tirto.id - Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono DPR bisa saja menggunakan hak angket terhadap Peraturan KPU melarang mantan napi korupsi maju menjadi calon legislatif.
Namun, menurut Bayu hak angket tersebut akan menjadi hal yang janggal. Sebab, hak angket digunakan dalam konteks pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan uang berdampak luas terhadap masyarakat.
"Padahal, kan ini berdampak positif," kata Bayu di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta Selatan, Kamis (5/7/2018).
Lebih lanjut menurutnya dari aspek legalitas, rapat konsultasi tidak bisa mempengaruhi PKPU ini lantaran rapat konsultasi tidak bersifat mengikat. Ini didasari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal uji materi Pasal 9 huruf a UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
"Apa wewenangnya DPR sehingga memaksakan KPU, mengubah PKPU-nya padahal di situ merupakan kewenangan dari KPU?" kata Bayu.
Selain itu Bayu juga mengatakan PKPU ini akan rawan serangan politik, yaitu tempat bertemunya pihak-pihak yang ingin meloloskan mantan terpidana dan caleg pemodal yang mungkin punya keinginan tampil lagi di kancah perpolitikan meskipun cacat integritas.
"Yaitu bertemunya kepentingan sebagian partai yang tidak dapat menerima PKPU, ini yang punya agenda ingin meloloskan kader-kadernya yang mantan terpidana tiga jenis kejahatan tadi. Kemudian bertemunya caleg- caleg pemodal yang mungkin dia juga punya keinginan tampil lagi di kancah perpolitikan kita meskipun sebelumnya cacat integritas," kata Bayu.
Menurutnya, mereka dapat menggunakan hak-hak yang dimiliki DPR untuk mempengaruhi PKPU tersebut. Misalnya dengan melakukan rapat konsultasi dan memanggil KPU atau dengan mengajukan hak angket.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Dipna Videlia Putsanra