tirto.id - Aksi vandalisme dan perusakan yang menimpa area situs Calonarang di Dusun Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur yang dilakukan pada Sabtu (22/7) lalu hingga kini masih belum ada kejelasan. Kasus perusakan situs Calonarang itu bukan yang pertama kalinya.
“Pelaku siapa itu hanya orang yang enggak senang. Itu juga (yang dirusak) barang-barangnya juru kunci sendiri” ujar Wakapolsek Gurah Iptu R Budi Lartono menjelaskan temuan sementara ini.
“Yang jelas, kejadian semacam ini sudah dua kali. Tahun 2014 kemarin itu sebenarnya juru kuncinya yang ngeyel karena barang di sana sudah tidak sesuai dengan aslinya, disemen, ditambahi itu enggak boleh," katanya.
Pantauan Tirto.id, di lokasi situs yang berada jauh di tengah perkebunan tebu dan jagung ini kondisinya masih tetap berantakan. Beberapa peziarah lokal terlihat berada di luar area situs yang dipagari bambu dan digembok ini.
Coretan arang di lantai teras bertuliskan “Ini Bukan Tempat Di Puja Ingat Allah Murka Seperti Aceh Sunami” masih tampak terlihat, termasuk arca maupun papan nama yang terbuat dari marmer yang telah digulingkan dan pecah. Dua buah payung bermotif khas Bali di sisi kiri dan kanan juga masih terlihat di lokasi pembuangan yang tak jauh dari area situs.
Pihak Polsek telah menginstruksikan untuk menutup sementara area tersebut untuk umum. Sementara pihak juru kunci masih enggan membuka untuk tamu dengan alasan masih belum mengantongi izin dari pihak berwenang.
Dirusak Tahun 2014
Sebelum kejadian vandalisme dan perusakan baru-baru ini, beberapa pihak pada 2014 pernah melaporkan keadaan situs Calonarang kepada aparat karena ditemukan adanya penambahan sejumlah bangunan baru serta struktur bebatuan kuno dipindahkan dari tempat semula.
Ketika itu, kondisi situs tampak diberi teras batako, lengkap dengan empat tiang pancang untuk menopang kain sebagai tempat berteduh. Tak cuma itu, bebatuan andesit kuno berupa umpak juga digeser letaknya, dikumpulkan dan disemen membentuk sebuah altar.
Di sudut lain, terdapat tiga makam buatan baru serta galian lubang yang memunculkan struktur bata kuno besar tampak berserakan.
Ayu M Fikriya anggotaKomunitas Pelestari Sejarah Budhaya Khadiri (PASAK) menuturkan, pada tahun 2012 saat timnya turun lapangan, kondisi situs tersebut sama sekali tidak seperti sekarang. Kala itu masih berupa tanah dan struktur batuan kuno.
“Makam itu memang enggak ada. Itu dulu batu yang bener-bener numpuk di pojokan trus dibikin sendiri. Terus yang di teras itu mereka bikin sendiri dan ada tulisannya Ratna Manggali dan Trunojoyo,” tuturnya kepada Tirto.
Saat ditemui di kediamannya, Suyono tak menampik bahwa ia melakukan segala perubahan dan pembangunan tersebut karena ingin membenahi dan mempermudah perawatan. Selain itu juga untuk memberi kenyamanan bagi para peziarah maupun yang melakukan sembahyang di sana.
Menurut ingatannya, berbagai arca dahulu pernah dirusak secara besar-besaran pada tahun 1965. Hal itu menyebabkan keberadaan benda-benda peninggalan menurun drastis. Sebagian ia cari kembali dan dikumpulkan.
Menurut Suyono yang menekuni profesi juru kunci secara turun temurun, beberapa tahun ini ada ribuan tamu yang datang dari berbagai daerah ke situs Calonarang mulai dari Bali, Banyuwangi, Jember, Surabaya, Mojokerto bahkan dari mancanegara seperti Belanda.
Tamu dari Bali bahkan hampir setiap hari menghubungi dan datang untuk diantarkan ke lokasi membukakan gembok pintu masuk.
Dalam pertemuan perangkat daerah setempat yang membahas aksi vandalisme dan perusakan pada Senin (24/7), Suyono mengaku kembali ditegur oleh pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan atas aksinya membangun sedemikian rupa secara sepihak.
Suyono menerima kemarahan tersebut dan meminta maaf. “Kalau saya salah mohon dimaafkan. Tujuan saya itu biar tidak punah dan hilang, sehingga saya kumpulkan.”
Ia menyayangkan mengapa selama ini pihak dinas terkait tidak kunjung membangun area tersebut dan menuntaskan segala persoalan yang ada, terutamanya sejak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan melakukan penggalian tahun 2011 silam dan penetapan kawasan sebagai situs peninggalan.
Pantauan di lapangan, kondisi situs ini bahkan masih tidak jauh dari 2014 dengan menyerupai pendopo lengkap dengan altar. Ada tambahan bangunan baru berupa kamar mandi yang tampak berada di sisi timur. Papan keterangan bertuliskan cagar budaya juga tampak berdiri.
Tempat tulisan bernada ancaman tersebut berada di lantai teras yang dibangun juru kunci tersebut. Termasuk beberapa marmer bertuliskan nama-nama tokoh Calonarang yang sengaja dibuat oleh Suyono.
Janda Pengamal Ilmu Hitam dari Girah
Kisah Calonarang sendiri tertuang dalam Lontar Calonarang berbahasa kawi yang secara lengkap menceritakan tingkah laku janda bernama Calonarang dari Desa Girah yang tengah menjalani Tantrayana Pengiwa hingga menjadi sakti dan dikenal bengis.
Dari pernikahan dengan Mpu Kuturan yang kemudian diketahui pindah ke Bali, ia memiliki seorang putri bernama Ratna Manggali. Pemuda setempat kala itu tidak ada yang berani melamar Ratna Manggali karena tidak berani dengan kesaktian Calonarang.
Calonarang marah melihat keadaan tersebut dan memberi wabah penyakit pada penduduk sekitar. Raja Airlangga yang berkuasa atas wilayah Kerajaan Kadiri turun tangan melihat keadaan rakyatnya dan memerintahkan menumpas Calonarang meski gagal.
Selain itu, sejak menguasai ilmu hitam Calonarang bisa memengaruhi massa dan menggalang kekuatan untuk melakukan sebuah pemberontakan ke pemerintahan Dhaha dari Raja Airlangga. Hingga akhirnya Mpu Baradah diutus untuk menaklukkan Calonarang.
Mpu Baradah menyuruh Mpu Bahula untuk menikahi Ratna Manggali dan mulai mencari tahu rahasia kesaktian Calonarang dan dilaporkan ke Mpu Baradah hingga dituntun untuk disadarkan.
“Setelah bertemu Mpu Baradah dia bisa disadarakan dan minta untuk diruwat sehingga tersucikan kembali dari perbuatan jahatnya.” ungkap Damar Shashangka, pengkaji sejarah Nusantara ketika dihubungi Tirto. “Itu yang tidak banyak diketahui orang di sisa akhir hidup Calonarang”.
Menurutnya peninggalan sejarah tidak untuk dirusak dan tidak ada penyembahan di tempat itu. “Kalau ada yang masih bandel meminta-minta di situ, itu urusan dia dengan Tuhan. Kalau dirusak itu malah sangat-sangat keliru, itu bukan tindakan yang bijak.”
Penulis: Tony Firman
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti