tirto.id - Mircea Lucescu, bekas pelatih Inter Milan, pernah menyebut Arsene Wenger sebagai aristokrat.
“Arsene adalah aristokrat. Dia tidak terbentuk dari nilai-nilai kelas pekerja sebagaimana Alex Ferguson atau sikap agresif Jose Mourinho. Dia mencoba tampak terdidik di antara semuanya,” ucap pelatih asal Rumania tersebut.
Dalam wawancara dengan L’Equipe pada 2015 lalu, Wenger membantah beberapa pernyataan Lucescu tersebut. Katanya, ketika itu, “Saya tidak menampik bahwa saya memang seorang pendidik. Namun, saya sama sekali tidak merasa seperti seorang aristokrat.”
Wenger boleh membantah, tapi Lucescu tak salah-salah amat. Wenger memang seorang terpelajar. Dalam bidang akademik, ia mengantongi ijazah strata satu elektro dan juga master di bidang ilmu ekonomi. Keduanya di Universitas Strasbourg, universitas kedua terbesar di Prancis. Gelar kepelatihan pun diraihnya di Centre de Ressources, d'expertise et de Performance Sportives (CREPS), sekolah kepelatihan yang juga berada di Strasbourg.
Keterpelajaran Wenger juga tampak dari kemampuannya berbahasa. Tercatat tujuh bahasa yang ia kuasai: Prancis, Alsatian (dialek Jerman-Alemanik yang jamak digunakan orang-orang di Alasce, sebuah wilayah di Prancis Timur), lalu Jerman, Inggris, Italia, Spanyol, dan Jepang. Ia adalah seorang poliglot.
Pada 2013, Wenger bahkan sempat menerima penghargaan Guardian and British Academy's first Public Language Champion Award. Penghargaan itu diberikan karena komitmen dan konsistensinya memperjuangkan pembelajaran bahasa untuk anak-anak melalui olahraga.
Menguasai tujuh bahasa, dan mendapatkan gelar atas pencapaian kebahasaan di Inggris, apakah Wenger masih ingin mempelajari bahasa lain? Dalam wawancara dengan The Guardian pada 2013, Wenger mengatakan: “Barangkali (bahasa) Cina, suatu hari nanti!”
Sikap terpelajar Wenger ini kelak akan sangat memengaruhi perjalanan karier kepelatihannya sepanjang 22 tahun bersama Arsenal.
Menjadi Manajer, Profesor, dan Tiran di Arsenal
Konon, orang-orang Celt dan Saxon di Britania adalah bangsa pejuang. Kelahiran buruh era revolusi industri dan masa-masa perang, kata sosiolog Ricardo Guilonotti, menciptakan daya juang dan bertempur. Sepakbola Inggris mencerminkan itu: memang tidak indah, namun memeram semangat bertarung yang tebal -- berlari, tendang, berlari lagi, menendang lagi. Kick and rush.
Sedangkan Wenger, dengan ijazah-ijazahnya, memandang sepakbola dengan cara yang sama sekali berbeda. Ia meminggirkan maskulinitas dan semangat kelas pekerja, lalu menggantikannya dengan prinsip ekonomi dan sepakbola artistik. Ketika ia mulai melatih Arsenal pada musim 1996-1997, ia merumuskan pandangannya lewat dua cara: strategi marketing dan taktik bermain.
Wenger memulainya di bursa transfer dengan memboyong pemain-pemain Prancis -- yang kelak disebut sebagai “The French Connection” oleh Fred Atkins -- seperti Patrick Vieira, Emmanuel Petit, Remi Garde, Nicolas Anelka, Gilles Grimandi, serta pemain sayap lincah asal Belanda, Marc Overmars. Untuk mendatangkan enam pemain tersebut, Arsenal cukup merogoh kocek sebesar £20,3 juta.
Khusus Anelka, setelah didatangkan hanya dengan nominal seharga £500 ribu, dua musim setelahnya ia dijual ke Real Madrid dengan banderol 44 kali lipat lebih besar: £22,3 juta.
Posisi Anelka pun digantikan Thierry Henry yang didatangkan dari Juventus seharga £11 juta. Kelak, Henry menjadi pemain terbaik sepanjang sejarah Arsenal, sebelum kemudian dilepas ke Barcelona pada 2007. Kendati Henry telah berusia 30 tahun, tepatnya 29 tahun 11 bulan, Wenger sanggup menjual aset berharganya itu senilai £21 juta.
Selama bermusim-musim, “adjustment program” (program penyesuaian struktural) ala Wenger selalu berhasil menghindarkan Arsenal dari efek industri sepakbola berupa lonjakan harga pemain di bursa transfer. Termasuk pula dalam membangun stadion baru “The Gunners”, Emirates Stadium serta pembinaan pemain muda.
Secara taktik, Wenger merevolusi gaya kick and rush dan menggantinya dengan permainan satu dua sentuhan versi Eropa Daratan. Era Fever Pitch yang berisikan pemain sangar macam Paul Merson dan Tony Adams, secara perlahan bersalin rupa menjadi keanggunan Dennis Bergkamp, Robert Pires, hingga Cesc Fabregas. Revolusi taktik inilah yang menjadi wajah Arsenal modern dan selamanya akan selalu diasosiasikan dengan Wenger.
Bahkan pemain seperti Gary Neville, yang tertulari sengitnya rivalitas antara Ferguson dan Wenger, tak kuasa mengakui perubahan yang dilakukan Wenger juga berdampak dalam cara bermain Manchester United.
"Pujian terbesar [kepada Wenger] adalah memainkan sepakbola yang membuat kami mengubah cara bermain [saat] melawan mereka," kata bek kanan yang diorbitkan oleh Ferguson itu.
