tirto.id - Kabar dari produsen obat asal Amerika Serikat Pfizer yang mengklaim vaksin buatan mereka 90 persen efektif melawan COVID-19 disambut gembira oleh pelaku pasar. Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam diskusi bertajuk Kondisi Sektor Keuangan Terkini Serta Meneropong Ekonomi 2021, Selasa (10/11/2020), bahkan mengatakan sentimen positifnya terasa “di seluruh dunia.”
Indeks Dow Jones sempat melonjak hingga 1.610 poin di awal perdagangan, Senin (9/11/2020), sebelum ditutup dengan kenaikan 835 poin menjadi 29.157,97 poin. Melansir CNN, ini adalah performa terbaik Dow Jones sejak Juni 2020 sekaligus sejak kejatuhannya di level 18.591 poin per 23 Maret 2020.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga ikut kecipratan meski tak sebesar indeks AS. Melansir RTI Business, IHSG menembus area 5.400 dan sempat menyentuh titik tertinggi 5.469,072 pada perdagangan Selasa (10/11/2020). Posisi ini lebih baik dari sepekan lalu yang sempat menyentuh 5.105,199 poin.
Sejauh ini Corona telah menghancurkan ekonomi global. Beragam cara telah ditempuh otoritas negara-negara hanya untuk meminimalisasi dampak ini karena virus belum bisa benar-benar dihilangkan. Kabar dari Negara Paman Sam itu memberi harapan COVID-19 bisa berakhir dan aktivitas ekonomi kembali normal.
Namun, bagi analis sekaligus Managing Director Samuel Holding Harry Su, respons pasar terhadap kabar vaksin ini ”terlalu over euphoria.” Kepada reporter Tirto, Selasa (10/11/2020), Harry mengingatkan pelaku pasar agar tetap berhati-hati karena masih ada risiko dan ketidakpastian di dalam klaim awal vaksin Pfizer sudah efektif teruji.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono menjelaskan lebih detail perkara vaksin dan risikonya ini. Meski vaksin ini sangat menjanjikan karena efek proteksi 90 persen--di atas rata-rata calon vaksin lain, termasuk yang sedang dikerjakan Indonesia yang diperkirakan hanya 60-70 persen--namun ia tidak dapat segera dinikmati masyarakat AS, apalagi dunia. Reuters mencatat vaksin Pfizer harus disimpan dalam suhu minus 70 derajat Celcius atau lebih rendah, sementara lemari pendingin yang umumnya dimiliki rumah sakit di AS hanya berkisar minus 2-8 derajat celcius.
Ringkasnya, teknologi pendingin ini masih belum banyak dimiliki oleh rumah sakit di negara itu, bahkan fasilitas kesehatan canggih sekalipun. Tentu negara lain akan lebih sulit memenuhi fasilitas serupa, termasuk Indonesia. Setahunya lemari pendingin di fasilitas kesehatan di sini hanya mampu menampung vaksin pada temperatur minus 10 derajat Celcius. Fasilitas yang sudah ada pun umumnya khusus menyimpan vaksin bagi balita sehingga tidak bisa dicampur dengan vaksin COVID-19.
Belum lagi, vaksin ini masih tahap penelitian awal sehingga perlu dipastikan lagi efek sampingnya. Ia memperkirakan vaksin ini masih harus diteliti lebih lanjut untuk menjamin keamanannya pada pasien. Dengan kata lain, menggenapkan efektivitas 90 persen tadi menjadi 100 persen.
“Jadi jangan senang dulu. Kita tunggu sampai semua studi selesai meski hasil itu tetap sangat mengagumkan,” ucap Pandu kepada reporter Tirto, Selasa.
Selain Pfizer, menurut covid-19vaccinetracker.org, sedikitnya ada 10 kandidat vaksin yang dianggap memimpin karena sudah mencapai fase klinis III. yaitu vaksin Universitas Oxford, Sinovac, Sinopharm (Wuhan Institute dan Beijing Institute), Moderna, Gameleya Research Institute, CanSino Biologics, Janssen Pharma, Novavax, dan BioNTech.
Dari vaksin yang dinyatakan memimpin pun belum ada jaminan akan berhasil. Melansir Bloomberg, pengujian vaksin Sinovac tahap akhir di Brasil sempat ditangguhkan karena menunjukkan dampak merugikan yang serius bagi pasien. Produsen vaksin AstraZeneca Plc dan Johnson & Johnson juga menghentikan sementara pengujian mereka karena terjadi insiden. Pengujian akan dilanjutkan setelah investigasi rampung.
Direktur Trimegah Hans Kwee mengatakan pemerintah Indonesia mungkin tidak akan menggunakan vaksin itu karena keterbatasan teknologi. Alhasil, dampak vaksin pada ekonomi pun masih akan relatif membutuhkan waktu yang lama. Selain riset yang belum rampung, vaksin perlu waktu untuk melalui pemeriksaan otoritas makanan dan obat setempat.
Distribusi ke seluruh penjuru dunia mungkin perlu waktu enam bulan. Sementara proses vaksinasi setidaknya akan memakan waktu satu tahun. Hal ini membuat kabar vaksin Pfizer hanya akan menjadi sentimen positif sementara.
“Jangka pendek. Habis ini pasar akan adjust lagi,” ucap Hans kepada reporter Tirto, Selasa.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso juga sadar kabar vaksin Pfizer tak lantas menjamin ekonomi langsung pulih. Ia bilang tanpa kesiapan pelaku usaha, maka ia mengibaratkan Indonesia bisa “ketinggalan kereta”. Karena itu, Wimboh meminta pelaku usaha mempersiapkan antisipasi. Setidaknya mereka mulai menghitung lagi pegawai yang diperlukan terutama yang sempat melakukan PHJ, menyiapkan mesin-mesin yang lama tidak aktif, sampai meminjam ke sektor keuangan bila membutuhkan modal.
“Untuk bangkit hari ini tidak bisa bercita-cita [saja], lalu besok langsung [terealisasi]. Harus bersiap-siap,” ucap Wimboh, Selasa.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino