tirto.id - Obat-obatan mengandung DNA babi kembali menjadi sorotan setelah Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan suplemen makanan merek Viostin DS dan Enzyplex positif mengandung babi. BPOM telah meminta agar kedua jenis merek tersebut ditarik dari peredaran dan dihentikan produksinya.
Viostin DS yang dimaksud BPOM adalah produksi PT Pharos Indonesia dengan nomor izin edar SD051523771. Sementara untuk Enzyplex diproduksi oleh Medifarma Laboratories dengan nomor DBL7214704016A1. Izin kedua produk ini sejak 2016 itu akhirnya dicabut.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komite Nasional Kajian Obat Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Masfar Salim mengatakan, sebenarnya tidak ada fungsi khusus kandungan DNA babi pada obat-obatan. Masfar berkata, dari sisi khasiat tidak ada pengaruh apapun, apakah obat tersebut harus menggunakan DNA babi atau tidak.
Menurut Masfar, penggunaan DNA babi oleh produsen biasanya digunakan untuk cangkang kapsul, bukan isinya. “Kalau yang dibuat produsen obat itu, kan, yang mengandung babi itu kapsulnya, tepatnya selaput gula kapsulnya itu yang mengandung babi, jadi bukan isi kapsulnya,” kata Masfar kepada Tirto, Rabu (31/1/2018).
Pernyataan Masfar ini merujuk pada selongsong kapsul Viastin DS yang diminta oleh BPOM ditarik dan dihentikan produksinya karena mengandung DNA babi. Selongsong ini biasanya berfungsi untuk melindungi bahan aktif, baik obat maupun vitamin di dalamnya dari berbagai gangguan luar, seperti udara maupun cahaya.
Namun demikian, kata Masfar, tidak semua selongsong kapsul menggunakan lemak babi. Hal ini, kata dia, tergantung produsennya. Pertimbangan si produsen menggunakan DNA babi untuk cangkang biasanya agar kapsul lebih mudah dibuat.
Dosen Farmasi Analisis di Universitas Islam Bandung (Unisba), Diar Herawati, M.Si., Apt juga pernah mengulas soal cangkang kapsul ini. Dalam artikel “Mengapa Cangkang Kapsul Harus Sertifikasi Halal?” Diar menulis bahwa salah satu bahan kapsul yang paling populer adalah gelatin. Teknologi kapsul gelatin dipilih oleh para produsen farmasi, karena unggul dalam ketersediaan hayatinya, selain lebih mudah dimodifikasi dari sisi biofarmasetiknya.
Menurut Diar, bahan baku gelatin adalah kulit dan tulang dari hewan mamalia, seperti sapi dan babi. Secara garis besar, sumber gelatin untuk pembuatan kapsul dibagi atas gelatin tipe A yang berasal dari kulit babi dengan pH (tingkat keasaman) 7,5-9,0 dan gelatin tipe B yang berasal dari kulit dan tulang sapi dengan pH 4,8- 5,0.
Saat ini, kata Diar, gelatin tipe A lebih unggul secara teknologi. Selain itu, produksi gelatin tipe A lebih cepat dari produksi gelatin tipe B serta bahan baku gelatin tipe A jauh lebih melimpah dari bahan baku gelatin tipe B.
Bukan Kasus Baru
Dalam kasus ini, PT Pharos Indonesia, produsen suplemen makanan merek Viostin DS pun membenarkan ada kandungan kontaminan pada produknya itu. Kontaminan adalah zat yang muncul bukan pada tempatnya dan dapat membahayakan kesehatan.
“Kami menemukan bahwa salah satu bahan baku pembuatan Viostin DS, Chondroitin Sulfat, yang kami datangkan dari pemasok luar negeri dan digunakan untuk produksi bets tertentu, belakangan diketahui mengandung kontaminan,” kata Ida Nurtika, Direktur Komunikasi Korporat PT Pharos Indonesia dalam keterangan resmi yang diterima Tirto, Rabu malam.
Pihak Pharos pun berjanji untuk menarik seluruh produknya di pasaran. Selain menarik produk, produsen Viostin DS ini juga berjanji untuk mengganti bahan baku penyebab munculnya DNA babi.
“Kami telah menyiapkan alternatif pemasok bahan baku dari negara lain yang telah bersertifikat halal di negara asalnya, dan telah lulus uji Polymerase Chain Reaction (PCR)” tulis pihak Pharos dalam rilisnya.
Kasus obat-obatan yang mengandung DNA babi, seperti Viostin DS dan Enzyplex bukan hal baru. Dalam penelusuran tim riset Tirto dalam rentan waktu 2000-2018, setidaknya ada 10 kasus, mulai dari makanan, obat-obatan, hingga kosmetik yang mengandung babi ini.
Namun, yang berkaitan langsung dengan obat-obatan hanya empat kasus, yaitu: soal vaksin meningitis (2009), dan fatwa MUI penggunaan vaksin polio khusus (IPV) pada 15 Juni 2002 dan vaksin polio oral (OPV) pada 25 Juli 2005.
Pada 2014, masyarakat juga dihebohkan dengan merebaknya isu obat-obatan yang mengandung babi. Kementerian Kesehatan pun turun tangan menjelaskan soal isu yang merebak di masyarakat. Saat itu, Kemenkes memastikan bahwa hingga 31 Desember 2013, tercatat hanya 3 obat yang mengandung babi, yaitu obat yang mengandung heparin molekul rendah, berdasarkan database nomor izin edar yang telah dikeluarkan BPOM.
Ketiga obat itu adalah Lovenox injeksi mengandung enoxaparin sodium, didaftarkan oleh PT. Aventis Indonesia, NIE DKI 0185600143A1; Fraxiparin injeksi, mengandung nadroparin calcium, didaftarkan oleh PT. Glaxo Welcome Indonesia, NIE DKI 0585100343A1; dan Fuluxum injeksi, mengandung parnaparin sodium, didaftarkan oleh PT. Pratapa Nirmala, NIE DKI 0697600443A1.
Peran BPOM Sangat Penting
Dalam kasus ini, Masfar Salim mengatakan, persoalan kandungan DNA babi dalam obat-obatan selama ini lebih pada persoalan halal dan haram. Karena itu, kata dia, pengawasan BPOM terhadap produk obat-obatan ini perlu digalakkan kembali sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan POM No. 03.1.23.06.10.5166 Tahun 2010 tentang Pencantuman Informasi Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol, dan Batas Kedaluwarsa pada Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen Makanan, dan Pangan, apabila produk obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan pangan mengandung bahan tertentu yang berasal dari babi, maka harus mencantumkan tanda khusus untuk menginformasikan bahwa produk tersebut mengandung babi dan/atau pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi.
“Persoalannya sekarang ini karena memang secara regulasi masih lemah untuk pengawasan secara khusus obat-obatan yang halal dan tidak,” kata Masfar.
Masfar mencontohkan soal vaksin yang harus ada sertifikat halal dari MUI. Seharusnya, kata dia, obat-obatan juga harus ada sertifikat halalnya.
“BPOM, MUI dan produsen farmasi harus duduk bersama untuk membahas sertifikasi halal untuk obat-obatan ini. Karena mayoritas di Indonesia itu beragama Islam, dan tidak semua pasien mau menggunakan produk obat yang ada kandungan babinya, jadi ini penting dan harus segera dicari solusinya,” kata dia.
Menurut dia, saat ini yang perlu dilakukan adalah mendorong agar ada regulasi yang jelas yang mengatur soal pengawasan obat-obatan ini. Setelah regulasinya jelas, dan tiap produk obat ada tanda mana yang mengandung babi mana yang tidak, kata dia, maka tinggal masyarakat dan pengguna (dokter) yang memutuskan apakah akan tetap menggunakan produk babi atau tidak.
“Toh itu pilihan, karena dalam keadaan tertentu, misalnya, kasus katup jantung dari babi, karena DNA babi mirip manusia, dokter itu suggest memakai itu misal sebagai satu-satunya pilihan, nah ini dokter akan menanyakan dulu ke pasien, apakah mau menggunakan katup jantung dari babi,” kata dia.
Menurut Masfar, contoh lain yang perlu diatur adalah soal kandungan alkohol. “Kandungan alkohol di sirup obat batuk itu bisa nanti diatur berapa persen bila dikonsumsi masih dalam kadar halal. Ini kan banyak yang disalahgunakan sekarang karena kadar alkohol tinggi, saya kira ini PR (pekerjaan rumah) BPOM, MUI dan industri farmasi untuk menentukan seberapa persentase alkohol di kandungan obat,” kata dia.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz & Maulida Sri Handayani