Dua prinsip yang menjadi pegangan Wenger tersebut (strategi marketing dan taktik) membuat Arsenal menjadi tim yang sama sekali berbeda. Tak hanya sehat secara struktur keuangan, di lapangan pun “The Gunners” menjadi tim tangguh yang enak ditonton.
Salah satu pencapaian terbaik Wenger adalah membuat Arsenal tak terkalahkan dalam 49 pertandingan pada musim 2003-2004. Sebuah rekor “unbeaten” terpanjang di Liga Inggris, mengalahkan rekor tak terkalahkan Nottingham Forest (42 pertandingan) pada musim 1977-1978.
Namun bulan madu Wenger-Arsenal “hanya” berlangsung hingga 2004. Sembilan tahun setelahnya, ia tercatat tak sanggup menghadirkan sebiji gelar pun untuk Arsenal. Dari musim 2004 sampai musim 2012-2013, tak ada satu trofi: entah itu trofi "kurcaci" seperti Piala Liga, maupun Piala FA, apalagi gelar juara liga. Trofi Liga Champions? Aduh.
Dari sebuah klub yang menawan, “The Gunners” perlahan menjadi lelucon yang saban musim ditertawakan. Sepanjang periode tersebut, Wenger lebih mirip pembual daripada pelatih hebat.
Para bekas penggawa Arsenal pun silih berganti mengritiknya. Tony Adams, kapten “The Gunners” di awal kesuksesan Wenger, menyebut bekas bosnya tidak mengajarkan apapun kepadanya ketika masih aktif bermain. Stewart Robson mengatakan Wenger mirip seorang tiran yang tidak dapat menerima kritik dan bahkan menyebut orang Prancis itu lebih tepat disebut "ilmuwan olahraga daripada pelatih".
Di dalam tim, Wenger juga terlibat konflik dengan beberapa pemain seperti Emmanuel Adebayor dan Gervinho. Semua berujung dengan kepindahan kedua pemain tersebut: Adebayor ke Manchester City, Gervinho ke AS Roma.
Wenger juga makin sering mengkritik pedas keputusan wasit yang dianggapnya merugikan Arsenal. Beberapa wasit pernah kena semprot “Si Profesor”: Paul Taylor saat Arsenal kalah 0-1 dari Sunderland pada awal musim 2000-2001; wasit Massimo Busacca setelah “The Gunners” kalah dari Barcelona di Liga Champions musim 2010-2011; atau wasit Damir Skomina usai timnya dipaksa takluk dari AC Milan, juga di Liga Champions, musim 2011-2012.
Akhir tahun lalu, Wenger juga masih sempat melontarkan kecaman terhadap wasit Mike Dean yang memberikan penalti kepada West Bromwich Albion ketika kedua tim bermain imbang 1-1 pada laga pekan ke-21 Liga Primer.
"Itu bukan penalti. (Handsball) tersebut tidak disengaja. Ketika anda berada di jarak sedekat itu, mustahil anda dapat menghindar,” ucap Wenger. “Saya marah karena kami telah melihat hal yang sama terus terulang berkali-kali. Selama bertahun-tahun saya bekerja keras agar kualitas wasit meningkat. Tapi saya tidak melihat kemajuan.”
Dengan beberapa pelatih lain seperti Tony Pulis atau Sam Allardyce, Wenger juga berseteru. Tapi rivalnya paling sengit adalah Jose Mourinho. Sebagaimana Wenger, Mourinho juga pelatih “terpelajar” yang memiliki gelar bidang ilmu olahraga dari Technical University of Lisbon. Hanya saja, Mourinho memiliki kemampuan lain dalam mengeksploitasi emosi lawan dan Wenger adalah mangsa empuk. Ia pernah mengejek Wenger sebagai “voyeur” (tukang ngintip) dan, yang paling menyakitkan, rivalnya itu dianggap sebagai “spesialis kegagalan”. Sekadar informasi, Mourinho telah meraih 25 trofi sepanjang karier kepelatihannya, sementara Wenger 17 trofi.
Tapi dari sekian momen buruk yang telah dirasakan Wenger di Arsenal, rasa-rasanya, tak ada yang lebih pahit dari kekalahan telak 2-8 atas Manchester United pada musim 2011-2012.
Pengunduran Diri
Pada Jumat (20/04/2018), setelah bermusim-musim terus mendapat kritikan, Wenger akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya dari Arsenal mulai musim depan. Sebagai calon suksesornya, ia menyarankan nama Patrick Vieira. Pertanyaannya: mengapa Vieira?
Saat Arsenal butuh meraih kejayaan kembali, menunjuk pelatih berpengalaman seperti Carlo Ancelotti atau Luis Enrique tentu lebih rasional ketimbang yang belum teruji seperti Vieira.
Ada banyak tafsiran mengenai pendapat Wenger. Bisa jadi ia hendak menjaga warisan kepelatihannya. Bisa juga, sebetulnya, Wenger hendak menebus kesalahannya selama ini di Arsenal karena selalu mengutamakan keindahan dan menghilangkan tradisi semangat bertarung ala Britania. Vieira, sebagaimana diketahui, adalah gladiator “The Gunners” di puncak kejayaannya.
Sepanjang 22 tahun kariernya sebagai juru taktik, publik akan mengenang Wenger tak hanya sebagai pelatih handal, tetapi juga seorang revolusioner yang berhasil mengubah wajah Arsenal, serta sisi lain mentalitas sepakbola. Hanya saja, sebagaimana sejarah bekerja, setiap revolusi selalu memakan korban. Kali ini, Wenger sendiri yang menyodorkan diri sebagai tumbalnya.
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Zen RS