tirto.id - Aktivis HAM Veronica Koman merilis laporan mengenai ‘Gerakan West Papua Melawan 2019’ setelah setahun aksi massa memprotes rasisme terjadi di Indonesia.
Laporan bersama dengan lembaga TAPOL asal Inggris ini memberikan gambaran detail mengenai masih adanya tindakan rasisme, kekebalan hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap masyarakat Papua.
“Semua isu ini adalah hal-hal yang ditanyakan oleh Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang 'West Papua', dengan ‘daftar isu sebelum pengiriman laporan berkala kedua Indonesia’ yang dikeluarkan untuk pemerintah Indonesia pada 2 September 2020. Komite ini adalah sebuah badan ahli yang ditunjuk oleh Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB (OHCHR),” ujar Veronica, Jumat (2/10/2020).
Setahun lalu, protes atas rasisme rakyat Papua terjadi di 23 kota Provinsi Papua dan Papua Barat, 17 kota di Indonesia, dan 3 kota di luar negeri selama 19 Agustus-30 September 2019.
Tiga merujuk laporan tuntutan utama adalah mengutuk rasisme, mengadili pelaku insiden rasisme di Pulau Jawa yang memicu aksi menolak rasisme, dan menuntut hak menentukan nasib sendiri melalui referendum.
Dalam laporan ini disebut, pemicu protes adalah persekusi rasis terhadap mahasiswa Papua di beberapa kota di Indonesia. Secara berurutan persekusi itu terjadi di Malang (15 Agustus 2019), Surabaya (16 dan 17 Agustus 2019), serta Semarang (18 Agustus 2019).
Dari tiga peristiwa, satu peristiwa memicu protes besar diawali persekusi rasis di Surabaya oleh beberapa anggota TNI yang berulang kali menyebut ‘monyet’ kepada mahasiswa Papua.
Untuk memadamkan protes anti-rasisme di Papua, pemerintah Indonesia mengirimkan 6.500 personel polisi (terutama Brimob) dan TNI. Pendekatan keamanan ini telah menelan 61 korban jiwa, termasuk 35 orang asli Papua, di antaranya 30 OAP menderita luka tembak. Tiga korban lainnya tewas akibat luka tusuk yang dilakukan milisi, sedangkan penyebab dua kematian lainnya tidak jelas.
Menurut Vero, milisi diduga digunakan oleh aparat keamanan Indonesia pada dua dari tiga peristiwa saat pengibran bendera Bintang Kejora—simbol budaya dan kultural Papua—dikibarkan di gedung-gedung publik.
“Sedikitnya 284 warga sipil diketahui terluka. Jumlah sebenarnya lebih tinggi sebab banyak orang 'West Papua' dilaporkan enggan pergi ke rumah sakit. Penggunaan aparat keamanan untuk mengepung rumah sakit setiap kali terjadi insiden membuat banyak orang takut mencari penanganan medis, mereka trauma dan takut jadi sasaran serangan balasan,” jelas Veronica.
Sepanjang protes tersebut, Vero mencatat 13 kasus berkaitan pelanggaran kebebasan pers termasuk pembatasan internet, dan 23 kasus penyerangan terhadap pembela HAM. Termasuk satu kasus penyerangan fisik dan sembilan kasus serangan yudisial (judicial harassment).
Pada Juni 2020, lanjut Veronica, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta menyatakan pembatasan internet yang dilakukan pemerintah sebagai perbuatan yang melanggar hukum.
Menanggapi penumpasan brutal dan kekerasan yang meningkat, Dewan HAM PBB mengeluarkan dua pernyataan keprihatinan dan mengirimkan dua komunikasi resmi kepada Pemerintah Indonesia. Indonesia membantah semua tuduhan yang dipertanyakan PBB.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Zakki Amali