tirto.id - Satu malam di pertengahan 1996. Di apartemennya di Nagoya, ia terpekur memikirkan masa depannya. Tawaran untuk menjadi manajer Arsenal baru saja datang. Tapi pengalamannya melatih Grampus telah menakjubkan hatinya.
Jauh dari keriuhan sepakbola Eropa, ia mulai terbiasa dengan budaya dan gaya hidup yang baginya sangat menantang, sekaligus terasa hangat, membuka mata, dan seringkali memang sepi. Pekerjaan di Jepang menggairahkan, tapi keluarga, teman-teman, dan segala yang familiar terpisah jarak 10.000 kilometer jauhnya.
Tawaran dari Arsenal bisa dibilang serupa lompatan besar, di semual hal: secara profesional, kultural, dan personal. "Saya berada di titik berbahaya dan saya harus mengambil keputusan," katanya di kemudian hari. "Setelah dua tahun perlahan-lahan Anda menyatu dengan spirit orang Jepang. Apa yang Anda rindukan dari Eropa perlahan-lahan memudar. Saya berada di titik yang, saya pikir, saya akan menghabiskan sisa umur di sini kalau tidak pulang sekarang."
Ditambah lagi saat itu istrinya sedang hamil besar. Jika memutuskan tinggal, ia akan memboyong istrinya ke Nagoya dan akan menjadi orang Jepang, atau sebaliknya, ia akan kembali pada kehidupan Eropa yang dirindukannya. Momen itu adalah momen ci-luk-ba dalam hidupnya. 22 September 1996 ia resmi menjadi pelatih Arsenal.
Siapa yang tahu bagaimana nasibnya—juga nasib Arsenal—jika ia memilih bertahan?
Di sinilah Arsene Wenger sekarang. Di stadion Emirates. Berdiri dengan bangga setelah timnya mengalahkan rival sekota, Chelsea, dengan skor besar 3-0 yang nyaris bikin semua pendukung Arsenal kencing di celana karena kegirangan. Ia tampak bahagia, menyalami Antonio Conte dengan anggukan pemenang disertai tepukan pada bahu khas orang yang merasa berada di atas—apa saja, atas menara gading atau singgasana atau posisi seks atau bianglala.
Ini adalah kado terindah untuk ulang tahun kedua puluh ia bergabung bersama Arsenal.
"Sekarang saya merasa lebih lapar daripada dulu [ketika pertama kali tiba pada 1996]," katanya dalam jumpa pers pascapertandingan, "karena saya tahu di depan sana saya tidak akan punya waktu 20 tahun lagi.
"Saya juga merasakan sebuah tanggung jawab. Anda tidak bisa menghabiskan waktu 20 tahun di suatu tempat dan pura-pura tidak peduli. Maka sekarang saya lebih sadar untuk apa semua ini, saya bisa merasakan tanggung jawab untuk membuat semua orang bahagia, menjaga mereka tetap bahagia. Hari ini adalah hari di mana sebagai manajer Anda pikir: Hari ini adalah hari yang luar biasa."
Tapi setelah 20 tahun, tidak ada persepsi tunggal tentang Wenger dan waktu yang dihabiskannya di Arsenal.
Terlebih di era internet, ketika semua orang seperti merasa pantas dan tak henti-hentinya menjadi pengawas manajer. Jutaan fans hobi sekali mengicaukan tagar #WengerOut di media sosial jika Arsenal menuai hasil buruk. Tidak jarang pula gerombolan fans menghakiminya dengan sebutan-sebutan tak masuk akal, dengan protes-protes pedas, seakan-akan mereka lebih tahu cara menjadi pelatih ketimbang Wenger sendiri—sesuatu yang kadang-kadang membuatnya kehilangan kesabaran.
Sebagaimana pernikahan yang sudah berusia 20 tahun, wajar jika Wenger dan para suporter Arsenal telah melalui asam-garam rumah tangga: periode bulan madu, dansa-dansi, sukacita, hingga fase frustrasi, krisis, kehilangan kepercayaan, dan keraguan yang sengit.
Opini paling dominan terbentuk berdasarkan apa yang terjadi belakangan. Akhir-akhir ini, kepercayaan terhadap kepemimpinan Wenger tidak setinggi masa-masa awalnya.
Kisahnya bersama Arsenal seperti drama tiga babak. Babak pertama berisi keberhasilan-keberhasilan yang menakjubkan. Di babak kedua, segalanya menjadi serbarumit, sangat rumit, sampai-sampai membuat banyak orang lupa betapa hebatnya ia di dekade pertama.
Secara keseluruhan, selama periode antara 1996 dan 2006, Arsenal memenangkan Liga Premier sebanyak tiga kali, termasuk catatan bersejarah memenangkan liga (2003-2004) tanpa terkalahkan, Piala FA empat kali, dan lolos hingga final Liga Champions.
Satu dekade penuh prestasi inilah yang terus menjadi bahan perbandingan terhadap Wenger di tahun-tahun berikutnya. Para fan Arsenal mengenang masa-masa itu bukan hanya karena juara, melainkan juga karena penuh gaya. Dalam satu tim, ada Thierry Henry di masa jayanya yang memimpin pasukan, didukung permainan ciamik Dennis Bergkamp, Robert Pires, Freddie Ljungberg, Patrick Vieira, Nwanko Kanu dan barisan pertahanan yang begitu tangguh. Semua orang kagum penampilan Arsenal.
Pada 7 Mei 2006, Arsenal memutuskan untuk pindah stadion, meninggalkan kandang warisan leluhur mereka, Highbury, menuju stadion baru, Emirates. Tak ada yang menyangka kepindahan ini akan diikuti juga dengan puasa gelar dalam waktu yang relatif panjang.
Pembangunan stadion tentu saja tidak cukup dengan uang receh. Manajemen Arsenal harus merogoh kocek dalam-dalam. Dan bersamaan dengan pembangunan itu, Arsene Wenger tak pernah menyangka kehadiran para miliarder yang membuang-buang uang di Liga Inggris akan mengubah lanskap sepakbola. Terutama sejak kehadiran Roman Abramovich di Chelsea sejak Juni 2003.
Harga pemain melambung tinggi. Arsenal harus ikat pinggang kencang-kencang setiap kali musim transfer tiba.
"Anda seperti hanya bersenjatakan batu melawan senapan mesin," kata Wenger. "Orang-orang tidak mau tahu itu. Mereka hanya ingin Anda untuk memenangkan kejuaraan."
Di saat-saat yang sulit ini, Wenger tidak menyerah. Ia berlayar dengan perahu sederhana di tengah perairan berombak yang dipenuhi kapal-kapal perang megah. Ia akhirnya menemukan ide brilian, sekaligus nekat: mencari ke sana ke mari pemain-pemain muda terbaik, merekrut mereka, melatih, menanamkan semangat klab, mengembangkan tim yang tumbuh bersama dan saling setia satu sama lain.
Proyek ini hampir sukses. Cesc Fabregas begitu sensasinal di masa mudanya, juga Robin van Persie, Samir Nasri dan Abou Diaby. Wenger yakin, ia punya cukup banyak pemain muda berbakat cukup untuk bersaing di level tertinggi. Tapi ternyata ia salah.
Setelah bertahun-tahun tanpa gelar—terakhir ia menjuarai Piala FA pada 2005, proyek pemain muda juga ikut berantakan. Apalagi ketika Fabregas memutuskan untuk pergi pada Agustus 2011, diikuti Nasri, kemudian Van Persie. Wenger harus merasakan kehilangan yang pahit, ideologi memupuk pemain muda yang ia percaya mujarab pun runtuh.
Wenger mengalami saat-saat penuh tekanan besar dan orang-orang mulai mengambinghitamkannya. Seperti penderitaannya masih kurang menyakitkan, pada Agustus 2011 pula Arsenal harus menelan kekalahan 2-8 yang sangat memalukan dari Manchester United. Hingga memungkinkan seorang Jose Mourinho melempar ejekan paling terkenal untuk Arsene Wenger: "spesialis dalam kegagalan".
"Sepakbola kadang-kadang memang menakutkan," kata Wenger. "Ketika Anda tidak menang, Anda bertanggung jawab atas begitu banyak orang yang tidak bahagia. Kadang lebih baik tidak usah memikirkan itu, karena bisa sangat merusak hidup Anda."
Meski fans terus mencerca, Wenger akhirnya berusaha bangkit lagi dan memperbaiki metodenya. Ia tidak lagi mengandalkan akademi pemain muda, ia mulai merekrut nama-nama besar untuk memperkuat tim, di antaranya Mesut Özil pada 2013 dan Alexis Sánchez pada 2014. Wenger merasa kembali optimistis.
Hasilnya, di akhir musim 2014, Arsenal meraih gelar lagi, menjuarai Piala FA setelah mengalahkan Hull City. Pertandingan ini merupakan salah satu yang paling menegangkan dalam karier Wenger. Arsenal terlebih dahulu tertinggal 0-2 sebelum akhirnya menang 3-2 melalui perpanjangan waktu.
"Kemenangan ini sangat penting untuk tim. Ketika ia datang setelah masa penantian yang panjang, ia datang bersama penderitaan," ujarnya. "Kami merasa terlahir kembali dan sangat bahagia. Tahun berikutnya, anak-anak asuh Wenger kembali mempertahankan gelar ini.
Babak akhir dari drama Arsenal-Wenger belum lagi ditulis. Kontraknya akan berakhir pada akhir musim ini dan tidak seorang pun tahu apa keputusannya setelah ini. Seperti semua kontraknya bersama Arsenal sebelum ini, satu-satunya orang yang berhak memutuskan apakah ia akan memperpanjang atau minggat adalah Wenger sendiri.
Tapi kecil kemungkinan ia akan pergi. Seperti yang diungkapkannya di atas, ia kini jutru merasa semakin lapar gelar. Dua belas tahun telah berlalu sejak ia terakhir kali merebut gelar juara Liga Inggris, tentu ia masih penasaran meraihnya lagi, juga trofi Liga Champions.
Apapun yang akan terjadi, manajer jenis Wenger sudah pasti sangat langka. Di masa depan, sulit menemukan seorang pelatih yang mewakafkan hidupnya di satu klab hingga lebih dari 20 tahun.
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti