Menuju konten utama

Dombreng: Cara Rakyat Mempermalukan Pejabat Korup dan Menyebalkan

Peristiwa Tiga Daerah pada akhir tahun 1945 yang terjadi di Tegal, Brebes, dan Pemalang diwarnai aksi pendombrengan. Rakyat mempermalukan pejabat yang menindas.

Dombreng: Cara Rakyat Mempermalukan Pejabat Korup dan Menyebalkan
Ilustrasi tentara revolusi. tirto.id/Lugas

tirto.id - Ketika rakyat dikecewakan oleh pejabat, maka dombreng adalah jawabannya. Dalam revolusi sosial yang terjadi di Brebes, Tegal, dan Pemalang pada bulan-bulan akhir tahun 1945--yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Tiga Daerah--hal tersebut menjadi jalan yang diambil oleh rakyat.

Menurut Anton E. Lucas dalam Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi (1989), dombreng merupakan istilah lokal yang artinya adalah tindakan membuat malu para pejabat yang (dianggap) korup di depan umum. Dombreng juga diartikan sebagai ritual tentang majikan yang diusir (disepak keluar) oleh abdinya. Korbannya tak hanya si pejabat, namun keluarganya pun bisa ikut kena dombreng.

Raden Ayu Kardinah, salah seorang adik R.A. Kartini menjadi korban pendombrengan. Pada Oktober 1945, Kardinah berada di Tegal bersama anak, mantu, dan cucunya. Ia sebelumnya tinggal di Salatiga, tepatnya pada masa pendudukan Jepang. Kardinah yang saat itu telah berusia 64 tahun adalah istri Reksonegoro X, Bupati Tegal yang menjabat pada 1929-1935. Ia juga merupakan mertua dari Raden Soenarjo, Bupati Tegal pada 1944-1945. Pada era kolonial, saudari Kartini ini juga dikenal sebagai orang yang berjiwa sosial.

“Kardinah mendirikan sebuah rumah sakit, sekolah untuk anak perempuan, dan rumah yatim piatu anak-anak perempuan di Tegal,” tulis Anton E. Lucas.

Kebaikannya ini rupanya tak bisa menghindarkan Kardinah dari amuk revolusi sosial yang sedang melanda tiga daerah di Karesidenan Pekalongan. Tempat tinggal Kardinah didatangi massa.

Para penyerbu mengubrak-abrik isi rumah, termasuk pakaian kebesaran bupati. Setelah ratusan tahun diperlakukan seperti raja, kini rakyat yang sakit hati bersikap sebaliknya. Revolusi sosial tengah bergolak.

“Tetapi tidak ada yang dirampok atau dirusak,” tulis Lucas.

Karena Raden Soenarjo sedang tidak di tempat, maka istri, ibu mertua (Kardinah), anak-anaknya, bahkan pembantu-pembantunya, menjadi korban kemarahan massa.

“Mereka diberi pakaian (karung) goni dan diarak keliling kota,” imbuh Lucas.

Mereka diarak layaknya jatilan atau topeng monyet untuk dipermalukan dengan dijadikan tontonan di hadapan rakyat. Kardinah dan keluarganya akhirnya selamat ketika berhenti di rumah sakit yang dulu ia dirikan.

Kardinah dan keluarganya bukan satu-satunya yang kena dombreng. Malam 7 Oktober 1945, lurah Desa Cerih yang bernama Harjowijono pun menjadi sasaran. Rumahnya dikepung massa.

“Rakyat mengancam akan membakar rumah itu bila lurah tidak mau keluar,” tulis Lucas.

Esoknya, Harjowijono mendatangi massa dengan pakaian kebesaran lurah agar terlibat berwibawa. Namun, bukannya rasa hormat yang ia dapat, pakaian lurah itu justru dilucuti dan diganti dengan karung goni. Sementara istri lurah dipakaikan kalung padi. Pasutri itu kemudian diarak keliling kampung dengan iringan gamelan milik sang lurah.

“Sesudah diarak, mereka dihina dan diperlakukan seperti ayam, dipaksa minum air mentah dalam tempurung kelapa dan makan dedak (kulit) padi,” imbuh Lucas.

Para pemuka pribumi yang jadi sasaran amuk massa dalam revolusi tiga daerah ini tidak hanya didombreng, tapi ada juga yang dibunuh. Menurut Lucas, salah seorang yang dibunuh itu adalah petugas pengumpul romusha yang bernama Raden Mas Abu Bakar. Ia dituduh menyelewengkan separuh tunjangan romusha.

Lucas menambahkan, para aparat yang diangkat kembali setelah pendudukan Jepang memang tidak berdaya. Mereka dianggap penyebab penderitaan rakyat ketika zaman Jepang. Aparat-aparat ini berupa kepala desa (lurah), camat, bupati, residen dan jajarannya.

Infografik Budaya Dombreng

Infografik Budaya Dombreng. tirto.id/Sabit

Keterangan Lucas sejalan dengan catatan Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan(2005:144). Menurutnya, penggerak Peristiwa Tiga Daerah adalah “tenaga-tenaga yang paling anti kolonial dan feodal.” Mereka ingin membersihkan masyarakat dari para priayi kolaborator Jepang.

Peristiwa Tiga Daerah selalu dikaitkan dengan Kutil, tokoh yang menggerakkan rakyat untuk melakukan pendombrengan dan pembunuhan sehingga peristiwa ini disebut juga sebagai Gerakan Kutil.

Nama asli Kutil adalah Sakhyani. Ia hanya sekolah sampai kelas dua sekolah rakyat. Sebelum 1945, profesinya sebagai tukang pangkas rambut. Selain itu, Kutil juga dikenal sebagai seorang guru agama yang punya banyak pengikut. Bulan Oktober 1945, Kutil membentuk Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang bermarkas di Bank Rakyat Talang. Belakangan Kutil dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Pekalongan. Ia adalah terpidana mati pertama setelah Indonesia merdeka.

Menurut mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso dalam Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan (1993:128), gerakan Kutil yang terafiliasi dengan komunis hendak mendirikan pemerintah revolusioner. Oleh karena itu, mereka menciduk orang-orang yang mereka anggap sebagai “kaum loyalis penjajahan Belanda”, termasuk tokoh yang berjasa secara sosial seperti Kardinah. Kerabat Hoegeng menjadi salah satu korban dalam Peristiwa Tiga Daerah tersebut.

Baca juga artikel terkait REVOLUSI SOSIAL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh