Menuju konten utama

Utang - Tidak - Utang - Tidak, Utang

Utang pemerintah terus bertambah dari waktu ke waktu. Kini, utang Indonesia sudah lebih dari Rp3.000 triliun. Namun, secara persentase terhadap PDB, rasionya tetap stabil. Bagaimana perjalanan utang Indonesia?

Utang - Tidak - Utang - Tidak, Utang
undefined

tirto.id - "Utang nggak apa-apa, asal dipakai untuk produktif.”

Pernyataan singkat ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat peluncuran Program Sejuta Rumah di Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (29/4/2015).

Saat itu utang pemerintah tercatat masih Rp2.780,97 triliun. Presiden Jokowi menegaskan negara boleh berutang asal untuk kegiatan produktif. Presiden Jokowi tak alergi dengan utang. Sesuai jargonnya, pemerintah akan memfokuskan pada pembangunan infrastruktur termasuk dengan utang.

Hal itu dibuktikan. Posisi terakhir utang pemerintah saat transisi pemerintahan per September 2014 masih Rp2.601,72 triliun, hingga 30 Juni 2016 sudah mencapai Rp3.362,74 triliun. Artinya, semenjak berkuasa, Pemerintahan Jokowi sudah menambah utang Rp761,54 triliun. Utang yang ditambahkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi hampir seperlima dari total akumulasi utang pemerintah Indonesia selama ini.

Pemerintahan Presiden Jokowi memang penuh kejutan soal utang. Saat mengumumkan nota keuangan APBN 2016 Agustus tahun lalu, APBN Indonesia menembus Rp2.000 triliun untuk kali pertama dalam sejarah. Berselang sebulan, pada September 2015, utang pemerintah Indonesia juga menembus angka Rp3.000 triliun.

Persoalan utang pemerintah yang menembus angka psikologis ini membuat gempar publik, bahkan ada yang menuding Presiden Jokowi gemar menghambur-hamburkan uang sehingga utang membengkak. Pemerintah dianggap tidak efisien. Padahal bila mau jujur, berutang dilakukan semua pemerintahan yang pernah berkuasa di Indonesia, karena tak ada pilihan.

Mengapa Berutang?

Mengapa pemerintah terus menerus berutang? Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam paparannya menjelaskan, utang merupakan konsekuensi dari APBN yang terus menerus mengalami defisit. Angka defisit sendiri merupakan kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Defisit muncul karena pembiayaan tidak sebanding dengan pengeluaran. Ibaratnya, besar pasar daripada tiang.

APBN Indonesia memang mengalami defisit, tetapi trennya semakin kecil dalam lima tahun terakhir. Pada 2011, defisit APBN mencapai Rp46,5 triliun. Selanjutnya, defisit mengecil menjadi Rp21,9 triliun (2012), Rp25,7 triliun (2013), Rp22,2 triliun (2014), dan Rp24,6 triliun (2015).

Patut digarisbawahi, defisit sebelum era pemerintahan Presiden Jokowi, sebagian untuk mendanai subsidi energi yang dianggap tidak tepat sasaran. Selama kurun 2009-2014, rata-rata belanja pemerintah untuk subsidi BBM mencapai 16,06 persen atau sekitar Rp160 triliun. Baru mulai 2015, pemerintah menghapuskan subsidi BBM. Dana subsidi BBM, kemudian dialihkan untuk sektor-sektor yang produktif. Hal ini menyebabkan subsidi tetap meningkat.

Hingga 30 Juni 2016, realisasi defisit APBN mencapai Rp230,7 Triliun atau 1,83 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini terjadi karena realisasi pendapatan negara dan hibah hanya Rp634,7 triliun atau 35,5 persen dari target APBNP-2016 sebesar Rp1.786,2 triliun. Sedangkan realisasi belanja negara Rp865,4 triliun. Meski demikian, defisit sudah beralih dari mendanai konsumsi menjadi pendanaan untuk sektor produktif.

Utang pemerintah memang meningkat karena kebutuhan untuk menambal defisit APBN. Namun, jika dilihat perbandingannya dengan PDB, rasionya terus turun. Rasio utang terhadap PDB Indonesia sempat melonjak hingga 85,4 persen pada 1999, atau setelah diterpa krisis moneter.

Rasio sempat membengkak menjadi 88,7 persen sebelum akhirnya secara bertahap turun. Pada 2015, rasio utang pemerintah terhadap PDB Indonesia hanya sebesar 27 persen. Rasio utang terhadap PDB sempat berada di titik terendah sebesar 23 persen pada 2012. Capaian ini terjadi saat pemerintahan SBY. Namun, SBY juga berperan dalam menambah pundi-pundi utang pada masa pemerintahannya, dan para pendahulunya.

Warisan Utang

Pemerintah saat ini harus memanggul utang akibat kebijakan masa lalu. Seperti diketahui, saat ini pemerintah masih menanggung beban utang merupakan dampak krisis ekonomi 1997 dan 1998, yang menghasilkan BLBI dan rekapitalisasi perbankan. Jumlahnya terus bergulir, bunga berbunga. Jika tak mampu bayar, pemerintah melakukan refinancing sehingga jatuh tempo lebih panjang dan bunga lebih rendah. Tapi tetap jumlahnya tidak berkurang secara signifikan.

Pemerintahan Soeharto mewariskan utang yang cukup besar pada masa akhir pemerintahannya. Dalam buku “Ekonomi Politik” karya Deliarnov, utang luar negeri pemerintah pada akhir Desember 1997 cukup besar untuk ukuran pada waktu itu mencapai 137,42 miliar dolar AS, sementara utang luar negeri swasta menembus 73,96 miliar. Utang ini disebut-sebut naik berlipat-lipat, apalagi saat itu kurs rupiah terhadap dolar rontok dari Rp2.600/dolar jadi Rp17.000/dolar.

