tirto.id - Progres vaksinasi dikhawatirkan mengendur ketika Ramadan. Hal ini terkait dengan kepercayaan sebagian masyarakat bahwa disuntik itu membatalkan puasa. Upaya testing, penelusuran kontak erat (tracing), dan tindak lanjut berupa perawatan pada pasien (treatment) atau 3T juga dikhawatirkan tak maksimal. Semua ini berpotensi membuat kasus dan kematian akibat COVID-19 melonjak.
Namun Masdalina Pane dari Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia mengatakan vaksinasi di bulan Ramadan semestinya tak lagi menjadi kendala setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa itu tak membatalkan puasa. “Kendalanya tinggal vaksinnya ada atau tidak,” kata Masdalina kepada reporter Tirto, Kamis (8/4/2021).
Soal testing juga semestinya tak menjadi masalah karena alasan yang sama. MUI telah menyatakan tes swab--yang sampelnya diambil dari cairan yang ada di tenggorokan bagian atas dan belakang hidung--tak membatalkan puasa.
Otoritas kesehatan, dalam hal ini Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pada Ramadan nanti penyuntikan seperti pada hari biasa dengan dasar fatwa MUI. “Tetap bisa kita lakukan vaksinasi baik kepada muslim maupun non muslim,” ujarnya.
Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito juga menegaskan hal serupa. “Proses vaksinasi akan tetap dilakukan sebagaimana pada bulan lainnya demi mencapai herd immunity dan target vaksinasi pemerintah,” ujarnya, Kamis.
Pemerintah juga memastikan tracing tetap berjalan. Selama ini kendala di lapangan adalah ketersediaan petugas. Setelah Kemenkes mulai melibatkan Babinsa dan Bhabinkamtibmas, kebutuhan tracer tergenapi. Siti Nadia mengatakan penguatan 3T yang melibatkan 80 ribu tracer telah dimulai sejak awal Februari “Telah bekerja sama dengan tracer dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).”
Kendala
Masalahnya, menurut Masdalina, yang sebelumnya termasuk anggota bidang tracking Satgas COVID-19 nasional, belum tentu para tracer benar-benar bekerja. “Di lapangan tidak pernah terlihat dan ini mulai berteriak di kabupaten kota bahwa mereka tidak melakukan tracing,” ujarnya.
Selain itu, kendala lain penanganan pandemi di bulan Ramadan adalah ketersediaan vaksin itu sendiri. Meski telah dinyatakan tak membatalkan puasa, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan progres vaksinasi melambat karena stok menipis. Penurunan laju vaksinasi yang telah nampak sejak Maret hingga April dikarenakan embargo dari India, salah satu negara pembuat vaksin, yang lebih mengutamakan kebutuhan dalam negeri karena kasus COVID-19 mereka meningkat.
Semula dijadwalkan Indonesia mendapatkan 15 juta dosis vaksin pada Maret dan 15 juta lagi pada April. Namun pada April Indonesia hanya mendapatkan 9 juta vaksin. Dengan jumlah itu, jika rata-rata kapasitas penyuntikan per hari mencapai 500 ribu orang, maka 9 juta dosis itu akan habis dalam waktu 18-20 hari.
“Itu sebabnya agak kita perlambat laju vaksinasinya,” kata Budi saat rapat bersama Komisi IX DPR RI, Kamis (8/4/2021).
Vaksinasi di bulan puasa ini akan diperlambat dan difokuskan untuk kelompok lansia dan guru. “Kami mempersiapkan khusus Lebaran, karena Lebaran itu saat di mana semua orang ingin bertemu dengan orang tua mereka, padahal itu yang sangat berbahaya dan membuat fatal orang tua mereka. Makanya vaksinasi ini kami prioritaskan kota-kota yang banyak lansianya,” katanya.
Menkes Budi belum dapat memastikan kapan stok vaksin bisa banyak lagi dan vaksinasi berjalan lebih cepat. “Dengan segala kerendahan hati, kalau saya bilang [tersedia, itu] bohong.”
Ketersediaan vaksin secara global, kata Budi, memang bisa berubah setiap hari dan tak ada yang tahu. Embargo vaksin India itu tak ada yang mengira bakal terjadi.
“Ketidakpastiannya tinggi sekali. Saya tidak bisa menjamin. Tapi yang akan kami pastikan, kami kerja keras, mencari alternatif strateginya,” ujar Budi.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino