widarta dan Tan Malaka sama-sama tewas dieksekusi.

Namun, kematian Widarta lebih tragis karena dieksekusi oleh kawan seperjuangannya di pantai Parangtritis pada 1947. Buku Local Opposition and Underground Resistance to the Japanese ini Java 1942-1945 (1986) yang disunting Indonesianis Anton Lucas menyebut Widarta dianggap bertanggung jawab atas kekeliruan gerakan dalam Peristiwa Tiga Daerah. Dia juga dituduh mempromosikan faksionalisme dan tak setia pada garis politik PKI karena menantang Perjanjian Linggarjati.

Tak heran jika kini tak banyak yang tahu namanya, apalagi kajian sejarah tentang sosok Widarta juga sangat terbatas. Jika menilik indeks buku One Soul One Struggle: Region and Revolution in Indonesia (1991), Anton Lucas menulis nama Widarta sebanyak 23 kali. Meski begitu, sosoknya kalah tenar dibanding Sakyani alias Kutil yang berjuluk Robbespierre Tiga Daerah.

Bahkan, Busyarie Latief dalamManuskrip Sejarah 45 Tahun PKI 1920-1965 (2014) pun tak banyak mengungkap nama dan perannya. Padahal, itu adalah naskah yang disebut-sebut sebagai buku sejarah resmi PKI.

Siapakah Widarta sesungguhnya?

Kader PKI Ilegal

Pascapemberontakan 1926, pemerintah kolonial Hindia Belanda menindakan tegas para komunis. Sebagian besar anggota PKI yang berhasil ditangkap lalu diasingkan ke Boven Digul. Sementara itu, sisa-sisa PKI yang berhasil lolos dari hukuman bergerak di bawah tanah dan terpecah dalam beberapa faksi hingga masuknya Jepang ke Indonesia.

Di antara faksi itu adalah PKI Ilegal bentukan Musso pada 1935. Ada pula kelompok PKI Sinar Baroe Indonesia alias Sibar. Di bawah pimpinan Sardjono, PKI Sibar beroperasi di Australia. Lain itu, ada pula tokoh seperti Abdoelmadjid Djojoadiningrat yang bergabung dengan Communist Partij Nederland (CPN).

Seturut penelusuran Lucas, Widarta yang lahir di Kediri pada 1913 terserap ke dalam lingkaran PKI Ilegal di Surabaya. Dia dikader oleh Pamudji, tokoh yang kemudian menggantikan Musso sebagai ketua PKI Ilegal. Sebelumnya, sejak 1933, dia aktif dalam Suluh Pemuda Indonesia (SPI) Cabang Surabaya dan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).

Widarta sempat merantau ke Sumatra dan membentuk sel organisasi sembari bekerja di pabrik Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) di Lubuklinggau. Pada 1936, dia ditangkap Belanda gara-gara ikut menggerakkan buruh BPM melakukan aksi mogok. Dia berhasil kabur dan lari ke Surabaya. Tahu-tahu, Widarta menjadi jurnalis di surat kabar Pesat yang dipimpin Sajuti Melik.

Pada 1939, Widarta terlibat dalam pembentukan Gerakan Rakyat Anti-Fasis (Geraf). Tak hanya menghimpun kader komunis, Geraf juga diisi oleh golongan nasionalis dan agamis. Latif menyebut Dokter Tjipto Mangunkusumo juga turut bergabung dalam organisasi ini.

“Jaring-jaring organisasi Geraf ini kemudian juga meluas di berbagai kota besar, dan bahkan di kota-kota lain dengan menggunakan nama lain demi keselamatan organisasinya,” tulis Latif (hlm. 211).

Gara-gara keterlibatannya dalam Geraf ini, Widarta jadi salah satu target buruan tentara Jepang kala mereka menduduki Indonesia pada 1942. Untuk menghindari penangkapan Jepang, tokoh-tokoh PKI Ilegal memutuskan untuk menyebar keluar dari Surabaya. Widarta sendiri ditugasi partai bersembunyi dan menggalang gerakan bawah tanah di Jawa Tengah bagian utara.

Widarta lalu ditunjuk untuk memimpin PKI Ilegal dalam sebuah rapat rahasia di Bandung pada April 1943. Dia menggantikan Pamudji yang tewas dibunuh Jepang. Widarta lalu memindahkan pusat gerakan PKI Ilegal ke Pekalongan. Bersama kawan-kawan seperti Kamidjaja, Sardjijo, dan Widodo, Widarta membentuk jejaring kader di seputaran Pekalongan, Pemalang, Tegal, dan Brebes.

Basis kader yang dibangun Widarta dan kawan-kawan inilah yang nantinya jadi penggerak dalam Peristiwa Tiga Daerah.

Peristiwa Tiga Daerah dan Sesudahnya

Revolusi sosial di Pemalang, Tegal, dan Brebes mulai menghangat pada Oktober 1945. Semula itu adalah gerakan pembalasan kaum tani terhadap pejabat-pejabat desa yang dianggap penindas di masa Pendudukan Jepang. Gerakan protes itu lalu meningkat jadi tindak kekerasan yang meluas. Para priyayi dan keluarga bupati di tiga kabupaten itu pun jadi sasaran pula.

Sejarawan M.C. Ricklefs menyebut pemprakarsa gerakan ini adalah aktivis muda dari kalangan Islam tradisional dan kaum komunis.

“Pada akhir bulan November, bupati-bupati Brebes, Tegal, dan Pemalang digantikan oleh para pendukung ‘revolusi sosial’ ini,” tulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2008, hlm. 441).

Infografik Subandi Widarta

Infografik Subandi Widarta. tirto.id/Sabit

Widarta sebagai penggerak PKI Ilegal di Karesidenan Pekalongan tentu saja terlibat dalam peristiwa itu. Widarta dibantu Kamidjaja membentuk front yang dinamai Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah (GBP3D). Badan ini turut serta dalam aksi pelucutan bupati di Tiga Daerah Pemalang. Tak hanya itu, GBP3D juga berhasil menurunkan Residen Pekalongan Mr. Besar Martokoesoemo dan mendudukkan Sardjijio sebagai penggantinya.

Meski begitu, yang kemudian sebagai tokoh sentraljustru seorang tukang cukur rambut dan guru ngaji bernama Kutil. Napas GBP3D pun tak panjang karena gagal memperoleh dukungan dari Pemerintah RI. Bahkan, Amir Sjarifuddin selaku mentor dan pelindung utama mereka mengecam gerakan ini sebagai tindakan gegabah. Widarta dan kawan-kawannya pun jadi sasaran penangkapan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Satuan-satuan tentara Republik setempat dan para pemuda yang mendukung mereka bergerak di ketiga kabupaten itu dan menangkap lebih dari 1.000 orang pendukung ‘revolusi sosial’ ini, yang menyebabkan revolusi ini berakhir dengan kegagalan,” tulis Ricklefs.

Semula Widarta dijebloskan ke penjara Pekalongan pada Desember 1945. Pada Oktober 1946, dia dan dedengkot revolusi sosial lainnya dipindahkan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta.

Widarta makin terkucil dari PKI lantaran ikut mendukung kelompok Tan Malaka dalam penolakannya terhadap Perjanjian Linggarjati yang berbuntut pecahnya Peristiwa 3 Juli 1947. Padahal, Tan Malaka adalah musuh politik PKI. Penolakannya terhadap Perjanjian Linggarjati juga tidak sejalan dengan kebijakan Sayap Kiri—koalisi bentukan PKI dan faksi-faksi komunis lain.

Merespons pengucilan ini, Widarta lalu berkirim surat kepada pimpinan PKI. Dalam suratnya yang dikirimnya dari Wirogunan, Widarta meminta agar partai mengadakan pertemuan untuk menjelaskan ihwal organisasi serta garis perjuangannya.

Dalam studinya Lukas menyebut pimpinan PKI tak menanggapi surat itu dan malah menghadapkan Widarta ke pengadilan internal partai. Dia disidang oleh beberapa tokoh teras PKI seperti Maroeto Daroesman, Jusuf Muda Dalam, Ngadiman Hardjosoebroto, Aidit, Sudisman dan Soetrisno.

Tuduhan yang mereka timpakan kepada Widarta tak main-main. Gara-gara menolak perundingan dengan Belanda, dia dianggap memicu perpecahan dalam tubuh Sayap Kiri. Keterlibatan GBP3D dalam Peristiwa Tiga Daerah juga dianggap salah karena mengakibatkan konfrontasi dengan TKR di Pekalongan.

Widarta harus menerima kenyataan dianggap sebagai pembelot laiknya Trotsky di kalangan kaum komunis. Usai mahkamah internal partai itu, Widarta ditangkap dan kemudian dibawa ke pantai Parangtritis untuk dieksekusi pada 1947. Di antara para eksekutornya ada nama Tjugito, Fatkurhadi, dan Sudisman yang kelak jadi tokoh elit PKI di masa kepemimpinan Aidit.

==========

Wijanarto adalah Kepala Bidang Kebudayaan Pemda Kabupaten Brebes dan Ketua Dewan Kesenian Brebes. Menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro dengan tesis tentang Sarekat Ra'jat di Karesidenan Pekalongan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Wijanarto

tirto.id - Humaniora
Penulis: Wijanarto
Editor: Fadrik Aziz Firdausi