Beban utang masa lalu, ditambah beban menutup defisit, maka hasilnya adalah utang pemerintah di posisi sekarang ini. Utang pemerintah hanya sebagian kecil dari beban utang total dari banyak komponen negara ini. Secara nasional, utang luar negeri (ULN) Indonesia lebih besar lagi. Utang luar negeri ini mencakup utang pemerintah, Bank Indonesia (BI), serta swasta. Pada 2010, ULN Indonesia mencapai 202,413 miliar dolar. Jumlahnya kemudian meningkat secara berturut-turut: 225,375 miliar dolar (2011), $252,364 miliar dolar (2012), 266,109 miliar dolar (2013), 293,328 miliar dolar (2014), 309,935 miliar (2015), dan 318,979 miliar dolar (April 2016).

Total ULN ataupun utang pemerintah pusat pada masa pemerintahan Presiden Jokowi memang yang tertinggi secara nominal. Ada yang mencoba membandingkannya dengan capaian utang pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto selama 30 tahun, dan tambahan utang selama Pemerintahan Presiden SBY selama 10 tahun sebelumnya.

Pengamat ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi Manado Agus Tony Poputra mengatakan tidak logis bila sebuah pemerintahan satu dengan yang lainnya disandingkan soal kebijakan utangnya. Alasannya setiap pemerintahan pasti berutang, tapi jumlahnya tergantung kebijakan masing-masing. Pemerintah yang berkuasa menghadapi kondisi ekonomi dan sosial yang berbeda setiap zaman. Selain itu, yang paling menentukan adalah soal fokus kebijakan sebuah pemerintahan.

“Membandingkan utang pemerintah Jokowi-JK dengan pemerintahan sebelumnya secara parsial tidak logis,” kata Tony dikutip dari Antara.

Ia beralasan pada masa era Presiden Soeharto daya beli uang sangat besar. Pada saat Orde Baru, Indonesia masih pengekspor migas dan mengalami beberapa kali "oil boom" sehingga mampu membiayai belanja pemerintah tanpa perlu utang skala besar. Faktor lain soal populasi penduduk di era Orde Baru jauh lebih sedikit dibanding saat ini. Faktor jumlah pemerintah daerah di Indonesia pada waktu itu masih sedikit. Pemerintahan yang bersifat sentralistik membuat kebutuhan belanja rutin dalam APBN tak sebesar seperti sekarang.

Pada era Presiden SBY, pemerintah mengutamakan stabilisasi dan pembayaran utang ketimbang pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Hal ini tentunya berdampak negatif pada pembangunan dan kondisi infrastruktur milik pemerintah seperti sektor pekerjaan umum hingga pertanian.

Ngerem Utang Ala SBY

Saat masih berkuasa, Presiden SBY sangat fokus pada upaya menekan rasio utang Indonesia. Pada masa kepemimpinan SBY, rasio utang terendah terhadap PDB Indonesia terpecahkan. Menurutnya utang adalah faktor penting karena berkaitan dengan rasa percaya diri dan harga diri suatu bangsa. Utang juga sering dianggap sebagai ancaman dan stigma yang buruk oleh rakyat Indonesia. Saat puncak krisis moneter tahun 1998, rasio utang Indonesia terhadap PDB adalah 85 persen.

"Dengan susah payah, akhirnya kita berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB kita menjadi sekitar 23 persen," kata SBY saat pidato kenegaraan pada Agustus 2014 jelang berakhir kekuasaannya dikutip dari Antara.

Kondisi itu bukanlah capaian yang boleh diabaikan jika dibandingkan dengan rasio utang terhadap PDB negara-negara maju yang terus tinggi, Jepang hingga 227,2 persen, Amerika Serikat 101,5 persen, atau Jerman 78,4 persen. Rasio utang terhadap PDB Indonesia adalah yang terendah di antara negara-negara G-20. Salah satu yang menjadi prestasi SBY adalah ketika Indonesia telah melunasi utang kepada Dana Moneter Internasioanl (IMF) pada 2006, dan melakukannya empat tahun lebih awal dari jadwal yang telah disepakati.

"Seluruh utang Indonesia kepada IMF sudah kita lunasi pada tahun 2006. Keseluruhan utang Indonesia terhadap IMF adalah 9,1 miliar dolar AS, jika dengan nilai tukar sekarang setara dengan Rp117 triliun, dan pembayaran terakhirnya kita lunasi pada tahun 2006, atau 4 tahun lebih cepat dari jadwal yang ada. Sejak itu, kita tidak lagi jadi pasien IMF," kata SBY dikutip Antara.

Pemerintahan SBY boleh berbangga karena bisa menekan rasio utang. Namun, dari alokasi belanja infrastruktur relatif jauh lebih rendah dari saat ini. Pada 2009, anggaran infrastruktur hanya Rp76,3 triliun, tahun ini sudah naik empat kali lipat menjadi Rp313,5 triliun.

Utang merupakan instrumen yang selalu ada di setiap pemerintahan di Indonesia. Besar atau kecilnya utang ini tergantung fokus pemerintahan yang berkuasa. Ada yang fokus yang penting bayar utang tapi keperluan untuk pembiayaan ekonomi negara terbatas seperti infrastruktur dibatasi, seperti yang dilakukan SBY.

Namun, ada juga pemerintahan yang fokus pada pembangunan infrastruktur dengan harapan ekonomi ke depan tumbuh pesat. Konsekuensinya, negara harus menambah utang lagi karena belum bisa mandiri membiayai pembangunan. Ini seperti yang dilakukan pemerintahan Jokowi saat ini.

Baca juga artikel terkait UTANG atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Indepth
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti